Tentang New Normal, Perkara Rindu atau Justru Tak Bisa Move On?

Curhatan untuk New Normal


“Jika ada pertemuan pastilah ada perpisahan, jika ada bahagia pastilah ada pilu”


Begitulah kira-kira kalimat bijak untuk sekedar mengkamuflasekan kesedihan, tidak terkecuali saya tentunya. Namun relevan kah jika kita aplikasikan dengan keadaan saat ini? Sudah hampir 4 bulan lamanya kita dipisahkan kebijakan pemerintah untuk meminimalisir penyebaran corona dengan Social Distancing maupun Physical Distancing. Apapun itu, semua terkena imbasnya. Hal ini memberikan efek domino begitu besar tak terkecuali di ranah asmara. Namun saya tidak akan membahas itu. Lebih dalam, yaitu New Normal yang mulai ditetapkan oleh pemerintah.

Memang siapa yang akan siap dengan perpisahan, kematian, ataupun bencana wabah seperti ini? Tidak satupun. Di antara kita masih tidak percaya dan berharap semua kembali seperti semula, dengan retorika rindu dimana kita mampu tatap muka dan bergandengan tangan sambil nyruput kopi masing-masing. Namun semua hilang begitu saja, kita seakan hidup sendiri dalam sebuah keasingan, dan saling belajar melupakan untuk melanjutkan lembaran baru. Disinilah maksud saya mengkorelasikan antara judul dengan New Normal. Bisa kah?

Hampir semua aspek, di sektor ekonomi apalagi, semua lumpuh dan harus dicari jalan keluar untuk efektifitasnya bahkan hingga ke arah kebiasaan pola hidup. Dari pukulan telak wabah ini benar-benar menghajar diri kita untuk mengembangkan sikap adaptif. Walaupun kata Paulo Freire di buku-nya Pendidikan yang mem-Bebaskan,


“Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri paling rapuh, dan itu sifat khas hewani”.


Dari sini saya tersadar akan keterlenaan bahwa esensi manusia adalah penemu. Jika hingga kita sampai di titik, dimana harus didorong untuk adaptif, seberapa lemahkah kita menjadi manusia? Betapa gagalnya kita menjadi manusia yang tidak sanggup menentukan realitas?

Selama ini kita sangat sadar akan fasilitas tekhnologi yang sangat super efisien. Kita lihat di kegiatan daring yang memang signifikan digunakan menjadi tumpuan sekarang. Kita sangat menikmatinya untuk sekedar menghindar dari kenyataan pahit, namun kurang sadar untuk memanfaatkannya ke hal yang berguna dan lebih efektif. Artinya hal itu mengantarkan kita kepada ketidaksiapan.

Tak terkecuali kepada pemangku kebijakan, yang seolah tidak siap menghadapi krisis ini. Jelas saja tidak bisa dipukul rata kepada individu masyarakat, karena faktanya, tekhnologi memang belum merata dirasakan masyarakat. Selanjutnya segala kebijakan yang alih-alih mendorong untuk adaptif, dari sini bisa dirasa seolah-olah lepas tangan dari logika konstitusi negara dimana harus adanya jaminan keamanan bagi rakyatnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis