[CERPEN] Penantianku Tidak Sia-sia

Jodoh pasti akan bertemu~

“Orang secantik itu mengapa masih sendiri ya?”

Begitulah keseharianku, mendengarkan cibiran orang-orang di sekitarku. Bahkan pegawai yang berbeda divisi denganku pun ikut mencibir. Kupercepat langkahku untuk menuju ke ruangan tim audit perusahaan.

Perkenalkan namaku Natasha Abigail, orang biasa memanggilku dengan sebutan Nata. Ya, dengan umur yang hampir menginjak kepala empat memang aku belum memiliki pasangan. Hal tersebut yang menjadi cibiran yang kuterima sehari-hari. Bohong jika aku tidak merasa terganggu dengan cibiran-cibiran itu. Terkadang aku berpikir apakah aku memang ditakdirkan untuk tidak memiliki pasangan hingga akhir hayatku. Ahh… entahlah, lelah jika hanya berkutat dengan pikiran tersebut.

“Nata…” Suara Dave menyadarkan ku dari lamunan.

“Ya..”

“Kenapa melamun? Memikirkan cibiran mereka lagi” tebak Dave secara tepat yang seolah mengetahui isi pikiran ku. 

Dave adalah rekan kerjaku selama hampir tujuh tahun terakhir. Bisa dibilang Dave juga sahabatku karena dia yang paling mengerti dan paling tahu tentang keseharianku.

“Iya…aku lelah rasanya Dave, mengapa mereka bersikap seperti itu setiap saat. Tidak bisakah mereka mengurus kehidupan mereka sendiri.” Aku mendengus kesal mengungkapkan kekesalan ku di depan Dave. 



“Sudahlah jangan terlalu di pikirkan, biarkan saja mereka. Mereka juga bukan orang yang akan menghidupi kamu ketika kamu menikah nanti…” ucap Dave seraya menggenggam tangan ku. Memberikan sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. 

“Hufff…baiklah.” Aku mencoba menjawab seolah-olah aku baik-baik saja.

***

Jalanan tampak lengang, aku pulang larut malam ini karena berkas untuk audit besok harus aku siapkan. Besok aku akan berangkat menuju ke cabang perusahaan yang berada di Bali. Aku berangkat bersama Dave dan beberapa rekan lainnya. Sepertinya audit kali ini akan memakan banyak waktu karena banyak kejanggalan dari laporan yang diberikan oleh cabang di Bali.



Bus yang kutumpangi akhirnya datang, aku hendak masuk ke dalam bus ketika tiba-tiba tangan ku di tarik oleh seseorang yang ternyata adalah Dave.

“Kenapa naik bus malam-malam bergini, ayo ku antar..” Dave segera menggandeng ku untuk menuju mobil nya yang berada di belakang bus. Aku hanya diam saat berada di dalam mobil, ketika sampai di apartemen ku Dave segera turun dan membuka kan pintu. 



“Jangan tidur terlalu larut, besok aku jemput ya..” ucap Dave seraya mengusap kepala ku. Aku bergegas menuju lift, karena saat ini wajah ku pasti sudah sangat merah bagai kepiting rebus. 

***

Malam ini aku memilih untuk berjalan-jalan di sekitaran hotel, mencari udara segar. Di lobby tampak Dave berbincang-bincang dengan seorang wanita yang entah aku tidak tau namanya. 

“Nata…” teriak Dave sembari melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk lalu tersenyum sembari menatapnya. Tiba-tiba Dave berlari menghampiri ku dan menarik tanganku.

“Mau kemana, Nat?” 



Aku tersentak beberapa sentimeter ke belakang. Tarikan tangan Dave menimbulkan gelenyar aneh di tubuhku. Perasaan apa ini. Dave apakah hobi baru mu membuat aku merasakan seperti ini, batinku.

“Hanya ingin mencari udara segar…” Jawab ku yang segera meneruskan berjalan ke luar hotel karena perasaan tidak nyaman yang merayapi.

“Nataaa….” teriak Dave lagi yang melihatku acuh. Seketika aku berhenti dan menoleh supaya Dave tidak menarik tangan ku secara tiba-tiba lagi.

“Apa Dave…?”

“Kenapa kau tidak mengajakku?”



“Aku hanya akan berjalan-jalan di sekitar hotel, untuk mencari udara segar. Kalau mau ikut ya silahkan…” Berharap bahwa Dave tidak akan tertarik dengan kegiatanku. Namun ternyata perkiraanku salah besar, Dave mengiyakan dan berjalan menuju ke arah ku untuk menyejajarkan posisi.

Keheningan mendominasi, tidak ada di antara kami yang berniat untuk memulai percakapan. Aku menggosokan kedua tangan ku, karena suhu malam ini cukup rendah dari hari sebelumnya. Tiba-tiba saja Dave menarik tangan ku dan menggenggamnya. Perasaan itu muncul lagi dan jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. ‘Perasaan apa ini Tuhan…’ batinku.

Berbagai pertanyaan muncul di kepala ku, ada apa dengan Dave, mengapa tiba-tiba melakukan hal tak terduga yang membuat ku merasa aneh. Dave memandangku sekilas lalu tersenyum, Dave terus berjalan dan tetap menggandeng tanganku. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, aku tidak bisa menerkanya. Sampailah kami di sebuah taman di pinggir sungai. 

Dave mengajakku untuk duduk di sebuah bangku kosong yang ada di taman itu. Aku mengitarkan pandangan ku, banyak hal menarik perhatian kumulai dari sungai yang cukup jernih, lalu beberapa muda-mudi yang memadu kasih. Terlihat mereka tertawa bersama, lalu sesekali si pria merapikan rambut wanitanya yang terkena angin. Melihat itu membuat ku segera memalingkan muka. Ahh…mengapa aku harus memerhatikan hal tadi, sungguh aku merasa menyesal.

Terdengar suara cekikian disebelah ku, saking asyiknya memperhatikan sekeliling aku sampai tidak menyadari bahwa saat ini aku bersama Dave dan dengan tangan yang masih bertautan.

“Kenapa tertawa..?” tanyaku.

“Kau ini lucu sekali..” Dave mengacak rambutku, sentuhan tangannya lagi-lagi membuat tubuhku panas dingin, kupu-kupu seperti berterbangan di perutku.

“…dari tadi aku memperhatikan mu, memperhatikan mimik wajahmu lebih tepatnya. Beberapa detik tampak terkagum-kagum, lalu tampak bahagia, tiba-tiba tampak kesal. Kau ini kenapa sebenarnya?”

Aku hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan Dave. Ahh.. lagi-lagi harus membahas tentang ini, kapan Tuhan akan mengirimkan pendamping hidup untuk ku.

***

Aku dan Dave dalam taksi yang sama untuk menuju ke kantor. Sepuluh hari berada di Bali untuk audit sebetulnya menguras tenaga, namun tugas lain juga menanti yaitu laporan yang harus kami buat untuk segera di serahkan kepada direksi.

Perlakuan Dave malam itu sebetulnya memunculkan berbagai tanya dalam benak yang hingga kini masih menghantui ku. Tapi aku enggan untuk bertanya secara langsung kepada Dave, takut Dave tidak berkenan dengan pertanyaan ku dan menganggap aku terlalu bawa perasaan.

“Lihat..perempuan tua itu sudah kembali ke kantor…”

“Iya.. sudah dapat pacar belum ya, siapa tahu ketika di Bali dia mendapat pacar…” sahut perempuan lainnya.

Sejenak aku berhenti tatkala aku mendengar suara bisikan yang cukup keras itu. Aku hanya ingin mengetahui siapa sebenarnya yang berbicara seperti itu, namun belum sempat aku mengedarkan pandangan untuk mencari tahu tiba-tiba Dave menarik tanganku.

“Sudah.. jangan di dengarkan, anggap saja anjing menggonggong kafilah berlalu.”

Suara Dave yang cukup keras membuat ku menundukan kepala, karena aku yakin wanita yang berbicara tadi pasti mendengar apa yang dibicarakan oleh Dave. Namun seketika itu juga perasaan ku menghangat karena Dave membelaku.

Perasaan aneh itu terus muncul saat Dave tetap menggandeng tangan ku hingga ke ruangan kami. Pastinya kami menjadi pusat perhatian seluruh pegawai. Sesampainya di ruangan Dave segera melepas genggaman tangannya.

“Maaf.. tadi aku reflek. Aku tidak bermaksud apapun, aku hanya ingin melindungi kamu sebagai teman..”

Kata-kata yang menjadi jawaban atas pertanyaan ku beberapa hari ini akhirnya keluar dari mulut Dave. Aku hanya diam membeku mendengarnya, hatiku terasa sakit ketika mendengar itu. Perasaan apalagi ini mungkin kah aku meyakini bahwa Dave menyukai ku sehingga aku merasakan sakit ini. Aku menahan air mata yang hendak menyeruak keluar. 

