"Saya terima nikah dan kawinnya…" Kata kata itu mungkin akan terdengar sangat indah saat harinya. Itulah pentingnya kesiapan bukan hanya secara kata namun secara mental dan materill. Tanggung jawab dan komitmen akan tertagih di sini. Bukan perkara istri atau suami saling menerima kekurangan masing masing, namun bagaimana pasangan suami istri membangun komunikasi sehingga satu sama lain merasa saling dihargai.Â
Banyak cobaan yang akan datang setelah pernikahan, entah itu dari keturunan, mertua, ekonomi, sanak saudara, dan masih banyak hal lagi. Namun harus diingat alangkah lebih baik jika pasangan suami istri yang sudah menikah hidup terpisah dari kedua orang tuanya. Di sini saya tidak mengatakan tinggal bersama mertua adalah hal yang buruk, namun ini berdasarkan beberapa pengalaman yang sudah ada bahwa hidup terpisah dari mertua baik dari pihak istri ataupun suami adalah hal yang paling tepat untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.Â
Seperti kisahku, hampir 7 tahun menikah dan tinggal bersama mertua akhirnya saya malah terkena autoimun dan siksaan batin. Pernikahan yang saya jalani terasa amat hambar dan tidak jelas. Pernikahan yang selama ini dimimpikan ternyata jauh dari yang saya harapkan. Berawal dari suami yang tidak bekerja dan mengandalkan harta ibunya yang single parent, hingga berujung dominasi dalam kehidupan rumah tangga saya.
Awal saya mencoba mengambil sisi baiknya, tetapi ternyata hal ini semakin membuat saya mati rasa. Satu satunya tujuan saya saat ini adalah bahagia bersama anak-anak saya meski di sisi lain diri saya tersiksa. Entah sampai kapan akan ada dalam kondisi seperti ini karena tidak mungkin bagi suami memilih pisah rumah dari ibunya.
Selama 7 tahun menikah, saya tidak pernah diajak berkomunikasi baik hal sepele maupun hal penting dalam rumah tangga saya. Saya merasa marah, kecewa, dan memilih diam untuk menyelsaikan semuanya. Saya membatasi komunikasi dengan semua hal yang membuat saya frustasi. Kadang dalam hati saya bertanya, apa tujuan kami menikah? Apakah untuk berpisah? Seberapa lama kami akan bersama? Kapan, mengapa, bagaimana selalu terngiang di pikiran saya namun tidak pernah ada jawaban.
Ibarat nikah di atas akta nikah saja, tapi nyatanya rumah tangga saya hanya berisikan suami dan ibunya saja. Pernikahan macam apa ini? Peran istri dan suami tidak ada sama sekali. Saya tahu pernikahan adalah ibadah paling panjang, tapi apakah 7 tahun bertahan seperti ini menjadi sia sia karena pada akhirnya di hati sering berkeluh kesah dan tidak bersyukur?
Kajian rumah tangga, parenting sudah diikuti tetapi tidak ada jawaban untuk meneruskan langkah saya dan membangkitkan rasa yang sudah mati ini. Bila memang tidak ada lagi yang bisa dipertahankan apakah memang perceraian yang harus dilalui? Berdoa dan ikhtiar sudah dijalani untuk bertahan selama ini. Tetapi, hati sudah tak mau kembali. Mohon maaf…
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”