Sebuah Harapan untukmu: Seandainya Engkau Menjadi Pelabuhan Terakhirku

Pelabuhan terakhirku

Jika ditanya apa yang membuat seseorang tersenyum sumringah saat lagi duduk sendiri, barangkali selain panggilan untuk wawancara kerja, satu di antaranya tentang jatuh cinta. Namun jika diajukan pertanyaan lain terkait motif jatuhnya air mata dari seseorang, patah hati mungkin salah satu jawabannya. 

Advertisement

Engkau yang lagi melahap artikel ini tentu pernah mengalaminya. Ia tak memandang latar belakang, status sosial dan warna kulit. Entah siapapun dia, pengalaman jatuh cinta tentu membuatnya tergila-gila, menguras energi dan ingatannya selalu tentang dia, pujaan hatinya. Begitupun dengan patah hati menguras energi laiknya jatuh cinta tadi.  

Setelah pada pekan lalu menulis tentang artikel patah hati, aku menyakinkan diri bahwa tak baik berlarut-larut dalam merayakan patah hati. Hati yang patah berkeping-keping, pun rasa yang telah hempas dari perjalanan, baiknya hanya dijadikan sebagai catatan hidup  yang patut dikenang. Hanya dikenang, bukan untuk kembali ke dalam pelukannya di suatu masa kelak.

Menghabiskan waktu patah hati berlarut-larut, juga memilih untuk tak bangkit lagi mencari cinta yang lain, bahkan sampai masuk level depresi akut, tentu tak baik untuk siapapun itu. Pasalnya, masih ada pilihan yang lebih baik di luar sana. Hanya orang-orang tak bermental baja yang menyerah tanpa syarat gara-gara patah hati, apalagi tak memilih untuk menyambangi hati yang lain di tengah arus  digital yang masif untuk menemukan pujaan hati, sungguh terlalu kata bang Haji Rhoma Irama.

Advertisement

Di tengah hati yang patah, aku merasa memilih energi untuk menata kembali kepingan-kepingan hati yang patah. Berbekal tekad yang kuat, aku mencoba menemukan pilihan yang lain. Toh, mecoba lebih baik daripada tidak sama sekali. Kata orang bijak di luar sana, lebih baik gagal karena mencoba, dibandingkan merayakan kegagalan karena tidak mencobanya sama sekali. Ketakutan terbesar memang ada di dalam pikiran kita masing-masing, taklukkan dulu pikiran maka pintu keberanian akan terbuka dengan sendirinya.

Aku pun mencoba kembali untuk mengangkat kepala untuk mendekati salah satu adik kelas saat mengenyam bangku pendidikan menengah atas. Sempat saling bertegur sapa di sepuluh tahun lalu, tetapi tidak berani menatap lebih lama dari biasanya. Lagian di masa putih abu-abu itu, ia lagi menjalin hubungan dekat dengan salah satu teman dekatku, toh tidak baik apabila aku mendekatinya pula. Akan menjadi apa persahabatan kami kelak.

Advertisement

Tahun demi tahun berlalu, dunia maya membuat kami bersua kembali. Usai memperhatikan foto-foto yang terpampang di media sosialnya, aku pun menyakinkan diri bahwa ia salah satu adik kelasku dulu. Ingatan kembali dibawa ke sekian tahun yang telah lewat, bahwa ia salah satu adik kelas yang memiliki paras yang aduhai cantiknya.

Tak menyia-nyiakan keadaan, aku memanfaatkan ruang temu di dunia maya dengan bertegur sapa. Kabar baiknya ia menyambut pesanku dengan cepat. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan, ia pun menanggapinya. Aku merasa dihargai. Kami saling bertanya kabar satu dengan yang lain, ruang akrab pun perlahan-lahan terbentuk.

Percakapan pun dilanjutkan. Bertukar nomor pribadi puncaknya. Sebagai lelaki lajang yang jalang, aku pun menghujaninya dengan ragam pertanyaan. Ia menanggapi sesuai dengan keadaan yang ia alami. Aku bersyukur sebab ia sedang mengemban status yang sama sepertiku; masih lajang.

Puncak dari keseluruhan percakapan di ruang maya itu, aku mengutarakan isi hatiku. Tanpa tedeng aling-aling, aku memberanikan diriku bahwa ada asa yang jadi rasa untuk bersamanya bertahan di sisiku. Ia menanggapinya dengan menyetujui isi hatiku. Alhasil, kami merayakan waktu sebagai sepasang kekasih.

Jarak yang terpisah puluhan kilometer bisa ditaklukkan dalam waktu puluhan menit saja. Berkat jarak yang tidak jauh, di dua hari lalu kami bersua di ruang temu. Bukan hanya bersua di ruang maya, tetapi kami merayakan jatuh cinta di ruang nyata. Hal ini kabar baik yang patut dirayakan dengan menyakinkan diri, semoga saja ia menjadi pelabuhan terakhirku.

Dalam obrolan di tepi pantai di timur tanah ini, bersama dengan angin sepoi-sepoi yang datang dari Laut Sawu, ragam topik diperbincangkan. Berawal dari topik tentang masa usai mengenyam pendidikan menengah atas, lika-liku di dunia pendidikan tinggi, termasuk tantangan di dunia kerja yang pernah kami alami. Kami menikmatinya dengan sesekali menatap satu sama lain, senyum sumringah pun akan muncul di antara tatapan-tatapan itu.

Debaran ombak memecah kesunyian, lalu lalang orang-orang yang sedang mengais asa terlihat di lautan lepas, ada yang tengah memancing sebagian lagi tengah melempar jala, anak-anak kecil berlarian ke sana kemari, kami masih terbuai dalam obrolan dalam pertemuan perdana. Aku menghujaninya dengan ragam pertanyaan. Itikadku yang hendak menjadikannya pujaan hati yang abadi di sisi, mendorong naluriku untuk mencari tahu tentangnya lebih jauh dengan terus bertanya.

Usai ruang temu perdana, harapanku  cuma satu; semoga ia menjadi pelabuhan terakhirku. Pengembaraan yang aku lakukan sejauh ini, ingin rasanya berujung di dermaga hatinya. Jalan panjang yang aku tempuh ingin habiskan waktu bersamanya. Andai asaku jadi nyata, indah nian hidup ini. Jika demikian, jomlo jangan iri. Tolong!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta Kopi Colol dan Sopi Kobok. Tinggal di Manggarai Timur, Flores. Amat mencintai tenunan Mama-mama di Bumi Flobamora.

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE