Surat Terbuka untuk Ayah yang Sudah Tiada, dari Anakmu yang Beranjak Dewasa

Ayah, terima kasih untuk segalanya, kini aku sudah dewasa.

Berkisah tentang Ayah lebih sulit daripada menceritakan Ibu. Hal ini bisa dilihat dari seberapa banyak tulisan mengenai Ayah daripada Ibu. Bagi Penulis sendiri menuliskan sosok Ayah juga menjadi hal yang tidak mudah, apalagi ada ungkapan seperti “Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya” sementara Penulis adalah seorang laki-laki.

Advertisement

Kedekatan sebagai anak laki-laki kepada sosok Ayah mungkin berbeda dengan Ibu. Penulis juga mengalami hal demikian. Sosok pertama yang selalu dicari saat Penulis pulang ke rumah pasti Ibu, dan pertanyaan saat pulang ke Ayah saat tidak ada Ibu pasti “Ibu kemana, Yah?”

Perasaan dan hubungan antara anak laki-laki dan Ayah seperti ini mungkin dialami oleh Pembaca juga. Hubungan berjarak dan sikap semacam ini bukan berarti sebagai anak laki-laki Penulis tidak mencintai Ayah. Tidak. Hanya saja ada rasa canggung sekaligus sungkan.

Hubungan kasih sayang antara anak laki-laki dan sosok Ayah terbilang unik, karena terkadang melibatkan dua perasaan yang bertentangan secara bersamaan. Satu sisi takut tapi cinta, satu sisi marah tapi sayang, satu sisi segan tapi akrab. Aneh.

Advertisement

Beberapa kali Penulis merasakan hal tersebut, misalnya soal rebutan toilet di pagi hari. Setelah sarapan pagi, sebelum berangkat sekolah, perut Penulis terasa sakit karena terlalu banyak makan sambal. Setelah duduk nyaman di WC, pintu digedor dari luar oleh Ayah yang juga kebelet ingin buang air besar. Terpaksa proses membuang kotoran yang masih setengah jalan harus diputus. Ada perasaan marah, tapi rasa sayang Penulis tidak bisa membiarkan Ayah menahan rasa sakit perutnya lebih lama.

Siapa sih yang berani menolak untuk keluar kamar mandi, meskipun sedang buang air besar, jika Ayah sudah menggedor pintu kamar mandi dari luar?

Advertisement

Bentuk lain cinta seorang Ayah yang mungkin nampak berbeda dari sosok Ibu adalah berjuang tanpa dipandang. Ibu mungkin akan lebih ekspresif saat merasakan lelah, dan menyampaikan langsung ke anaknya. Entah hal ini pernah dialami pembaca atau tidak tapi pernahkah pembaca merasakan bahwa sepulangnya Ayah bekerja atau mencari nafkah beliau nampak menyerah. Rasa lelahnya selalu tertutupi dengan ketegaranya.

Ayah penulis beberapa kali keluar-masuk rumah sakit, salah satunya diakibatkan kecalakaan berkendaraa yang beliau alami saat pulang bekerja. Dengan kondisi celana sudah robek, stang sepeda motor terlihat sedikit bengkok, dan baju terlihat kotor karena aspal, Ayah dengan tenang melenggang masuk rumah tanpa menunjukkan rasa sakit. Seperti tidak ada kejadian apapun.

Meskipun sosok ayah terlihat berjarak dengan Penulis, sesekali beliau memberikan petuah saat sedang berdua. Salah satu petuah yang umum diberikan orangtua pada umumnya adalah soal agama. Bagi penulis yang seorang muslim, sholat menjadi hal yang selalu diwanti-wanti Ayah Penulis. Petuah lain yang masih melekat di benak Penulis sampai saat ini adalah tuntutan untuk belajar dengan sungguh-sungguh.

Ayah Penulis menekankan untuk belajar soal PPKN, Bahasa Indonesia dan Sejarah. Entah apa alasan Ayah Penulis memilih ketiga bidang tersebut, tapi intinya penulis memang menyukai 3 pelajaran tersebut.

Menjelang akhir hidupnya, ayah Penulis sudah sepenuhnya tidak bisa berkomunikasi dan harus total beristirahat di tempat tidur. Beliau didiagnosis penyakit stroke dan komplikasi diabetes. Hari-hari saat menemani beliau diisi dengan kisah-kisah masa kecil Penulis yang pernah diceritakan Paman Penulis.

Dari kisah Paman Penulis, tergambar jelas bahwa hari-hari Ayah selalu diisi dengan bagaimana cara membahagiakan Penulis. Cerita soal banyaknya mainan yang dibelikan Ayah, sampai mencarter becak untuk berkeliling kota, jadi suatu kisah yang terekam dan terus berputar di kepala Penulis.

Kisah-kisah masa kecil tersebut semakin memiliki daya sedih yang membuat air mata menitih tatkala tahun silih berganti. Semakin dewasa, kedekatan Penulis dengan sosok Ayah semakin berkurang.  Canda tawa bersama saat naik becak bersama, terganti dengan kesibukan soal dunia. Jangankan tegur sapa, foto bersama saat dewasa pun tiada. Kini ayah Penulis sudah lama tiada, hanya tinggal untaian doa untuk dia.  

Bagi pembaca yang masih memiliki sosok ayah jangan sia-siakan momen kebersamaan bersama Ayah. Penulis sempat ingat nasehat salah satu teman, yang sebenarnya sudah telat didengar karena Ayah Penulis sudah meninggal, kurang lebih seperti ini “Ayah itu semakin tua semakin merasa kesepian. Sebagai anak, sesibuk apapun, tegurlah beliau saat bertemu. Paling tidak tanyakan kabar dan hari-harinya. Setidaknya dengan mengobrol bisa sedikit mengusir rasa sepi di usia tuanya.”

Atau kalau perlu abadikan momen bersama dalam bentuk foto. Bukan untuk sekadar pengingat tapi untuk memacu semangat. Dari foto kebersamaan yang terbingkai semoga sosok Ayah dengan kebaikan yang diajarkan akan tetap ada meskipun kelak sudah tiada.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Alumnus Universitas Negeri Surabaya | Akun Facebook: Achmad Soefandi

CLOSE