#RemajaBicaraKespro-Memposisikan Perubahan Emosi selama Masa Pubertas secara Positif

Perubahan emosi di masa pubertas

Ketika menginjak masa remaja, pasti kamu mulai merasakan nih gimana nikmatnya perasaan jatuh cinta. Saling tatap-tatapan dari mata, diam diam akhirnya turun ke hati. Mulai dari pengamatan aspek fisik, hingga mengalami perubahan segi emosional dan psikologis. Jujur, aku juga pernah merasakan perasaan seperti itu. Dan hal tersebut wajar karena memang itu yang akan kita alami sebagai remaja yang mengalami masa pubertas.

Tapi sebenarnya masa pubertas itu apa sih? Masa pubertas adalah tahapan transisi dari anak menuju dewasa, mulai dari perubahan aspek fisik, psikis, dan seksual. Tentunya, masa pubertas akan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Laki-laki akan mengalami mimpi basah, yaitu mimpi erotis yang terjadi dengan cara mengeluarkan semen yang mengandung sperma ketika kita tidur. Perempuan akan mengalami menstruasi, yaitu proses keluarnya darah dari vagina akibat siklus bulanan alami pada tubuh perempuan.

Selain perubahan pada pematangan organ-organ reproduksi, terjadi juga perubahan pada fisik ketika mengalami masa pubertas. Laki-laki akan mengalami perubahan fisik berupa suara semakin berat, mulai tumbuh kumis dan jenggot di sekitar wajah, dan muncul jakun di leher. Pada perempuan, perubahan fisik yang terjadi adalah payudara mulai membesar, mulai tumbuh bulu halus, dan perubahan bentuk tubuh.

Lantas, apakah laki-laki dan perempuan tidak mengalami perubahan yang sama ketika masa pubertas? Eits, jangan salah. Laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami perubahan emosi pada saat masa pubertas, terutama ketika mereka memulai untuk menjalani sebuah hubungan. Ketika laki-laki dan perempuan menjalin sebuah hubungan, mereka dianjurkan untuk menjalin hubungan yang sehat.

Berikut beberapa perubahan emosi yang dialami pasangan ketika menjalin suatu hubungan ketika masa pubertas serta cara memposisikan perubahan tersebut secara positif:

1. Mudah posesif

Posesif bagi sebagian orang dianggap sebagai bentuk perhatian dan kepedulian dari pasangannya. Akan tetapi, posesif sangat berbahaya apabila tidak mampu dikontrol. Dalam kasus ini, banyak orang menyetarakan keterkaitan antara 'posesif' dengan 'cemburu'. Tetapi dua hal tersebut berbeda karena cemburu tetap menghargai privasi pasangannya, sedangkan posesif adalah paham yang menganggap bahwa pasangannya adalah miliknya sepenuhnya sehingga seluruh kehidupannya harus di bawah kendali penuh pasangannya.

Posesif yang berlebihan dapat mengakibatkan hubungan menjadi rusak. Oleh sebab itu, posesif dapat dicegah dengan beberapa cara seperti menghargai privasi dari pasangan, saling mempercayai satu sama lain, serta menghormati keputusan yang diambil pasangan.

2. Terlibat dalam toxic relationship

Toxic relationship adalah hubungan yang tidak sehat sehingga membuat salah satu pasangan merasa direndahkan, tidak dihormati, dan disepelekan. Pada dasarnya, posesif termasuk dalam toxic relationship. Namun masih banyak bentuk toxic relationship lainnya yang disebabkan oleh perubahan aspek emosi ketika pubertas. Contohnya adalah sikap otoriter, pemaksaan kehendak, menentang tindakan yang dipilih pasangan, dan masih banyak hal lainnya.

Memposisikan diri di tengah toxic relationship dengan tepat berfungsi untuk membangun pola pikir apakah hubungan harus terus berlanjut atau berhenti sekarang juga. Beberapa cara untuk mengatasi toxic relationship adalah mengutamakan sikap saling mendukung pasangan, tidak memaksakan kehendak, dan tentukan keputusan dengan kepala dingin atau tidak di bawah pengaruh emosi.

3. Terlihat lebih berani

Ketika menjalin sebuah hubungan, seseorang akan mulai menjadi lebih berani. Ia akan terlibat dalam komunikasi yang lebih intim dengan pasangannya. Ia juga akan masuk dalam dunia baru yang tentunya berbeda dengan dunia lamanya. Di lain sisi, pasangan yang terlihat lebih berani juga akan mulai mencoba hal-hal yang belum diperbolehkan dan tidak lazim dilakukan di usia mereka. Mulai dari berpegang tangan, berpelukan, saling merangkul, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah.

Tentunya hal tersebut sangat berbahaya bagi kondisi tubuh mereka. Oleh sebab itu, langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah hal negatif dari perubahan diri yang lebih berani adalah dengan menjalin hubungan yang sehat, berusaha menahan diri, serta memperkuat kontrol diri.

4. Munculnya kekerasan secara fisik

Salah satu perubahan emosi yang terjadi ketika menjalin hubungan ketika masa pubertas adalah munculnya kekerasan secara fisik ketika menjalin sebuah hubungan. Biasanya, hal tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat yang memicu perdebatan yang kompleks, hingga berujung pada kekerasan.

Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan 2017, 19% kekerasan rumah tangga/relasi personal adalah kekerasan dalam pacaran dengan jumlah 1.873 kasus. Kekerasan ini juga biasanya terjadi karena pasangan menolak untuk mengikuti hasrat seksual yang diinginkan sehingga berujung pada kekerasan.

Kekerasan secara fisik dapat kita cegah mulai saat ini dengan cara membangun komunikasi dengan pasangan, saling menghargai keputusan dari pasangan, serta membangun hubungan yang sehat dan jauh dari kekerasan.

 

Masa pubertas yang dialami oleh remaja saat ini memang tidak dapat dicegah karena mau tidak mau perubahan tersebut memang akan dialaminya. Akan tetapi, edukasi sedari dini tentang sex education harus difokuskan kepada seluruh komponen masyarakat terutama remaja, mulai dari ranah terkecil yaitu keluarga.

Remaja yang berada pada fase pencarian jati diri yang sesungguhnya akan berusaha untuk mencoba berbagai hal yang menurutnya menarik untuk dicoba, sekalipun hal tersebut tidak sesuai dengan agama dan hukum. Mengendalikan sebuah hubungan yang sehat dapat menjadi langkah yang tepat agar remaja dapat memahami perubahan aspek emosi mereka sebagai suatu anugerah bukan suatu tantangan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis