Blurb
Ketika saya mulai bersekolah. Dan, Madrasah Ibtidaiyah adalah muara dari pengalaman ilmu yang tempuh, saat itu juga, aku mulai jatuh cinta dengan pelajaran Bahasa Indonesia dan segala hal tentang Indonesia. Aku mulai mencoba menulis-mengarang, meski kala itu hanya coretan list barang ataupun mainan yang kuingini di buku sekolah. Dan terkadang pula aku nekat menuliskannya di lemari orangtua. Tatkala aku belajar berdiplomasi permintaan dengan tulisan, agar orangtuaku segera membelikan barang juga beberapa mainan yang kumaui dengan membacanya. Saat diriku memasuki fase remaja dan bersekolah menengah pertama. Lantaran guru Bahasa Indonesia, menjadikan menulis buku diary sebagai tugas. Akhirnya sejak itu akupun belajar menulis apapun saja keseharian yang kulalui. Dan ada secuil kisah, aku yang mulai berani menulis surat-surat cinta untuk seorang wanita. Menyusun bagaimanakah kata-kata yang indah bak pujangga. Namun dimasa itu, tak setulisanpun aku berani mensyiarkannya ke khalayak ramai dan segala media.
Bisa dibilang, ratapan adalah respons yang wajar terhadap realitas. Terlebih bagi siapapun yang baru aja mengenal kepahitan hingga merasai penderitaan dalam hidup. Ratapan adalah refleksi diri bagi seseorang dan seringkali melibatkan Tuhan sebagai satu-satunya pengharapan. Kadang-kadang, ketika kita meratapi sesuatu, kita juga sering mengajak orang lain agar bisa berubah ke arah yang lebih baik.
Mungkin, hal inilah yang dirasakan oleh Didin Emfahrudin. Melalui buku memoar pertamanya, Didin seperti hendak bercerita bahwa dunia tak pernah lengang dari pesta ratapan. Setiap orang senantiasa mengeluh dan saling menyalahkan, termasuk dengan dirinya sendiri. Ia merasa hidup ini sudah semakin runyam, tatkala saudara-saudaranya saling bertengkar.
Meski berupa memoar, tetapi Didin mampu merangkai cerita layaknya sebuah dongeng. Salah satu judul yang diyakini ditulis dengan penuh hayat, bagiannya sangat panjang, seolah-olah pembaca sedang diceritai sebuah kisah dari negeri antah berantah. Isinya pun berganti-ganti latar, menceritakan sisi kehidupan dengan babak-babak yang panjang. Membacanya, seperti sedang mendengarkan orang sedang mendongeng dan bercerita.
Kadang-kadang, membaca buku ini serasa membaca buku harian. Isinya tentang nestapa seorang pecinta yang sedang berduka ditinggal kekasih. Hari demi hari dilaluinya dengan rasa gundah dan penuh tanda tanya hingga akhirnya merasa tidak bahagia. Penulis seakan-akan mengajak pembaca berkontemplasi bahwa Tuhan tidak pernah menguji seseorang di luar batas kemampuannya.
Sesuai judulnya, ratapan demi rapatan terus disuguhkan dalam buku ini. Nuansa religius semakin terlihat tatlaka 'aku' menyadari diri bahwa bahagia diciptakan dari diri sendiri. Bahagia tak harus dengan mereka yang telah pergi. Bagaimanapun bahagia hanya akan tercipta jika hati telah mampu berdamai dan mengikhlaskan.
Namun, semakin menyelami isinya, pembaca merasa isinya seperti sebuah surat. Mungkin surat cinta atau mungkin saja surat dari entah siapa. Membacanya seperti mendengarkan si pengirim membacakan suratnya kepada si penerima. Mendengarnya pun seolah-olah hendak tahu kabar apa yang hendak disampaikannya. Tidak seperti puisi yang sering menyimpan bom di baris terakhir, membaca buku ini seperti melenakan dengan ending yang bahagia.
Tidak hanya kisahnya yang menggungah jiwa, buku ini juga sangat kaya dengan sastra. Syair-syairnya bercerita tentang banyak hal. Mulai dari relasi dengan orang tua, gebetan yang ditaksir, pacar yang dilamar, hingga zaman modern yang penuh konflik. Semuanya dibalut dengan unsur religi yang cukup kental, sehingga siapapun yang membacanya pasti akan terenyuh lantas teringat kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Sayangnya, meski kaya unsur sastra, membaca buku ini tidak cukup hanya sehari saja. Tidak semua syair bisa dengan mudah dipahami dan dimengerti. Bahkan ada salah satu syair yang menjelaskan perjalanan panjang sehingga mungkin sulit diselesaikan dalam satu dudukan saja.Â
Informasi buku
Penulis: Dindin Emfahrudin
Penerbit: Guepedia
Tahun terbit: 2019
Editor: Guepedia
Jumlah halaman: 354
ISBN: 978-623-7474-74-6