[CERPEN] Penantian dalam Jarak

Menuai penantian yang berbuah manis

Hari itu adalah waktunya kami bertemu. Seperti yang sudah ditentukan sebelumnya. Seperti kebiasaan yang sudah sudah. Pertemuan yang dirasa harus dilakukan dalam hitungan beberapa kali dalam rentang waktu yang telah disepakati. Pertemuan yang dilakukan tanpa rencana akan kemana. Salah satu dari kami sudah pasti harus menunggu untuk dapat memulai sebuah pertemuan.

Advertisement

“Udah bangun belum? Aku bentar lagi jalan”

Send.

Pesan singkat online tanpa pulsa itu terkirim pada seseorang. 5 menit berlalu tanpa adanya tanda bahwa pesannya sudah terbaca oleh yang dituju. Artinya Rheya harus menunggu sampai setidaknya terlihat bahwa pesannya sudah terbaca.

Advertisement

10 menit berlalu belum juga ada tanda-tanda itu. Rheya sudah bersiap hendak berangkat dari 30 menit lalu. Selama 10 menit itu ia menunggu sambil menyiapkan sepatu yang akan dipakai. Ia mengecek kembali barang yang akan dibawa. Baju ganti, charger, hair dryer, alat mandi, make up, kaos kaki, mukena dan beberapa barang penting lainnya sudah lengkap berada di ransel marun favoritnya.

Ponselnya berbunyi semenit kemudian. Balasan datang dengan kalimat “Aku baru habis mandi, ini lg siap2. Km jalan aja.”

Advertisement

Tanpa basa-basi membalas pesan tersebut, Rheya langsung bergegas menuju stasiun terdekat dan membalasnya ketika sudah berada di kereta. “I’m on my way” pesannya pada laki-laki berusia 27 tahun itu.

Setidaknya 30 menit kemudian terdengar dering dari ponsel milik Rheya.

“Kamu udah di mana?” Tanya orang diseberang telepon.

“Udah masuk stasiun terakhir, bentar lagi turun. Nunggu di mana ?” Balas Rheya.

“Deket eskalator ya”

“Oke, wait ya.”

Rheya sangat bersemangat dalam pertemuan hari itu. Betapa tidak, hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu kencan sebelum pacarnya pindah dan harus menjalani LDR. Hari itu mereka lewati berdua dari pagi hingga malam. Kemanapun dilalui demi mendapatkan quality time yang betul-betul berkualitas.

Tidak seperti biasanya, Rama ingin sekali mengantarnya pulang malam itu. Sampailah mereka berdua di stasiun dekat rumah Rheya. Rama tidak ikut keluar stasiun dan mereka berpisah di sana.

Mengejar jadwal kereta, Rama langsung bergegas ke jalur seberang untuk kembali ke rumahnya. Perjalanan tersebut memakan waktu kurang lebih 1 jam. Rama langsung melakukan perjalanan ke kota seberang malam itu juga karena kewajiban untuk bekerja di kota tersebut di mulai esok hari.

Lelah memang, tapi waktu tidak akan terulang kedua kali. Mungkin kesempatan itu yang hendak dimanfaatkan oleh sepasangan ini. Rheya juga tidak memerlukan waktu lama untuk meresapi kejadian ini. Pertama kalinya ia harus berhubungan jarak jauh dengan Rama. Tangis pun pecah disela tidur malamnya. Akibatnya ia jadi tidak bisa tidur malam itu. Beruntung esok harinya ia sedang libur.

Rheya menunggu Rama memberikan kabar sesampainya ia di kota tetangga. Membutuhkan waktu kurang lebih 3 hingga 5 jam. Tetapi selama itu ia menunggu, sampai Rheya menghitung jam yang seharusnya Rama sudah sampai, namun tidak kunjung ada kabar.

Hingga pagi menjelang, kabar juga tidak juga sampai ke ponsel Rheya. Khawatir. Apa pula perasaan yang banyak menghalau hati perempuan jika bukan khawatir. Komunikasi adalah hal dasar yang melandasi sebuah hubungan. Mengetik pada pesan singkat hanya membutuhkan waktu 1 menit paling lama dan mengirimnya. Tapi pesan tersebut tidak ada.

Hingga akhirnya sore hari ada pesan masuk dari yang diharapkan bahwa ia sudah sampai malam tadi dan langsung tidur. Rheya pun membalas “Iya, istirahat aja kalau masih capek. Besok kan udh kerja lg pagi. Jgn lupa makan.”

Waktu menunjukkan pukul 22:31 WIB. Pesan yang dikirimkan oleh Rheya satu jam sebelumnya belum terbaca. Tidak ambil pusing, ia kemudian bersiap tidur. Inginnya tidur tapi mata tidak mau terpejam. Rindu dan segala kenangan kemarin masih menempel jelas di pikirannya.

Kekhawatiran yang lain ikut muncul. Seolah ingin diutamakan untuk dipikirkan di otak Rheya saat itu. Tanpa pikir panjang, Rheya memutuskan untuk mencoba memaksakan diri tidur. Tidak terasa hari demi hari berlalu hingga jika dihitung, sudah 2 bulan sejak mereka menjalani jarak jauh ini.

Tugas akhir sudah menunggu Rheya untuk diselesaikan.

“Kayaknya menunggu memang list paling atas di hidupku ya”. Ujar Rheya kepada dirinya ketika sedang bercermin di toilet kampus. Hari berganti minggu dan berganti bulan. Namun yang ditunggu tidak menyadari bahwa ia sedang dinanti. Ya, Rheya sedang menyelesaikan studi kedua pada sebuah perguruan tinggi.

Tentu dengan pola yang sudah terbaca. Rheya lebih sering menunggu kabar dari Rama. Alasan pekerjaan jadi yang utama. Tapi apakah tidak ada terpikir di otaknya untuk memberikan waktu kepada Rheya barang semenit saja ?. Intensitas komunikasi mulai menurun beserta kualitasnya. Tidak seperti dulu saat masih dekat.

Sejenak insting akan sesuatu hal dari benak Rheya muncul. Hal ini didasari oleh kejadian belum lama sebelum Rama memutuskan pindah pekerjaan ke kota sebelah. Sebenarnya Rheya tidak ingin mengingatnya karena masalah itu sudah selesai didiskusikan. Tetapi entah mengapa dari semenjak jauh, hal itu sering terbersit dipikirannya.

Rheya memutuskan untuk mendatangi Rama. Ia memesan tiket pergi dan pulang dan menentukan di mana ia akan tinggal selama di sana. Beruntung Rheya memiliki teman yang memang domisili di kota tersebut. Rama pun menyambutnya ketika Rheya datang.

Pertemuan pertama setelah jauh terasa menyenangkan. Pikiran-pikiran Rheya akan kekhawatiran tersebut langsung hilang. Ia semakin yakin bahwa pikiran itu datang sebagai ujian dan gangguan. Artinya Rheya harus lebih kuat menjadi perempuan yang memang dikaruniai perasaan yang lebih peka. Bukankah begitu, wahai perempuan?.

Ternyata pikiran ini hanya sementara. Esok harinya Rheya entah kenapa memiliki insting lagi akan hal tersebut. Rama tidak membalas pesan singkat Rheya walaupun ia tau Rama sedang membuka aplikasi pesan singkat tersebut. Berulang kali terjadi akhirnya Rheya memutuskan untuk menggali sesuatu.

Bukti mengatakan bahwa memang apa yang Rheya pikirkan betul terjadi. Rheya yang entah bagaimana caranya, ia sendiri saja bingung bisa mendapatkan bukti itu. Mungkin semesta mendukungnya dengan jawaban itu. Rheya tidak dapat menahan laju air matanya yang deras terpendam. Ditambah lagi pihak tersebut menyimpan bukti yang lebih nyata yang dikirimkan pada Rheya. Ia hanya bisa membalas pengiriman tersebut dengan singkat.

“Terima kasih” ketik Rheya di pesan tersebut.

***

Tidak ada yang bisa menggambarkan hati Rheya saat itu. Terbayang apa yang sudah mereka lakukan dibelakang Rheya selama ini. Adu kata dengan tingkat tinggi pun terjadi antara Rheya dan Rama.

“Aku memang mau bilang sama kamu soal hal ini, mumpung kamu ada di sini juga. Tapi udah keduluan dia ngasih tahu ke kamu. Aku yang udahin duluan malam itu. Ngancemnya betulan dikirim kekamu”. Jelas Rama.

Rheya masih diam. Antara bingung, sedih, kecewa, marah , kesal hingga ada perasaan ingin memukul Rama bercampur aduk menjadi satu. Dia cuma bisa diam dan menangis. Menangis untuk beberapa lama. Rama memeluknya. Membelai rambut di kepala Rheya dengan lembut.

“Maaf. Maafin aku” ujarnya. Rheya tahu bahwa Rama juga sedang menangis namun ditahan.

