Seorang Penulis Tak Lebih Penting Ketimbang Seorang Penjual Kelapa

Tentang pilihan dan profesi

Sejak kecil kita selalu disuguhi dengan pertanyaan soal cita-cita, jadi polisi, jadi pilot, jadi dokter, jadi hewan. Eh. Dokter hewan. Tapi setelah dewasa tiba-tiba keinginan itu berubah. Saya tidak tahu, saat ini banyak sekali anak muda yang ingin jadi penulis. Buat saya pribadi, salah satu cara menjadi seorang penulis itu minimal harus punya karya yang konkret, dalam bentuk buku fisik, E-book dsb.

Advertisement

Well, barangkali sebelum membuat buku yang jumlah halamannya begitu banyak dan belum tentu banyak orang-orang tertarik, apalagi untuk menemukan pembaca saat ini sangat sulit. Kamu bisa melempar karyamu ke media digital, di situ kamu akan menemukan karyamu dipuji atau malah dicaci-maki. Apalagi kalau tulisanmu sampai terbit di Hipwee misalnya, selain bisa curhat dalam kalimat-kalimat yang penuh humor, puitis, kritis, kadang-kadang satire, tapi juga sophistic. Yang paling penting pokoknya Hipwee itu kekinian.

Masih banyak media-media lain sebenarnya, ini hanya soal selera. Saya memilih Hipwee karena alasan di atas tadi. Kalau memang tulisanmu gagal terbit. Jangan berkecil hati, kamu boleh mengirimnya kembali kok.

Saya sering membayangkan, kalau Hipwee harus punya semacam rubrik Gagal Terbit, mungkin akan dengan mudah orang-orang membayangkan, bahwa di sana banyak orang yang gagal tapi barangkali tidak pernah menyerah. Ingat, gagal terbit bukan karena tulisanmu tidak bagus.

Profesi sebagai penulis mungkin terlihat keren, barangkali sekeren saat ditanya, “Lo dari mana saja, baru kelihatan?”. Dengan seketika kamu jawab. "Dari Hongkong. Tapi memilih profesi sebagai penulis sama sekali tidak menyenangkan. Harus tahan banting, tahan lapar, sabar, banyak berlatih. Mungkin mirip-mirip maqom seorang penulis itu setara dengan orang yang berpuasa. Tidak hanya itu seorang penulis juga dituntut harus banyak membaca, mencari ide tulisan dan yang terpenting harus menulis.

Advertisement

Sialnya, belum lagi ditambah dengan sederet penulis besar yang mengalami masalah mental dengan kejiwaannya. Karena menekuni profesi sebagai penulis selama puluhan tahun. Coba share di google, berapa banyak jumlah penulis yang memiliki gangguan kejiwaan karena pekerjaan sebagai seorang penulis.

Nah, saya ingin mengutip perkataan Dee Lestari kurang lebih begini.

Advertisement


"Penulis itu adalah profesi yang tidak sehat."


Siapa pun yang pernah merasakan bahwa menulis dengan waktu yang berjam-jam pasti akan sepakat dengan hal ini.

Mungkin orang-orang akan beranggapan bahwa itu semacam doktrin yang membuat cita-cita seseorang ingin menjadi penulis harus berpikir dua kali. Tapi bagi orang yang nakal dan berakal kehadiran kalimat itu semacam motivasi terbesar untuk tetap menulis. Kebanyakan alasan utama seseorang ingin jadi seorang penulis, karena uang dan ketenaran. Padahal profesi menjadi seorang penulis harus memilih jalan panjang dan siap-siap harus kesepian.



Alasan mencari uang memang terkesan materialistik. Tak bisa ditolak kehadirannya, alasan ini memang realistis. Uang bisa jadi salah satu alasan yang kuat seseorang memilih menjadi penulis. Sementara ketenaran adalah alasan yang paling logis untuk memilih menjadi seorang penulis. Walau bekerja di belakang layar, penulis merupakan profesi yang akan membuatmu tenar, se-tenar lampu Philips. Namun, kamu juga harus sadar bahwa ketenaran dalam dunia menulis tidak bisa diraih dengan cara yang mudah. Harus butuh kerja keras dan proses yang amat panjang.

Saya ingin mengutip catatan penting Paulo Qoelho


“Harus dipahami bahwa seorang penulis tak lebih penting ketimbang seorang penjual kelapa”.


Tapi siapa yang kira penjual kelapa tidak kalah penting dari profesi sebagai seorang penulis? Dari soal uang sampai ketenaran bisa ditemukan penjual es kelapa muda.



Pertama, siapa yang tak kenal minuman yang satu ini, rasanya yang manis dan menyegarkan. Es kelapa muda juga salah satu minuman favorit di kalangan masyarakat kita. Apalagi saat musim panas, es kelapa muda ampuh mengembalikan kesegaran tubuh, sekaligus ingin mengembalikan ion-ion tubuh yang hilang, seperti yang di iklan JKT 48. Wah, kurang baik apa coba si penjual es kelapa? Ketimbang memilih menjadi penulis. Disertai dengan stres yang kian meninggi dan hilangnya tawaran pekerjaan. Boro-boro dapat uang, terkenal pun tidak. Gila iya!



Kedua, soal ketenaran pun juga tak lepas dari penjual es kelapa. Saya punya beberapa pengalaman menarik, dulu waktu pergi ke luar kota. Disela waktu luang tiba-tiba saya kepikiran untuk mencari penjual es kelapa muda. Ajaibnya, saya hanya sekali bertanya, Si mbak langsung memberikan alamat, sekaligus peta menuju si penjual es kelapa. Pengalaman itu tidak hanya sekali. Saya tidak tahu itu terjadi kebetulan atau karena memang penjual es kelapa itu memang tenar.



Ketiga, coba bandingkan dengan seorang penulis. Lalu bertanya pada orang-orang di sekitar jalan. “Permisi, mau nanya. Penulis dekat-dekat sini bagian mana yah? Orang-orang pasti tidak bisa menjawab pertanyaanmu, dan kamu pasti akan di Cap gila.



Kenapa kamu masih memilih jadi penulis? Ketika alasan kamu menjadi penulis karena uang dan ingin ketenaran itu bukanlah hal yang sebenarnya kamu cari. Justru bisa menjadi alasan yang sangat menyakitkan. Sesungguhnya seseorang yang memiliki harapan menjadi penulis adalah orang yang menginginkan keabadian. Semoga semakin manis.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini