[CERPEN] Penantian Seorang Ibu

Tiap hari ia menunggu, untuk sekedar melihat bagaimana keadaannya, tempat digantungkannya masa depannya

Namanya Bu Prapti, wanita paruh baya yang masih terlihat sehat dan tegap dengan rambut ikal sebahu duduk termenung di teras rumahnya. Entah apa yang dipikirkan sehingga saban hari ia terlihat duduk di sana. Seakan sedang menunggu, sorot matanya tak lepas memandang jalanan desa di hadapannya. Sama halnya dengan hari ini, ia terlihat duduk di kursi kayu tua.

Advertisement

Seperti biasa, ia tampak menunggu sesuatu. Bu Prapti segera bangkit, tatkala suara azan menggema dari pengeras suara musala tak jauh dari rumahnya. Bergegas mengambil air wudu dan mukena putih yang kini telah memudar kecoklatan. Melangkah pelan namun pasti, ia menuntun gadis kecil berkaki pengkor menuju musholla.

***

Pagi hari pukul sepuluh, suasana pedesaan sepi. Banyak masyarakat yang telah menjalani rutinitasnya masing-masing, bekerja dan bersekolah. Hanya tertinggal beberapa ibu rumah tangga dengan kesibukannya untuk menuntaskan segala kewajiban di dalam rumah. Namun semua berubah saat tiba-tiba Bu Prapti berteriak minta tolong. Sontak, para tetangga yang hanya tersisa beberapa berlari, menggeruduk rumah Bu Prapti.

Advertisement

Terlihat wajahnya pucat pasi, peluh memenuhi wajah, dengan sedikit melotot, tangannya menunjuk sesuatu ke arah kamar mandi. Terlihat bibir dan tangannya bergetar, menandakan ia sedang takut dengan apa yang dilihatnya saat itu. Dengan perasaan was-was dan penasaran, salah seorang tetangga melangkah maju. Memastikan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Dilihatnya, Suwanti anak perempuan Bu Prapti tengah pingsan di atas jamban.

Setengah duduk dan kaki mengangkang tanpa busana bawah, terdapat darah segar dari pangkal paha yang meluber ke lantai keramik. Pingsan. Namun bukan itu yang menjadi perhatian utamanya. Akan tetapi seorang bayi mungil tertelungkup yang masih merah dan berlumur darah. Tak terdengar tangisannya. Bayi tetap tak bergeming meski telah diberi rangsangan untuk menangis. Tetap anteng. Mati.

Advertisement

***

Hari ini, Bu Prapti terlihat menyuapi gadis kecil yang digendongnya. Meski si gadis kecil selalu menutup mulutnya tiap kali Bu Prapti menyendokkan nasi sayur. Namun Bu Prapti tetap sabar dan telaten memberinya makan. Diajaknya jalan-jalan berkeliling rumah dengan maksud agar si kecil bersedia membuka mulut, mengunyah makanan yang telah di siapkan agar ia dapat tumbuh sehat. Begitulah harapan Bu Prapti.

Sesekali si kecil berucap “Mama..” Hati Bu Prapti seakan teriris tiapkali Bella, gadis kecilnya mengucapkan kata itu. Dipandanginya malaikat kecil dalam gendongannya dengan seksama. Gadis kecil dengan rambut keriting dan bola mata bulat, seakan merindukan ibunya. Mengharap didekap dengan penuh kasih sayang yang kini tak dapat ia rasakan. Menetes air mata Bu Prapti, seakan segala kesedihan dan kepedihan hidup tak dapat dibendungnya lagi. Bergegas memasuki rumah, ingin segera menumpahkan air mata yang lama tertahan.

***

Ramai tetangga berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Sebagian lagi berlari mencari bantuan pada laki-laki yang barangkali masih ada yang di rumah. Namun, nihil. Beruntung, Bu Mirah, tetangga yang sangat baik, bertemu Bu Sunar, dukun bayi desa setempat. Dengan cepat mereka melangkah ke rumah Bu Prapti. Memeriksa bagaimana kondisi ibu dan anak yang baru dilahirkan. Ibu dalam keadaan baik, namun bayi tidak terselamatkan.

