“Tidak ada kesehatan yang sesungguhnya ketika kita tidak sehat mental.”
Begitulah kalimat yang sempat dikutip oleh Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Indria L. Gamayanti dari pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) atau yang biasa dikenal dengan WHO. Memang benar, belakangan ini isu dan kasus terkait “mental health” mulai mencuat di berbagai media. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka prevalensi gangguan jiwa di Indonesia, meningkat secara signifikan dari 1,7% di 2013 menjadi 7% di 2018. Berbagai faktor bisa menjadi pemicu meningkatnya masalah mental seperti pekerjaan, hubungan dengan keluarga atau pasangan, serta ujian hidup yang semakin besar (Riskesdas Kemenkes, 2018).
Bagaimana Kondisi Kesehatan Mental di Masa Pandemi?
Pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Terlebih lagi saat ini masyarakat dihadapkan pada aturan new normal yang mendorong masyarakat untuk beradaptasi cepat dengan kebiasaan baru. Tekanan yang berlangsung selama pandemi ini dapat menyebabkan atau berdampak pada gangguan berupa ketakutan dan kecemasan yang berlebihan akan keselamatan diri sendiri maupun orang-orang terdekat.
Perubahan pola tidur dan pola makan, rasa bosan, jenuh atau bahkan stres karena terus-menerus berada di rumah, sulit berkonsentrasi, memburuknya kesehatan fisik, terutama pada penderita penyakit kronis, seperti diabetes dan hipertensi, serta munculnya gangguan psikosomatis adalah beberapa dampak yang ditimbulkan jika terganggunya kesehatan mental seseorang.
Setiap orang perlu menjaga kesehatan mental untuk menghindari keluhan fisik yang muncul akibat stres. Karena, ketika seseorang stres, maka sistem imun dalam tubuh akan berkurang. Inilah yang akan menyebabkan tubuh mudah terserang penyakit. Ketakutan dan kecemasan yang berlebihan ini dapat membuat hilangnya rasa aman dan kondisi kesehatan pun juga dapat semakin menurun. Di masa pandemi seperti ini, orang-orang akan mengaktifkan mode survival dalam dirinya, mencoba bertahan di tengah badai pandemi ini serta berusaha tetap tegar menghadapi kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Apa Sebenarnya yang Salah Dengan Kesehatan Mental di Indonesia?
Sebenarnya masalah kesehatan mental di Indonesia itu dapat diibaratkan seperti ‘lingkaran setan’. Berawal dari pola asuh orang tua Indonesia yang sebagian besar mementingkan nilai anak dari segi kapitalisme tanpa mempertimbangkan bagaimana cara anak membangun integritas dalam diri (Nurafni, 2020). Dari pola pengasuhan tersebut, banyak orang menjadi sulit memutuskan keinginan sendiri dalam kehidupan. Ketika mereka tumbuh, mungkin masih bisa difasilitasi untuk tahap pembelajaran tapi persoalan akan semakin rumit dan sulit. Sehingga pada akhirnya orang Indonesia memang ‘pintar’ namun tidak cukup cerdas untuk menyelesaikan permasalahan dan tekanan yang dihadapinya.
Hal ini membuat masyarakat lebih memilih untuk menghindari konflik dibandingkan dengan menyelesaikan dan mencari jawaban dari permasalahan. Jadi pada akhirnya, kebanyakan orang menyelesaikan masalah hanya bisa menekan orang atau memulainya dengan kekerasan bahkan tindak kriminal yang akan sangat berdampak pada psikologis seseorang. Jika tingkat kesehatan mental dikatakan baik dengan bagaimana orang berfungsi secara sosial, dirasakan sudah minim. Hal ini karena, dilihat dari fenomena sehari-hari orang Indonesia lebih memilih ‘adu mulut’ ketimbang dengan menyelesaikan konflik secara baik-baik.
Indonesia Perlu Solusi Bukan Sekadar Asumsi
Permasalahan mengenai kesehatan mental selalu menjadi polemik di Indonesia dan ditambah situasi pandemi seperti saat ini, rasanya seperti ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Menerima dan menghadapi semua ini, bukanlah hal yang mudah. Tidak semua orang mampu dengan cepat beradaptasi dengan situasi yang mengancam ini. Maka tidak heran jika banyak masyarakat mengalami gangguan kesehatan mental di masa pandemi ini.
Gangguan kesehatan mental ini akan menimbulkan ketidakseimbangan di otak, yang pada akhirnya timbul menjadi gangguan psikis atau disebut juga psikosomatik. Ketika seseorang mengalami gejala psikosomatik, maka ia bisa saja merasakan gejala seperti penyakit Covid-19, yakni merasa demam, pusing atau sakit tenggorokan, padahal suhu tubuhnya normal.
Menyadari bahwa kecemasan akibat Covid-19 telah meresahkan banyak masyarakat, maka dari itu menjaga kesehatan mental menjadi hal yang sangat penting di masa pandemi. Apalagi jika dikritisi lebih jauh dampak yang ditimbukan akibat terganggunya kesehatan mental tentu sangatlah membahayakan. Kondisi penuh tekanan akan membuat seseorang dengan gangguan mental melakukan hal-hal diluar kelogisan dan nalar seseorang pada umumnya. Sehingga diperlukan suatu upaya penyelesaian masalah atau tekanan yang menimpanya.
Peranan Coping Skill Terhadap Kesehatan Mental
Coping skill merupakan suatu karakter baik berupa perilaku maupun respon psikologis yang individu lakukan untuk yang dapat dipelajari dan diterapkan untuk menjaga kesehatan mental yang dilakukan dengan mengenali apa masalah atau tekanan yang sebenarnya sedang kita hadapi dengan mengurangi stres terlebih dahulu. Menurut ahli psikologi, strategi coping skill dapat dibedakan menjai dua jenis, yaitu Emotion-focused Coping dan Problem-focused Coping.
Emotion-focused Coping merupakan strategi coping yang berfokus pada emosi. Strategi ini mengikutsertakan usaha mengubah emosi, berdasarkan pengalaman yang disebabkan oleh peristiwa yang menimbulkan stres, misalnya dengan curhat atau menuliskan tentang masalah yang dihadapi, meditasi, ataupun dengan berdoa.
Sedangkan Problem-focused Coping yaitu strategi coping yang berpusat pada masalah atau situasi yang menyebabkan stres. Strategi ini meliputi cara-cara yang dilakukan individu secara konstruktif terhadap stres yang dialami individu yang bersangkutan, sehingga individu dapat terbebas dari masalah tersebut.
Banyak persoalan kesehatan mental yang dimulai ketika stres fisik dan emosional, hal ini menyebabkan perubahan kimiawi dalam otak. Oleh sebab itu, keterampilan coping skill sangat perlu untuk dilatihkan (Sydney Youngerman-Cole dan Katy E. Magee dalam Canadian Mental Health Association, 2009).
Strategi coping yang efektif adalah salah satu pendukung kesehatan mental. Beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai bentuk keterampilan coping yang efektif, antara lain meditasi dan teknik refleksi, memberi waktu luang untuk diri sendiri, melakukan aktivitas fisik atau latihan fisik, membaca, berteman, mengembangkan dan mendengarkan humor, melakukan hobi, melakukan aktivitas spiritual (berdoa atau beribadah), memelihara hewan peliharaan, tidur yang cukup, dan makan makanan yang bernutrisi.
Stres tidak bisa kita hindari dalam kehidupan kita. Keterampilan coping mutlak kita miliki. Keterampilan coping tersebut terkadang tidak serta merta mudah dilakukan, tetapi tidak mustahil untuk menjadi mudah sebab keterampilan itu bisa dilatihkan. Tanpa keterampilan coping, kita mungkin tidak dapat mencapai keseimbangan dalam diri baik itu keseimbangan fisiologis maupun emosional. Bukan tidak mungkin kita terperangkap dalam masalah-masalah gangguan atau kesehatan mental.
Dengan memiliki kemampuan coping skill (mengatasi masalah) diharapkan sangat bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan dan mengatasi tekanan yang dihadapi serta mencegah komplikasi kesehatan yang akan ditimbulkan, khususnya pada kesehatan mental seseorang di masa pandemi ini.
"Health is a state of complete physical, mental, and social wellbeing and not merely the absence of disease or infirmity."
-World Health Organization
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”