Habis waktu beberapa jam dalam diskusi panas tersebut sebelum akhirnya mereda. Rheya merasa penantiannya selama ini ketika menunggu Rama seakan tidak ada nilainya. Pertanyaan dalam diri Rheya melintas kesana kemari.

Apakah Rama tahu bahwa ia sering tidak bisa tidur karena sulit sekali mendapatkan kabar sedikit saja darinya?. Apakah ia tahu bahwa Rheya sering menyalahkan dirinya sendiri ketika Rama tidak bisa dijangkau dalam waktu lama ?. ia sering menyalahkan diri sendiri karena berpikir akan mengganggu Rama yang mungkin masih bekerja pada akhir pekan atau pada malam hari.

Ternyata menunggu Rama dengan setia di kota berbeda atas nama kepercayaan disalahgunakan. Malah justru Rama sering menyalahkan Rheya yang menelepon dengan sering ke ponselnya. Apa salah Rheya meminta haknya sebagai pasangan?. 

“Kita bisa mulai dari awal lagi ? Tanya Rama

Rheya terdiam. Merenung. Ia tidak ingin memutuskan sesuatu hal seperti ini dengan kondisi emosi yang belum stabil. Cukup lama waktu dihabiskan dengan berdiam. Rheya menghela napas panjang beberapa kali. Cara yang mudah untuk mendapatkan kestabilan emosi sekaligus menenangkan pikiran.

“Dari awal, aku udah kasih lampu merah kekamu soal dia. Tapi tidak kamu dengar. Kamu ga percaya sama kata-kata aku dan justru malah kesal ke aku. Sekarang sudah seperti ini kamu bisa apa?” jawab Rheya singkat.

Rama terdiam. Rheya mengambil tisu dari tasnya. Mengusap mata dan menata wajah agar setidaknya tetap terlihat biasa.

“Kalopun ada kesempatan, aku mungkin bisa maafin, tapi butuh proses panjang untuk lupa gak tahu sampai berapa lama. Tergantung juga sama usaha pembuktian kamu ke depannya gimana ke aku.”

“Aku juga punya teman lawan jenis kok, kamu tahu, aku sering cerita. Tapi aku tidak pernah pergi jalan berdua. Sama sekali. Untuk sekedar chating aja aku batesin. Aku tahu batasan agar perasaan kamu terjaga. Karena yang aku tahu, aku memutuskan untuk komitmen sama kamu dan kamu juga begitu. Komitmen memang semenjaga itu” Jelas Rheya.

Diskusi diakhiri dengan luapan pelepasan emosi lebih banyak dari Rheya. Ditutup dengan pelukan hangat dari Rama.

***

Sudah beberapa bulan dari kejadian itu. Proses yang dijalani beberapa bulan pertama cukup menguras tenaga dan adu kata. Bulan-bulan berikutnya luka berproses untuk sembuh. Tetapi manusia tidak bisa menahan pikiran yang datang. Hanya bisa menutupnya rapat-rapat ketika datang agar tidak menetap.

Dalam hidup akan tetap ada penantian. Menunggu seseorang pulih dari luka. Menunggu seseorang untuk dapat beradaptasi satu sama lain. Dari menunggu tersebut dapat dipelajari batasan toleransi diri satu sama lain yang sedang berkomitmen.

Pasangan adalah dua individu dengan isi kepala berbeda yang memutuskan jalan bersama. Untuk dapat jalan bersama dibutuhkan adaptasi toleransi. Untuk mencapai ke sana, membutuhkan waktu dan proses yang menuntut kita untuk menunggu.

Hal ini dirasakan betul oleh Rheya pada masa pemulihan diri. Hidup memang butuh meresapi dari masalah yang ada. Tidak beda halnya dengan menunggu pasangan yang sulit memutuskan untuk membeli sesuatu.

“Mahal banget ini doang masa 200 ribu” Ujar Rheya

“Ya kalo awet kenapa engga. Kan ada harga ada rupa”

“Iya, tapi aku bisa cari yang lebih murah dari ini, udah gitu kualitasnya sama”

“Yaudah beli yang lain aja, jangan di situ”

“Tapi ini bahannya bagus sih, gimana ya”

“Ya beli”

“Gak ah, yang online aja aku belinya”

Dengan tersenyum, Rama tetap menemani dan menunggui Rheya selesai melihat-lihat. Menunggu bisa jadi membosankan dan menyakitkan. Tetapi usaha menunggu juga disertai balasan yang berbuah manis pada akhirnya.

***

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Clinical psychologist