Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia dengan Mendukung RUU PKS? Yuk Cari Tahu!

Perempuan memang harus melawan jika ia mendapati tindakan pelecehan dan kekerasan yang menciderai martabat dirinya.

Kekerasan seksual bukanlah kasus yang asing lagi. Perempuan hingga laki-laki, tua hingga anak-anak, memakai baju terbuka atau tertutup, semuanya tetap berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap tindakan, baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki.

Advertisement

Biasanya, kekerasan seksual lebih sering terjadi pada perempuan dikarenakan stigma yang dianut sebagian masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan pantas disalahkan apabila mengalami kekerasan seksual padanya. Masyarakat menilai bahwa perempuan yang memakai pakaian yang tidak tertutup pantas mendapatkan kekerasan karena mereka yang “mengundangnya”. Berbicara tentang bagaimana seharusnya pakaian perempuan agar tidak dilecehkan, survei membuktikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi pada siapapun dengan penampilan seperti apapun. Tidaklah peduli apakah ia berpakaian rok mini, kemeja, celana jeans, atau bahkan rok panjang, gamis, hingga hijab panjang.

Mengapa Korban Kekerasan Seksual Kerap Tak Berdaya?

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kasus kekerasan seksual terjadi, salah satunya dari niatan pelaku. Disisi lain adalah karena kurangnya edukasi atau pendidikan seks, pendidikan seksual di Indonesia yang diajarkan pada sekolah-sekolah formal hanya seputar kesehatan organ reproduksi yang terkait dengan ancaman untuk tidak melakukan seks dan penyakit menular seksual.

Advertisement

Pada tahap selanjutnya, stigma yang tersebar mengenai korban yang menjadikan korban memiliki rasa malu, rasa bersalah serta tidak berharga. Selain karena peranan media yang membingkai korban sebagai objek atau sumber masalah, faktor lain adalah konsep moralitas di masyarakat kita yang menggambarkan perempuan sebagai simbol kesucian atau kehormatan di keluarganya sehingga ketika mereka mendapatkan kekerasan seksual atau pun pelecehan seksual, mereka dianggap sebagai aib bagi keluarga. Masyarakat berasumsi bahwa perempuan yang terkena pelecehan seksual merupakan perempuan “nakal”, perempuan yang memakai baju terbuka atau perempuan yang sudah tidak suci atau bahkan perempuan yang kotor dan hina. Ketika korban mendapatkan stigma seperti itu, maka semakin terlihat pula bahwa korban menjadi tidak berdaya.

Apa Iya Korban Kekerasan Seksual Hanya Perempuan?

Advertisement

Kekerasan seksual memang lebih sering menimpa perempuan di dukung oleh keyakinan masyarakat terhadap perempuan yang lebih tidak berdaya dibanding laki-laki dan sangat tidak masuk akal apabila laki-laki sebagai manusia yang paling superior di muka bumi mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 11% pria pernah mengalami pelecehan seksual yang merupakan satu dari banyaknya jenis-jenis kekerasan seksual. Sadarkah kita, ketika mereka memberanikan diri berbicara tentang apa yang dialami, sebagian masyarakat kita justru mengomentari kejadian itu dengan sangat menyakitkan, seakan itu pantas mereka terima. Dalam kasus ini, tingkat kemaskulinan mereka pun dipertanyakan, apabila laki-laki terkena kekerasan seksual maka tingkat kemaskulinan yang di miliki sangatlah rendah. Tingkat maskulinitas ini di dasari pada kekuatan fisik, dimana laki-laki haruslah kuat sehingga selalu bisa membela diri ketika di lecehkan.

Sudut pandang masyarakat Indonesia terhadap pelecehan maupun kekerasan seksual kepada laki-laki bisa dikatakan sangat sempit, salah satu hal yang membuat korban enggan untuk speak up adalah respon negatif dari masyarakat. Meskipun sudah jelas-jelas berstatus korban, seringkali masyarakat memberikan komentar dan tuduhan menyakitkan terkait bagaimana korban seharusnya bisa membela diri atau bagaimana korban berpenampilan. Memang pada dasarnya korban perempuan dan pelaku laki-laki adalah hal yang paling normal banyak terjadi di Indonesia tetapi di sisi lain, siapapun bisa menjadi korban, akan lebih baik untuk kita bersama-sama membangun stereotip baru di mana korban bisa jadi seorang laki-laki. Semua korban haruslah sama di mata masyarakat, di mana kita harus melindungi mereka dan membantu melawan pelaku kejahatan yang sebenarnya. Disaat seperti itu, Indonesia akan pelan-pelan berubah menjadi tempat yang aman untuk ditinggali, kita tidak bisa mengontrol orang jahat di tanah Ibu Pertiwi ini, namun bisa mengkontrol apa yang kita lakukan untuk mengatasi hal seperti ini agar tidak akan terjadi lagi.

Upaya Memperkuat Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia dan RUU PKS

Melihat banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia, maka bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia? Berkaca dari maraknya kasus dan kurangnya penanganan yang belum terkategorisasi, maka muncul ke permukaan sebuah usulan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Sosial. RUU PKS dipandang sebagai payung hukum yang kuat bagi korban kekerasan seksual, selain karena khawatir akan adanya intimidasi dari pelaku, korban justru terviktimisasi. Mulai dari cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, status perkawinannya, pekerjaan nya atau karena keadaan, waktu dan lokasi tertentu. Jika korban melapor, tidak semua jenis kekerasan seksual dapat diakomodir oleh hukum Indonesia, KUHP hanya mengatur kekerasan seksual dalam konteksperkosaan yang tidak mampu memberikan perlindungan pada korban. Meski ada undang-undang lain, namun hal itu hanya bisa digunakan dalam ruang lingkup terbatas, seperti korban KDRT, kekerasan anak.

Padahal ada banyak jenis kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, penyiksaan hingga perbudakan seksual. Dalam upaya menangani kasus dan kekerasan seksual, anggota golongan aktivis mengajukan rancangan Undang-Undang atau yang dikenal dengan RUU PKS yang mengatur sembilan tindakan kekerasan seksual yang akan dipidana, yang sebagian tidak diatur dalam KUHP atau peraturan lain. Kehadiran RUU PKS dapat mengakomodir hak-hak korban yang tentu mutlak dibutuhkan sebagai payung hukum. Namun usaha mereka sia-sia setelah DPR RI resmi menarik 16 Rancangan Undang-Undang dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020 pada juli 2020 lalu. Salah satunya adalah RUU PKS, hingga saat ini belum ada kebijakan yang mengakomodir hak-hak korban kekerasan seksual secara komprehensif. Definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU PKS. Pasal itu menyatakan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik".

Dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20, tidak cukup sampai di situ RUU PKS ini tidak hanya menyinggung pelaku, melainkan juga penanganan yang jelas terhadap korban untuk diberi pendampingan khusus. Untuk itu banyak golongan masyarakat dan para aktivis menuntut anggota DPR untuk mengesahkannya bahkan banyaknya masyarakat yang mengkritisi kinerja wakil rakyat, yang menilai berlarutnya pembahasan RUU PKS menunjukkan kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan tidak dianggap sebagai persoalan penting.

Maka sudah saatnya kita sadar untuk saling menjaga terutama kepada sesama perempuan dan untuk terus menuntut pengesahan RUU PKS.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Women's Muslim

CLOSE