Aku memilih untuk segera menuju ke meja kerja ku dan menenggelam kan diri dengan  pekerjaan supaya tidak mengingat perasaan ini. Perasaan yang berkali-kali kurasakan. Perasaan yang berkali-kali membuat aku jatuh ke dalam lubang yang sama. Perasaan ini juga yang membuat ku berpegang teguh bahwa pernikahan bukan satu-satunya kebahagiaan.

***

Selesai mandi aku berbaring di tempat tidur yang sangat nyaman bagiku. Pikiran ku menerawang membayang kan kehidupan yang kulalui saat ini, hampir dua bulan aku menghindari Dave karena selalu merasa tidak nyaman jika berhadapan dengan dia. Aku takut, takut salah dalam mempersepsikan perlakuan yang dia berikan kepada ku.

Drrttt….drrrttt.

Ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk, segera ku ambil ponsel ku yang terletak di nakas. Tampak nomor asing yang tertera di layar ponselku. Dengan enggan aku membuka pesan tersebut. Pesan apa ini, pesan yang hanya berisi sapaan selamat malam. Aku meletakan kembali ponselku ke nakas.

Aku memejamkan mataku, namun lagi-lagi ponsel ku bergetar kali ini dibarengi dengan nada dering yang tandanya ada panggilan masuk. Aku segera mengangkat panggilan itu tanpa memperhatikan siapa yang melakukan panggilan.

“Halo..”

“Nata… aku Dave bisa bertemu di taman dekat apartemen mu. Ada yang ingin kusampaikan.” Suara Dave di seberang telepon membuat ku gugup sekaligu senang. 

Aku berganti pakaian berniat untuk menemui Dave. Tanpa memikirkan rasa sakit hati yang mungkin akan ku alami nantinya. Yang terpenting aku akan menemui Dave. Jika di nilai dengan adat ketimuran terlalu picik memang karena aku sebagai manusia juga berhak memperjuangkan kebahagiaanku. Apa peduli mereka dengan kebahagiaan ku sehingga mereka bisa menghakimi ku.

Aku berjalan ke tengah taman, sesuai dengan instruksik Dave. Jujur saja aku sudah berimajinasi secara liar bahwa nantinya Dave akan membawa bunga dan menyatakan cinta padaku. Terlalu dini memang untuk membayangkan hal-hal seperti itu namun biarlah, biarkan mimpi itu tetap membuatku tersenyum.

Di sana tampak Dave sedang berdiri di bangku yang ada di taman.

“Hai..ada yang bisa ku bantu?” sapaku untuk berbasa-basi.

“Duduklah..”

Dave menarik tangan ku untuk duduk di sebelahnya. Jantungku seketika berpacu sangat cepat. Apakah mimpiku akan menjadi nyata. Aku tertawa dalam hati, karena aku merasa terlalu percaya diri. 

Dave lalu menutup mata ku dengan ke dua tangannya. Suara berisik terdengar di telinga ku, seperti suara helikopter. Entah apa yang akan di lakukan oleh Dave. Aku tidak bisa membayangkan kali ini karena gugup. Dave melepaskan tangannya, seketika aku ternganga dibuatnya. Aku sampai tidak bisa berkata-kata.

Suara helikopter yang ku dengar tadi memang benar ada dan ada dua helikopter sedang membentangkan spanduk yang sangat besar dan bertuliskan “NATA, WILL YOU MARRY ME?”. Aku berbalik menatap Dave dengan tatapan tidak percaya. Dia sedang berlutut dengan sebuah kotak beludru di tangannya dan mengulangi kalimat yang ada di spanduk itu.

“Natasha Abigail, will you marry me?”

Aku hanya mengangguk karena aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi dan tampak banyak pegawai yang bekerja di perusahaanku berada di belakangku. Entah sejak kapan mereka berada di sana. Hal lain yang membuat aku speechless adalah orang tua Dave hadir dan saat ini sedang berjalan menuju ke arah kami berdua.

Dave segera memasangkan cincin di jari manisku lalu memeluku sangat erat. Aku tidak bisa menghentikan tangis bahagia ku.

“Terima kasih…” ucapku di sela-sela tangisku.

Aku menatap langit yang saat ini sedang bertabur bintang. Terima kasih Tuhan penantianku selama ini terjawab sudah. Kau berikan kebahagiaan yang luar biasa, keajaiban yang sungguh di luar kemampuan imajinasiku. Terima kasih untuk membayar semua mimpi ku dengan kenyataan yang tak ternilai meskipun seringkali aku mengeluh dengan keadaan yang Tuhan berikan.



“Terimakasih, Dave…”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Karyawan swasta yang sedang menempuh pendidikan psikologi di Universitas Semarang