Suwanti, anak perempuan Bu Prapti, telah melahirkan bayi perempuan di dalam kamar mandi. Tak jelas siapa bapaknya. Yang pasti, Suwanti kerap berganti pasangan. Begitulah yang diketahui tetangga tiap kali ia membawa pacar ke rumah. Bayi Suwanti yang meninggal telah dimakamkan, sedangkan ia sendiri tengah menjalani perawatan pemulihan. Ada sebersit kelegaan di hati Bu Prapti, setidaknya kondisi anak perempuan yang disayanginya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

***

Suwanti Mulyaningnsih. Nama anak perempuan Bu Prapti. Umurnya telah menginjak sembilan belas tahun. Cantik parasnya, tinggi semampai, hidung mancung bermata belok. Nyatanya tanpa polesan bedak pun, dia tetap terliahat menawan. Membuat semua orang yang melihatnya iri akan anugerah yang telah Tuhan berikan. Siapa sangka, Suwanti, seorang perempuan cacat.

Bisu dan tuli telah bersarang padanya sejak kecil. Tak seorangpun mengira kondisinya demikian. Dibalik segala kekurangannya, toh Suwanti telah berhasil menjadi gadis desa yang cantik jelita. Tak jarang Suwanti sering keluar malam ke kota dengan riasan wajah yang menawan. Menggoda iman setiap lelaki yang dijumpai.

Anak Bu Prapti tak hanya Suwanti. Ia mempunyai satu anak laki-laki, Sulis. Remaja tanggung yang telah lama putus sekolah. Tak banyak yang bisa diharapkan darinya. Sebagai penggati ayah, Bu Prapti berharap Sulis dapat membantu kehidupan keluarga, baik secara ekonomi dan menjaganya, serta kakak perempuannya. Namun nyatanya, malah sebaliknya. Mabuk menjadi kebiasaan. Marah-marah tak jelas dan selalu Bu Prapti yang menjadi pelampiasan.

Suami Bu Prapti, Pak Sugeng, masih hidup dan sehat. Ia bekerja sebagai sopir bus antar kota dalam provinsi yang membuatnya jarang pulang ke rumah. Praktis, Bu Prapti menjadi penanggung jawab keluarga bagi dua anak dan seorang cucu disaat sang suami bekerja.

***

Sejak peristiwa di kamar mandi waktu itu, Bu Prapti lebih banyak menutup diri. Tak terlihat lagi ia berjalan bergegas ke musholla. Lebih memilih berdiam diri di dalam rumah, dari pada harus bersosialisasi dengan tetangga namun dengan menahan malu. Berharap waktu segera berlalu, mengubur segala malu dan amarah. Hingga suatu hari nanti ia dapat melepas segala beban di hati. Namun ternyata harapannya keliru.

Selang enam bulan berlalu, perut Suwanti terlihat membuncit. Kali ini lebih terlihat dengan kasat mata dibandingkan sebelumnya. Ya, Suwanti hamil lagi. Namun sekarang lebih jelas siapa bapaknya. Marno. Laki-laki bisu dan tuli, teman sepermainan Suwanti. Tak ada pilihan lain selain menikahkan keduanya, secara sederhana. Bu Prapti berusaha kembali menahan malu.

Ingin rasanya ia marah, meluapkan segala emosi yang telah terpatri di hati. Namun apa daya, ia lebih menyayangi anak-anaknya, dibanding mementingkan amarahnya. Baginya yang terpenting saat ini adalah bagaimana menjalani kehidupan dengan baik setelah apa yang terjadi.

***

Saat ini usia Bella telah tujuh tahun. Sejak dua tahun yang lalu ia ditinggal ibunya entah kemana. Bapaknya hanya sesekali datang menjenguk. Kehidupan Bu Prapti kini berbalut kesendirian. Anak perempuan yang selalu disayanginya tak juga pulang. Tiap hari ia menunggu, untuk sekedar melihat bagaimana keadaannya, tempat digantungkannya masa depannya.

Tak henti doa mengalir, berharap kelak anak-anaknya menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Ia akan tetap menunggu, hingga suatu saat nanti ia mengetahui bahwa anak perempuannya telah mati, di tempat yang tak jauh dari rumahnya, akibat perbuatan sang menantu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

seorang perempuan biasa yang ingin selalu belajar

CLOSE