Shopaholic, Konsumtif atau Gangguan Psikologis?

Belanja merupakan suatu aktivitas pemerolehan suatu barang atau jasa dari penjual dengan tujuan membeli pada waktu itu. Dalam jumlah yang wajar berbelanja dapat memicu rasa bahagia. Karena dengan kita berbelanja otak kita melepaskan hormon endorphin dan juga hormon dopamin, meningkatnya kedua hormon tersebutlah yang memicu rasa bahagia dalam diri seseorang. Tetapi rasa bahagia saat berbelanja bisa menjadi adiktif jika kita melakukannya terus menerus dari waktu ke waktu. Terlebih di era digital seperti saat ini, seseorang dapat mengatasi berbagai platform untuk berbelanja secara online. Shopaholic biasanya akan dikaitkan dengan konsumtif dan juga compulsive buying disorder (CBD). Terdapat perbedaan yang tipis antara konsumtif dan compulsive buying disorder (CBD), konsumtif biasanya digunakan untuk merujuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Sedangkan compulsive buying disorder adalah gangguan belanja kompulsif yang dapat diartikan sebagai hasrat tidak tertahankan untuk membeli barang secara berlebihan.

Advertisement

Menurut psikolog Terrence Shukman, shopaholic memiliki berbagai macam kategori:

1. Pembeli kompulsif, yaitu membeli sesuatu untuk mengalihkan perasaan.

2. Pembeli trofi, yaitu membeli barang sebagai pelengkap barang lain. contohnya seperti perhiasan untuk pakaian.

3. Pembeli citra, yaitu membeli sesuatu agar dilihat oleh orang lain.

4. Pembeli diskon, yaitu membeli barang yang sedang ada diskon walaupun barang itu tidak diperlukan.

5. Pembeli codependent, yaitu membeli barang agar disukai oleh pasangan atau orang lain.

6. Pembeli bulimia, dalam kasus ini pembeli hanya suka perasaan saat membeli kemudian mereka mengembalikan kembalik barang yang mereka beli.

7. Pembeli kolektor, yaitu membeli barang yang seragam atau seperangkat untuk dikoleksi.

Penyebab dari hal ini beragam, beberapa ahli percaya bahwa masalah utamanya terletak pada gangguan neurologis. Adapun pendapat lain menyatakan bahwa kondisi ini berhubungan dengan riwayat kekerasan atau kurangnya kasih sayang pada masa anak-anak. Pada teori jacobs (1989) ia menekankan dalam teori kecanduannya, orang yang memiliki tingkat gairah hipertensi rentan terhadap perilaku adiktif mengalami perasaan kekurangan kepercayaan diri yang rendah pada masa kanak-kanak dan remaja. Beberapa shopaholic mengatakan jika mereka mengalami perbedaan perlakuan dengan saudaranya oleh orang tuanya. Hal ini yang membuat mereka terus berusaha menunjukan yang terbaik dan sempurna kepada orang tuanya, dalam proses ini lah yang dapat mengurangi kepercayaan diri anak (Faber & O'Guinn, 1988). Sehingga ketika anak tersebut tumbuh dewasa mereka cenderung mencari validasi atas dirinya kepada orang lain.

Dapat dikatakan bahwa shopaholic menggunakan belanja sebagai pengalih sementara untuk menghindari kenyataan hidup yang penuh tekanan. Shopaholic yang mengalami kesepian ditemukan menggunakan shopaholism sebagai metode untuk mengurangi perasaan tersebut. Perilaku seperti ini sering kali menjadi media untuk melarikan diri dari stres atau kesepian dan juga keterasingan. Efek dari berbelanja yang mengeluarkan hormon endorfin dan dopamin itulah yang membuat shopaholic dapat melupakan masalah yang mereka hadapi sejenak.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini