[CERPEN] Penantian Terindah

Tak ada lagi menunggu itu pekerjaan yang membosankan. Bagiku kini, menunggu adalah hal yang menyenangkan

Namaku Arini. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak perempuanku sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Bapakku bekerja sebagai buruh serabutan. Tukang bangunan, buruh cangkul di sawah tetangga, hingga pencari pasir dan batu di sungai, semua dijalani bapak. Pagi hari sebelum subuh, dia sudah pergi, menjelajah dari satu sawah ke sawah lain, yang tentunya bukan sawah milik kami, untuk mencari rumput sebagai pakan sapi kami. Hingga menjelang fajar, beliau sudah kembali pulang untuk sarapan, dan akhirnya bekerja.

Advertisement

Sedangkan ibuku, sebelum menjadi seorang nenek, beliau membantu bapak bekerja. Menjadi buruh tentunya. Menjalani buruh tanam padi di sawah tetangga. Sebelum subuh, setelah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, dia sudah berangkat ke sawah yang akan ditanam padi. Petang pukul lima sore baru pulang ke rumah. Dengan ikhlas ia jalani meskipun dengan upah yang cukup untuk membeli beras satu kilo dan minyak goreng curah seliter.  

Semenjak punya cucu, ibuku berhenti dari pekerjaan buruhnya. Menjadi pengasuh bagi si cucu. Praktis, jika perekonomian keluarga yang dulu di topang oleh dua orang, kini hanya menjadi bapak saja yang mencari nafkah. Kekurangan? Tentu. Tak apa, semua ikhlas.

Kami tinggal di desa, jauh dari pusat kota. Tak pernah kami nikmati bagaimana gemerlap kota yang menyuguhkan segala kemewahan dan fasilitas yang mengagumkan, katanya. Sehari-hari hidup kami penuh kesederhanaan. Tak ada barang mewah yang kami punya. Rumah berdinding kayu, berlantai tanah, cukup membuat kami bersyukur. Tak jarang setiap hujan, rumah kami bocor, terdengar banyak tetesan air di sana sini. 

Advertisement

Sebagai pelindung tempat tidur agar tidak basah dan tetap nyaman untuk tidur, ibu menyediakan plastik bening ukuran dua meter x satu setengah meter. Tak ku tahu hingga saat ini dari mana dulu ia dapatkan. Fungsinya, untuk menutup kasur agar tidak terkena bocoran air dari genting rumah saat hujan deras. Namun, hanya kasur ibu yang ditutup. Karena di rumah ini hanya ibu yang tidur di kasur, itupun usang. Sedangkan aku? Tidur di dipan beralaskan galar bambu dan tikar plastik usang yang telah banyak berlubang.

Tidak ada televisi, radio, kipas angin, sofa tamu, apalagi kulkas atau perabot rumah tangga bagus lainnya. Yang ada di ruang tamu hanyalah kursi kayu tua, yang setiap kali diduduki pasti berdenyit dan mencubit pantat. Memasak menggunakan tungku, berbahan kayu bakar khas daerah pedesaan. Daun singkong, pepaya muda, ketela rambat, atau rebung  adalah menu tetap kami sekeluarga. Jika ada sedikit uang, kami bisa makan tempe atau tahu, tapi tidak setiap hari. 

Advertisement

Atau kita bisa makan dengan telur yang dicampur dengan tepung terigu curah lalu di dadar. Empat butir telur dengan seperempat kilogram tepung,menghasilkan telur dadar cukup banyak dan sangat cukup untuk makan kami sekeluarga. Rasanya sudah bukan lagi makan telur, melainkan makan tepung goreng. Tidak ada ikan apalagi daging. Jika malam hari tidak ada sayur atau lauk untuk makan, kami cukup menggoreng sedikit tempe, bawang putih, bawang merah, dan cabai lalu kemudian kami ulek dan makan secara bersamaan kerupuk karak nasi yang dibuat ibu. Cukup mengenyangkan.

Setidaknya, aku cukup beruntung. Dapat bersekolah dengan sangat layak. Dari sekolah dasar hingga menengah ke atas, aku mendapatkannya di sekolah negeri. Tak dapat kugambarkan bagaimana jerih payah perjuangan orang tuaku saat itu. Sekolah sangat mahal untuk ukuran keluarga miskin seperti kami. Namun semua itu mengalahkan tekad dan semangat bapak, dimana ia pernah bejanji dalam hidupnya, akan bekerja keras agar anaknya mendapat pendidikan lebih baik.

Berbeda dengan kakakku, dia hanya tamatan sekolah menengah, itupun sekolah madrasah pinggiran desa yang memang diperuntukkan bagi anak yang tidak mampu. Setelah lulus, ia membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh pabrik tak jauh dari rumah. Aku kira, nasibnya tidak sebaik diriku. Dalam bersekolah, aku tidak pernah mengecewakan. Sebagai anak dari keluarga yang tidak mampu, mendapat rangking dalam lima besar selama sekolah cukup membuat orang tuaku bangga. 

Setidaknya harapan orang tua untuk memiliki pendidikan lebih baik telah tercapai. Jauh melampui pendidikan orang tuaku dulu. Bapakku hanya bersekolah hingga kelas empat sekolah dasar. Sedangkan ibu, sama sekali tidak mengenyam pendidikan. Lebih baik dari ibu, bapak bisa membaca dan menulis dan ibu yang buta aksara.

Mekipun aku beruntung, nyatanya tidak sepenuhnya aku bahagia. Dalam perjalanan pendidikan, hampir setiap bulan aku telat membayar uang sekolah. Keadaan sedikit membaik saat duduk di sekolah menengah pertama. Aku mendapat potongan pembayaran uang sekolah karena aku anak tidak mampu. Syukurlah, setidaknya sedikit meringankan beban hingga aku duduk di kelas dua. Sepertinya Tuhan mendengar doa umatnya yang kesusahan, tidak hanya dari keluarga kami, namun juga keluarga-keluarga tidak mampu lainnya di luar sana yang juga berdoa agar selalu diberikan jalan mudah untuk menyekolahkan anak-anaknya. 

Di kelas tiga menengah pertama, uang sekolah gratis, ada dana bantuan operasional sekolah untuk sekolah negeri. Meskipun aku sering malu saat berangkat dengan sepatu dan tas bolong. Bagaimana bisa memakai sepatu atau baju baru, sedangkan untuk makan saja susah. Sedih rasanya saat teman-teman selalu membully bagaimana pakaianku saat itu. Tak mungkin aku meminta baju baru, sangat tidak mungkin. Akhirnya, rok merah sekolah dasar selalu aku pakai saat main bersama teman-teman rumah.

Itu adalah kisahku sepuluh tahun yang lalu. Kisah istimewa yang kutulis dengan tinta emas. Beruntung, keadaan sulit itu tak berlangsung hingga saat ini. Mungkin sudah pergi jauh dari kehidupan kami dan tak akan pernah kembali. Kini yang kulihat hanyalah senyum bahagia orangtua. Masih teringat jelas, bagaimana usaha bapak mencari pinjaman uang ke tetangga demi memberiku uang saku saat sekolah menengah atas. Saat ibu menjual kalungnya, harta berharga satu-satunya yang ia miliki, demi membayar uang sekolahku yang telah nunggak enam bulan. 

Namun, segala kenangan pahit itu telah terbayarkan. Kini aku menunggu kedatangan orang tua dan kakak di rumah baruku. Berdinding bukan lagi kayu, berlantai marmer bukan lagi tanah, beratap lebih baik tak takut bocor. Kini aku menunggu mereka setelah sepuluh tahun kami berpisah, merelakan aku bekerja demi kehidupan mereka yang lebih baik. Kini, perjuanganku selama ini berbuah sangat manis. Kehdupan jauh lebih baik telah kudapatkan. 

Ini adalah penantian terbahagia, setelah ini akan ada penantian lain yang tak kalah membahagiakan, pergi bersama ke tanah suci, sebagai tamu Tuhan yang telah lama kami dambakan. Tak ada lagi menunggu itu pekerjaan yang membosankan, bagiku kini, menunggu adalah hal yang menyenangkan. Menunggu mereka datang, untuk kembali hidup bersama.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

seorang perempuan biasa yang ingin selalu belajar

CLOSE