Perjalanan Panjang Move On dari K-Pop dan Candunya. Melelahkan tapi Harus Bisa!

Move on dari K-Pop

Sebenarnya ketika memutuskan untuk menulis ini aku cukup bingung memulainya dari mana. Sudah terlalu banyak yang ingin ku sampaikan pada para calon mantan K-popers soon to be, tapi harapanku ada yang ingin membaca tulisan ini hingga akhir dan sadar Move On dari K-Pop tidak semudah menulis Move On di Instagram . Entah itu K-popers itu sendiri, teman, keluarga, pasangan aku berharap hatinya tergerak dengan tulisan ini.

Advertisement

Pertama kali mengenal K-Pop itu pas masih Sekolah Dasar. Waktu itu lagi booming Super Junior dan kawan-kawan. Aku juga menggilai Boyband tersebut, tentu saja. Selain itu aku juga mulai mengenal yang namanya Drama Korea. Aku ingat banget drama Korea pertama yang aku tonton itu Boys Over Flowers di tayangkan di salah satu TV nasional. 

Memasuki SMP ketertarikan aku mengenai K-Pop semakin tumbuh subur. Saat itu aku sudah memiliki ponsel yang setidaknya sudah dapat digunakan untuk browsing di internet mengenai K-Pop ditambah lagi aku memiliki beberapa teman sekutu yang memiliki ketertarikan yang sama. Kita sering berbagi terkait info para idol K-Pop, drama Korea apa saja yang sudah kita tonton dan adegan apa yang paling kita sukai. 

Di bangku SMA kelas X dan XI adalah puncak dari kegilaanku terhadap K-Pop. Teknologi semakin canggih dan orangtuaku yang memberikan fasilitas gadget memudahkan aku untuk mengakses segala hal yang berbau K-Pop. Teman-temanku juga masih sama. Sesama k-popers. Sungguh hingga saat ini yang paling kusesali adalah mempengaruhi temanku yang tak suka K-Pop menjadi gila K-Pop sampai sekarang dan semakin menjadi-jadi. Itu menjadi salah satu alasan mengapa tulisan ini ada. Aku merasa pada setiap nafasku selalu mengalir dosa hanya karena perbuatanku dahulu.

Advertisement

Hingga kelas XII aku mulai menyadari suatu hal yang membuatku ingin melepas diri dari K-Pop. Setiap kali terlibat obrolan tentang K-Pop dengan teman yang tak ingin ku sebut namanya, aku melihat matanya begitu berbinar memuja seolah-olah idol K-Pop itu sempurna tidak memiliki kekurangan apapun. Dan aku merasa ada yang salah dengan binar tersebut. Hatiku tersentil melihatnya. Aku juga suka K-Pop tapi aku tidak suka melihat tatapan begitu memuja dari temanku. Tidak, aku tidak sedang cemburu atau merasa tersaingi. Aku sadari itu.

Semakin hari aku semakin menghindari teman-temanku ketika mereka mulai membicarakan tentang K-Pop. Mengingat kakakku juga di rumah gencar menyindir secara halus melalui ceramah tentang K-Pop. Mungkin selama ini aku merasa tidak memuja para idol K-Pop tetapi mungkin saja tanpa aku sadari mataku juga berbinar ketika membicarakan tentang mereka. Aku benci kenyataan itu. Aku semakin bersemangat untuk melepas gelar k-popers yang selama ini tersemat dan aku berada di waktu yang tepat. Mendekati ujian nasional berbasis komputer membuatku cukup gugup. Aku menyibukkan diri dengan belajar. Finally, berhasil. Tapi tidak sesederhana itu.Para bintang K-Pop sepertinya memiliki daya tarik yang besar.

Advertisement

Setelah kuliah aku benar-benar bersyukur mendapatkan teman-teman yang selalu mengajakku pada kebaikan meskipun tidak dipungkiri ada beberapa teman pecinta K-Pop yang aku kenal. Virus K-Pop ternyata sudah semengerikan itu. Semua hal yang dulunya aku menutup mata mengenai simbol yang diisukan terkait Dajjal melalui K-Pop menjadi terbuka dan itu adalah salah satu hadiah terbesar yang aku dapatkan dalam hidupku. Bukan sekali, dua kali aku mendapati simbol tersebut dan bukan hanya di K-Pop sebenarnya. 

Aku menuliskan ini bukan untuk menghujat para k-popers karena aku juga pernah ada posisi mereka. Merasakan ingin menutup mulut seseorang yang menghina idolaku atau menjambak mungkin? Aku Sudah terlalu banyak melihat akun di media sosial yang memojokkan mereka. Gimana dong? Oppa-oppa Korea memang menggoda dan sayang untuk dilewatkan. Mungkin karena godaannya yang besar makanya sulit untuk move on. Selain itu sebagai penikmat K-Pop, dulu. Aku tahu tahu jika karya-karya mereka kreatif dan cemerlang tapi aku tak ingin menjadi bagian dari mereka nantinya di Akhirat. Namanya juga punya niat terselubung.

Katakanlah aku naif karena hingga aku memutuskan untuk menulis dan membagi pengalamanku, aku juga mengalami pasang surut. Imanku terkadang goyah saat melihat status teman-teman sesama k-popers dan iklan-iklan yang berhamburan mengenai K-Pop. Terkadang pula khilaf membuka Instagram idol K-Pop yang dulu ku gilai sekadar ingin tahu apa kegiatan mereka saat ini.

Baru-baru ini aku ngumpul dengan teman-temanku yang sesama k-popers pas SMA dulu. Mendengar percakapan mereka yang seru tetapi aku bingung akhirnya aku tanya salah teman yang ada disamping. Kira-kira gini percapannya:


"Siapa sih? Kok aku nggak kenal?"

"Boyband baru…(aku kurang ingat dia bilang apa), kamu nggak kenal mereka?" tanyanya.

"Nggak. Kamu kenal Thomas Hobbes?"


Seketika teman aku langsung nyengir dan aku sulit menebak ekspresi apa yang ia tunjukkan saat aku bertanya demikian. Mungkin seharusnya aku sebut nama Plato atau Aristoteles yang setidaknya nama mereka lebih familier ditelinganya. Maklum kita dulu anak IPS. Aku sebenarnya merasa tidak nyaman dengan temanku ini karena kita akrab tapi bangga juga karena berhasil skakmat dia yang dari SMA cukup sulit untuk ku patahkan argumennya. Wkwkwk.


Sejauh ini satu-satunya cara paling ampuh untuk menjauhkan khilafku pada K-POP adalah menyibukkan diri alias 'sok sibuk' di kampus. Banyak bergaul dengan teman-teman di masjid dan berusaha ikut kajian agama. 


Sekian, mungkin di lain waktu aku akan kembali menuliskan perjuanganku Move On dari K-POP. Kesimpulannya? Jadilah orang yang paling sibuk untuk hal-hal positif, dekati temanmu yang menurut kamu agamanya lebih baik darimu, mulai untuk memilih kegiatan yang mempunyai manfaat dan teman sepergaulan. Penting! Lakukan secara bertahap yah dan konsisten. Fighting!!!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Trying my best?

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE