Salman Aristo: Produser Bukan Hanya Punya Duit, Dia yang Punya Cerita

Ruangan zoom di sore hari pertengahan bulan April tersebut telah dipenuhi mahasiswa dari prodi TV Film serta Jurnalistik. Mengundang produser film kondang lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, kuliah umum dibuka dengan cerita-cerita silam seorang Salman Aristo. Orang di balik layar film “Dua Garis Biru” yang sukses besar tahun 2019 lalu.

Advertisement

Salman membagi kisah awal mula terjun ke dalam dunia perfilman pada masa jatuhnya perfilman Indonesia. Saat dimana industri seni peran didominasi film esek-esek yang membuatnya sempat skeptis. Namun, pantikkan kawannya suatu waktu akhirnya kembali membuatnya penasaran akan terciptanya sebuah film akibat di ajak menghadiri event Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF). Di tanah Jatinangor kemudian naskah-naskah pendek yang di buat Salman pertama lahir. Hingga ia mulai melakukan penyutradaraan dari film-film pendek.

Berkutat lama di dunia audio visual, Salman menyayangkan stigma masyarakat yang menganggap produser film hanyalah seorang pemilik modal. Bahkan bukan menjadi bagian dari film maker.

“Orang-orang masih menganggap produser bukan film maker. Film maker tuh cuma sutradara, pemain, penulis. Itu yang masih sering gue temui. Padahal film-film terbaik di Oscar (Academy Awards) pasti yang naik (ke panggung) itu produser, bukan sutradara, ” ujar Salman memberi gambaran nyata adanya peran penting produser sebuah film.

Advertisement

Salman memberikan sebuah analogi yang diibaratkan sepak bola, produser adalah managernya, sementara sutradara adalah kapten lapangan. Pemilik visi misi dan aturan bagi sebuah club bola itu tentulah di tangan manager. Begitupun produser dalam sebuah film.

"Jadi jelas ya, produser bukan cuma punya duit. Dia yang bakal nentuin suksesnya film," tegasnya.

Advertisement

Salman bahkan menyebutkan bahwa Mira Lesmana mengkiaskan mengenai keberhasilan sebuah film adalah milik sutradara, sementara hancurnya sebuah film adalah tanggung jawab produser. Tak sekadar masalah uang, segala kebutuhan sebuah film dari lahirnya naskah scenario pemilihan pemain dan perubahan alur besar di tangan produser dalam membenahinya.

“Sembilan puluh persen editing sebuah film adalah produser cut,” Salman menegaskan gentingnya film bagi produser.

Sebelum memulai eksekusi, kunci besar dalam proses perfilman adalah pada matangnya sebuah naskah. Tak hanya kerja penulis skenario, proses ini nyatanya melibatkan 3 kepala utama yaitu produser, sutradara, dan penulis itu sendiri. Salman menyebut, pada bagian penulisan naskah, produser tak bisa menyerahkan begitu saja pada sutradara dan penulis saja. Semasa menjalani penulisan skenario, Salman bahkan mengaku tak sungkan memutus kerja sama jika mendapati seorang produsernya berlaku demikian.

Seorang produser harus bisa membaca jalan cerita dalam pikirannya sekalipun kemampuan menulisnya buruk. Ia juga harus memahami betul bagaimana nantinya menyampaikan alur cerita ke penonton. Inilah yang disebut pertimbangan seni, tak hanya persoalan bisnis. Memastikan bukan hanya melahirkan produk, namun mengemasnya dengan apik agar masuk ke dalam akal penonton.

"Produser harus bisa baca alur. Karena beda, plot cerita dengan tutur cerita. Jalan cerita ini harus masuk ke penonton. Jadi kalau film gak jelas alurnya, ya salahin dulu produsernya asal milih penulis dan gak bisa baca situasi."

Selayaknya seorang pemimpin, penting bagi Salman mengetahui sejauh mana proses karyanya berjalan dari tenggat waktu yang ada. Setiap menjalankan sebuah proyek, seseorang pasti akan membuat timeline sebagai alat ukur batas waktu pengerjaan. Namun bagi laki-laki penulis naskah Catatan Akhir Sekolah ini, alat ukur progres bukanlah disebut timeline, melainkan milestones. Bukan lagi perkara dikejar waktu, namun sejauh apa perkembangan dari waktu-waktu yang sudah dilalui.

“Di waktu yang segini misalnya naskah udah sampai draft berapa, jangan cuma selesai-selesai aja cepet-cepet tapi ternyata masih banyak yang bolong,” ujarnya mencontohkan.

Seringkali proses pembuatan film tak sesuai dari rancangan awal. Hal ini Salman akui jika riset hanya dilakukan berdasarkan naskah, bukan kondisi nyata lapangan. Ia pantang mengubah naskah kecuali hal sepele saja. Sebab merombak naskah atau rencana bisa membawa ke plot hole dimana alur rusak karena hal seperti ini. Sebab itu, baginya tak semua tentang uang dapat menyelesaikan masalah. Merubah latar tempat karena situasi yang bising demi adegan romantis bisa jadi membuat jalan cerita tidak nyambung.

Karena sering menemui masalah di tengah proses pengerjaan semacam itulah penting bagi Salman, bahwa seorang produser harus memiliki kecermatan sifat problem solver.

Halnya sebuah jalinan dan kepercayaan di atas kapal antara kapten dan para awak bahkan di bagian paling bawah sekalipun. Penting kerja sama hingga lahirlah sikap bahu-membahu dalam timnya terbentuk. Baginya yang terpenting bukan memiliki tim seolah superman yang mau diajak mengejar tenggat waktu. Melainkan super team, yang mampu bahu-membahu menuangkan ide dan solusi saat menemui masalah.

“Saat kita paham produser ini pemilik tanggung jawab penuh sebuah film, jangan menutup diri dari ide orang lain. Dengarkan ide dari mereka (anggota tim), telaah semuanya baru koreksi. Bagi saya yang terpenting bukan lagi menjadi critical thinker namun lucid thinker. Harus menyadari sebenar apapun pendapat kita dalam mengkritisi sesuatu, kita sendiri bisa salah, nggak boleh egois,” ungkap Salman saat menjelaskan bagaimana ia menjalani kepemimpinan dalam produksi film.

“Kalau ini baik untuk jalan ceritanya ya terima. Jangan jadi egois, it’s not about you, it’s about the story.”

Jelas bagi Salman Aristo, selayaknya Arsene Wenger yang mengelola Arsenal. Ia adalah penentu keberhasilan film yang akan dilahirkannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE