Seni Minimalism dan Declutter Adalah Kombinasi Luar Biasa untuk Mengubah Gaya Belanja

Berbelanja digadang-gadang telah menjadi ritual kebahagiaan bagi sobat gen-Z yang haus akan validasi eksternal.

Berbelanja digadang-gadang telah menjadi ritual kebahagiaan bagi sobat gen-Z yang haus akan validasi eksternal. "Ih hp lu ganti lagi nih, kena berapa?", "Outfit lu oke juga, spill dong nama brandnya!". Dua kalimat tersebut sekilas terdengar ramah di kuping namun sangat rawan untuk tabungan di rekening.

Beli barang-barang yang diinginkan dari hasil jerih payah lemburan, bukan berarti kita bisa semena-mena dalam menghabiskannya. Apalagi di dunia yang serba visual seperti sekarang ini. Bawaanya pengen check out belanjaan tiap ada waktu senggang. Ditambah, TikTok yang makin kesini makin mempermudah penggunanya untuk laper mata.

Tulisan ini didedikasikan untuk tetangga saya yang anaknya tiap hari kerjaanya beli barang-barang lewat e-commerce, hampir tiap minggu tuh abang paket nggak pernah absen lewat depan rumah. Karena anaknya seumuran dengan saya, otomatis tiap mau main pasti nyamper kerumahnya. Betapa kagetnya saya ketika melihat sepasang sepatu berjajar beriringan dengan anak tangga – kebetulan rumah dia tingkat – nggak kebayang deh berapa banyak uang yang dia habiskan untuk mencari sepasang sepatu yang nyaman untuk kakinya hingga rela beli sebanyak itu.

Bukannya iri, justru saya merasa iba. Rak sepatu yang seharusnya didahulukan malah tidak ada. Dengan sepatu sebanyak itu justru membuat rumahnya tampak berantakan tak beraturan. Terlepas dari asli atau nggaknya tuh sepatu, tapi tetap aja jauh dari kesan elegant sebagai citra dari orang berduit. Dari kejadian tersebut, membuat saya teringat kembali dengan buku The Life-Changing Magic of Tidying Up karya mbak Marie Kondo. 

Beberapa point dari buku tersebut telah berhasil mengubah sudut pandang saya soal berbelanja, salah satunya.

1. Kalo mau beli barang baru, harus ada satu barang yang keluar. Entah di donasi atau sebaiknya di buang saja.

Setelah membaca buku tersebut, ritual yang biasa saya lakukan sebelum berbelanja adalah berbenah untuk mencari barang-barang yang sudah tidak dipakai atau bahkan sudah tidak muat di badan. Hal ini bisa menjauhkan kita dari sifat tamak dalam menggunakan uang orang tua, eh ups. Selain itu, prinsip berbelanja satu ini bisa menjadi alasan untuk muhasabah diri. Bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang berlebihan itu tidak enak dipandang Ketika berantakan.

Alih-alih nafsu belanja dengan berdalih "gapapa beli yang mahal dikit biar awet" padahal barang sejenis yang sama dah numpuk di gudang. Agak sedikit cemas sih dengan argumen tersebut, takutnya bisa mengganggu gaya hidup yang meningkat dari gaji umr.

2. Seni minimalism mengajarkan kita untuk tidak mudah lapar mata saat melihat barang-barang estetik.

Sebelum mempelajari lebih dalam seni minimalism lewat karya mbak Marie, saya pernah kegocek dengan teori-teori minimalism yang beredar di media sosial, yang hampir kebanyakan orang mengubah gaya minimalism mereka dari cara berpakaiannya. Entah baju polos, kemeja polos, atau bahkan rela merombak tempat tidurnya dengan ala-ala estetik yang justru membuat kita malah semakin gila belanja.

Sampai pada akhirnya saya menemukan satu kalimat ajaib jangan mudah tergiur pada teori lebih baik beli dari pada memperbaiki justu poin utama untuk menerapkan gaya minimalism adalah dengan sebisa mungkin menggunakan barang tersebut sampai benar-benar rusak tak berbekas. Barulah kita beli yang baru, yang lebih trendi, dan yang estetik kalo perlu. Jadikan barang yang kita miliki sebagai saksi bisu saat kita memulai project, menjalankan sebuah bisnis, atau bahkan saat galau dititik terendah kita.

3. Tanpa menerapkan seni declutter, barang murah yang kita beli di social commerce akan cepat tak berguna.

Kesalahan yang paling umum terjadi ketika belanja di social commerce adalah membeli barang murah yang sebetulnya tidak benar-benar dibutuhkan. Hanya perkara lagi viral, terkadang kita jadi kalap. Tadinya ngga mau beli, karena liat harganya murah di tambah dengan ke estetikannya, eh jadi beli deh. Macam beli tumbler. Barang yang paling mudah tergoda untuk dibeli karena desainnya yang selalu unik dan lucu.

Harganya yang murah terkadang membuat kita meremehkannya dengan tidak merawatnya. Semisal, taruh barang asal-asalan – tidak dikembalikan ke tempat semestinya – yang pada akhirnya barang tersebut cepat tidak berguna. Barang apapun yang kita beli, jika tidak membuat kita bahagia, mungkin kita salah dalam membelanjakan uang tersebut. Membuat orang merasa berutang budi adalah puncak dari kekayaan. T̶a̶k̶i̶n̶g̶ Giving.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Jagoan mamah yang suka traveling dan berdiskusi.