Representasi Feminisme dalam Melawan Patriarki di Film RA Kartini (2017)

Film adalah sebuah karya dalam menampilkan sebuah cerita yang dikemas dalam visual guna untuk menghibur penonton. Film mempunyai nilai tersendiri yang dapat mempengaruhi terhadap pembentukan opini di masyarakat. Salah satunya menceritakan perjuangan perempuan (feminisme) melawan patriarki untuk kesetaraan gender.

Derajat perempuan dalam budaya patriarki sering dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Peran dan status perempuan telah tercipta oleh budaya dan dianggap yang lemah lembut, penurut, tidak membantah dan tidak melebihi laki-laki. Peran perempuan yang seharusnya dilakukan yaitu hanya mengurus rumah tangga dan nurut kepada suami sera menjadi ibu dari anak-anaknya. Sedangkan laki-laki yaitu serba tahu, menjadi panutan, mencari nafkah dan melindungi keluarganya.

Terdapat film yang menjelaskan mengenai feminisme terhadap perempuan yaitu RA Kartini film ini di sutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini menggambarkan mengenai kehidupan di Jawa pada abad 19-20 dan menceritaikan tentang perlawananan ketidakadilan terhadap perempuan yang selalu ditindas harus patuh terhadap kekuasaan laki-laki. Film ini dapat menjadi wadah untuk mengungkapkan perasaan perempuan terhadap budaya patriarki. Terdapat budaya patriarki di dalam film ini yaitu poligami dan deskriminasi terhdap perempuan.

Hanung Bramantyo menggambarkan RA Kartini sebagai putri dari bangsswan yang mempunyai keberanian untuk penyampaikan pemikirannya mengenai kesetaraan hak perempuan di tengah budaya masyarakat yang masih kental. Dalam Film ini RA Kartini sedang menjalani pingitan karena ingin dijadikan seorang istri dan dijadikan sebagai Raden Ajeng untuk mewariskan darah ningrat. Ketika menjalani pingitan RA Kartii tidak diperbolehkan sama sekali untuk keluar rumah.

Pingitan tidak hanya dilakukan olh kartini saja tapi sauadar-saudara perempuannya juga harus melakukan pingitan. Kartini adalah perempuan yang cerdas dan gemar membaca. Ketika melakukan pingitan Kartini memperlihatkan koleksi bukunya kepada saudara-saudaranya dan ketika berada didalam kamar pingitan Kartini melepas semua atauran-aturan yang ada dirumah seperti bicara pelan, harus jalan jongkok, dan lain-lain.

Kartini mulai mengkritik banyak hal seperti hak perempuan dalam pendidikan, poligami dan kedudukan istri didalam rumah tangga. Pada saat itu perempuan tidak dierbolehkan untuk mengenyam bangku sekolah, hanya laki-laki sajalah yang berhak untuk mengenyam bangku sekolah. Poligami juga sangat lumrah pada saat itu, ayah Kartini juga pernah melakukan poligami dan Kartini melihatnya sendiri kalau saudaranya menjadi korban dari poligami.

Kartini juga mempermasalahkan keududukan istri di dalam rumah tannga yang tidak mempunyai hak salam pengambilan dan penyampaian keputusan. Hanya boleh dilakukan oleh suaminya sebagai kepala rumah tangga. Menurut Kartini hal seperti ini merupakan kesalahan, yang seharusnya suami memperlakukan istria secara lembut dan menyetarakan kedudukannya.

Kartini ingin sekali melawan ketidakadilan ini tapi Kartini sadar bahwa yang sedang dihadapinya ini sangatlah kuat karena didukung oleh adat sitiadat masyarakat dan ajaran agama yang membenarkannya. Sebenarnya perlswanan Kartini mengenai budaya Patriarki telah dilakukan sejak kecil seperti yang terlihat ketika disuruh menggil ibunya (Ngasirah) degan sebutan Yu (panggilan pelayan perempuan di Kadipaten) karena ibunya berasal dari kalangan rakyat biasa. 

Kemudian perlawanan Kartini setelah beranjak dewasa, ia mencoba untuk terbebas dari tradisi pingitannya dan ia juga mengajarkan bahasa Belanda untuk perempuan-perempuan dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dilakukan Kartini untuk mengentaskan kebodohan perempuan Jawa dan menghapus ketidakadilan gender mengenai dunia pendidikan.

Kartini pada saat juga menyuarakan penderitaan pereempuan Jawa dengan melaui tulisannya yang dimuat dalam jurnal Antroplogi dan Bahasa Terbitan Lembaga Riset Kerajaan Belanda. Dengan menyadari perempuan memiliki peran yang penting, maka Kartini melanjutkan pendidikannya. Kartini percaya bahwa pendidikan untuk perempuan daat menjadi solusi dalam melawan ketidakadilan gender.

Perlawanan lain yang ditunjukkan oleh Kartini dalam melawan budaya Patriarki yaitu ketika Kartini dipinah oleh Bupati Rembang. Sebelum setuju untuk dipinang, Kartini memberikan syarat kepada calon suaminya, sebagai berikut : 1. Ketika berapa dipelaminan Kartini tidak mau mencuci kaki suaminya. 2. Kartini tidak mau dibebani dengan aturan sopan santun yang rumit. 3. Kartini mau diperlakukan sebagai orang biasa. 4. Kartini mau calon suaminya mendukung dalam mendirikan sekolah bagi perempuan dan orang miskin. 5. Ibu kandungnya (Ngasirah) harus dipanggil dengan sebutan Mas Kanjeng dan ditempatkan di rumah depan

Karena dukungan dari suaminya dan sahabat-sahabatnya, Kartini telah berhasil melawan budaya Patriarki seperti membangun sekolah perempuan di Kadipaten Rembang dan Kartini juga dapat menungkan hasil pemikirannya mengenai emansipasi pendidikan bagi perempuan melalui artikel dan surat-suratnya yang sekarang menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor