Tentang Menikah di Momen Krisis Sepempat Abad dan Kesiapan Bangun Rumah Tangga

Menikah saat quarter life crisis

Orang-orang bilang umur 20an ke atas dan sebelum 30 tahun akan rentan dengan stress, depresi dan berbagai kekhawatiran akan banyak hal, salah satunya masa depan. Orang biasa menyebutnya sebagai QLC, Quarter Life Crisis, atau krisis jati diri. Banyak yang bilang puncaknya adalah di umur 22-28 tahun, emosi banyak yang tidak stabil dan lebih banyak emosi negatif ketimbang positif, lebih mudah sensitif dan kecewa, pada akhirnya akan lebih mudah ikhlas dan menerima dengan keadaan dan takdir yang tidak sesuai dengan keinginan.

Advertisement

Mengetahui hal itu, kekhawatiran datang bila justru menikah disaat sedang labil-labilnya akan emosi. Jika tidak memiliki manajemen emosi yang baik, kasihan anak dan suami, menjadi pelampiasan emosi sang istri dan ibu yang seharusnya memberikan mereka rasa nyaman, terutama kepada sang anak. Di masa tumbuh kembangnya yang seharusnya diberikan kasih sayang dan belajar banyak hal malah harus menjadi sasaran kelabilan seringkali emosi sang bunda.

Pernah dengar pregnancy atau maternity blues? Ya seringkali terjadi pada wanita yang belum benar-benar siap untuk mengandung dan mengasuh bayi, sehingga terjadi penyimpangan mental seperti ini. Stress dan tidak siap mental, alih alih mengasuh si bayi, si Ibu malah bisa-bisa menelantarkannya begitu saja, bahkan bisa saja mencoba membunuhnya. Ada lho yang seperti itu. Ada juga cerita seorang ibu yang memberi anaknya yg baru lahir obat tidur pada susu formulanya supaya tidur dan tidak menangis, dia tidak tahan mendengar tangisannya katanya. 

Belum lagi bertambah pikiran bagi orang-orang yang tinggal serumah dengan mertuanya. Ada saja kan perbedaan dan yang namanya menantu mau tidak mau harus mengalah dengan keinginan ibu mertua, apalagi kadang jika tinggal serumah, ibu mertua suka ikut campur dalam hal pengasuhan anak, kadang bisa saja si ibu dinasehati dengan cara mengasuh anak zaman old yang tidak relevan di zaman now. Dan lagi namanya juga nenek, pasti ingin memanjakan cucunya. Memang tidak semua mertua begitu, tetapi memiliki dua orang perempuan di suatu rumah tangga akan membuat kehidupan sedikit banyak bermasalah. 

Advertisement

Karena itu bagi orang-orang yang menikah muda dan merasa belum siap untuk memiliki anak, apalagi jika masih tinggal bersama dengan orang tua pasangan, KB sangat-sangat kuanjurkan. Bukan apa-apa, kasihan si anak bila nanti memiliki memoar masa kecil yang buruk dan penuh dengan hal yang tidak menyenangkan akibat ketidaksiapan mental Bapak dan Ibunya sebagai orang tua, akibat ketidakmampuan mereka mengelola emosi mereka yang berdampak kepada janin dan si jabang bayi.

Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan kenapa aku rasa lebih baik menikah di umur 27-29 tahun, setidaknya saat sudah memiliki anak nanti akan berumur 28-30 tahun dan sudah lebih stabil. Kasihan nantinya jika anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang, menerima lebih banyak kebencian dan kemarahan ketimbang kasih sayang.

Advertisement

Kasihan jika tempat mereka belajar dan berlindung nantinya justru memberikan mereka memoar-memoar menyakitkan. Usia 30 tahun ke atas bisa dibilang seharusnya menjadi usia yang relatif tenang dengan segala hal, baik jodoh, pekerjaan ataupun finansial, mungkin karena itulah banyak orang-orang Asia Timur, contohnya Korea Selatan yang memilih untuk menikah di umur-umur segini, karena merasa sudah lebih matang dan stabil dan merasa sudah selesai dengan apa yang ingin dilakukan dengan diri sendiri.

Ini mengapa juga banyak wanita berorientasi pada seseorang yang lebih tua sebagai calon pasangan. Bukan apa-apa tapi memang nyatanya kebanyakan yang lebih bisa mengontrol emosi mereka dan mengayomi  pasangannya adalah seseorang yang secara umur lebih diatas. Walaupun kedewasaan tidak bisa dijamin dengan umur yang semakin tua, karena ada saja seseorang dengan usia 30 tahun yang masih memiliki pikiran dan bertindak selayaknya anak kecil, yang belum mengerti komitmen dan hanya ingin bersenang-senang di dunia. Iya, ada walaupun mungkin tidak banyak.

Mereka adalah contoh orang-orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri dan tidak bisa dipaksa dewasa dengan sebuah ikatan pernikahan. Ingat, jangan pernah sekali-kali menikah dengan orang yang belum dewasa dan kamu pikir dia akan berubah dengan ikatan pernikahan. Jangan, jangan menikah dengan niatan untuk mengubah seseorang. Jika kamu rasa belum saatnya, jangan lakukan itu, selogis apapun alasan dan pembenaran dan sebesar apapun tekanan dari banyak pihak.

Kalau memang belum waktunya, belum saatnya, belajar banyak-banyak dulu agar si anak nantinya tidak merasakan masa kecil yang tidak menyenangkan. Terlalu jahat jika memberikan si kecil memoar negatif untuk tumbuh kembangnya. Belajar banyak-banyak dulu agar merasa siap sampai waktunya tiba. Jangan tergesa-gesa menikah hanya karena tuntutan orang tua atau teman-teman yang sudah banyak menikah dan mempunyai anak, mungkin memang mereka sudah memiliki manajemen emosi yang baik.

Lagi-lagi kematangan seseorang berbeda-beda, lebih baik matangkan waktumu dan persiapkan dirimu dengan baik agar tidak ada sesal di belakang. Menikahlah jika memang kamu rasa sudah waktunya, bukan untuk mengejar teman-temanmu yang sudah menikah atau memenuhi tuntutan orang tua.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Everyone is fighting their own battle so be nice

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE