Terkadang Kita Hanya Ingin Didengar, Sesederhana Itu

Sudikah kau mendengarkan setiap ceritaku, sebatas itu saja, sungguh itu sangat berarti

Sepanjang perjalanan hidup kita, kita ditempa untuk menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Persaingan dan pergerakan yang dunia yang semakin cepat pun menjadikan kita terus saling mengejar dan di kejar.

Advertisement

Hingga akhirnya seperti nya bersedih dan berkeluh kesah adalah menjadi hal yang tabu sekarang ini, karena kita takut akan prespektif orang yang beranggapan kita lemah, cengeng, manja. Tapi pernah kah kita menyadari ingin di dengar dengan apa adanya adalah hal paling alamiah dari mahluk bernama manusia.


Meski hati kita berusaha untuk teguh, tapi pada akhirnya kita membutuhkan tempat untuk berteduh


Seperti nya mendengar adalah sesuatu yang amat sangat sulit kita lakukan dewasa ini. Media sosial yang tadinya kita gunakan untuk bersosialisasi kepada orang banyak pun, terkadang malah kita buat sedemikian rupa untuk kelihatan sempurna dan baik-baik saja.

Advertisement

Rasanya menjadi terluka, bersedih dan mengungkapkan apa yang sebenarnya kita rasakan apa adanya adalah hal yang langka. Kita takut untuk di hujat, dicibir, dianggap overthinking dan sebagainya.  Semakin menjadi mahluk bermedia sosial, semakin kita malah mengikis rasa sosial yang paling alamiah pada diri manusia, yaitu ingin di dengarkan apa adanya.


Topeng kita media sosial, kadang berbanding terbalik dengan diri kita sebenarnya


Advertisement

Kalau kita beranggapan bahwa apa yang di tampilkan di media sosial adalah diri seseorang itu sebenarnya, seperti kita terlalu gegabah pada sebuah kesimpulan itu. Sebab bias media sosial dan membentuk pondasi yang seakan semua orang hanya patut membagikan sesuatu yang membahagiakan saja.

Hingga akhirnya topeng demi topeng pun kita pergunakan, kita buat semenarik mungkin, sehebat mungkin, sesuai dengan perkembangan yang menuntut perubahan yang dinamis dalam keseharian kita. Tapi pernah kah kita berfikir, semakin banyak topeng yang kita kenakan, semakin kita akan kehilangan diri kita sendiri?

Pernahkah kita berfikir bahwa timbul satu prespektif  bahwa justru topeng yang kita kenakan itu, malah menjadikan diri kita yang baru dan meninggalkan diri kita yang apa adanya di belakang sana. Seperti mempunyai topeng itu tidak masalah, karena memang itu adalah hasrat alamiah manusia untuk ingin di puji, di akui dan sebagainya.


Yang kita ucapkan, pada diri kita sendiri di tengah keheningan malam, adalah sebenar-benarnya diri kita


Tampil menjadi sempurna itu melelahkan, ketika kita berupaya sebisa mungkin baik-baik saja dalam segala hal. Bersedih, kecewa, mengeluh, gundah, adalah hal yang tabu dengan segala prespektif negatifnya yang secara sepihak mungkin kita sepakati hal itu.

Di kehidupan nyata kita, ketika kita ingin bercerita hal-hal yang mungkin berlawanan dengan diri kita di media sosial, seperti nya menjadi hal yang sulit. Karena sebagian orang tak paham dan tak cukup peka untuk menyadari apa yang kita inginkan bukan nasehat maha bijaksana dari mereka, tapi yang kita butuhkan hanya ingin di dengar. Ya sesederhana itu.

Segala buku dan cerita motivasi terkadang cuma bias dan sekejap berlalu di keseharian kita, apalagi kepada orang yang kita ajak sharing atau bercerita yang sebenarnya, keinginan mendasar nya kita hanya ingin di dengar, bukan di berikan nasehat, atau motivasi yang luar biasa.

Ketika tidak ada tempat yang benar-benar nyaman untuk kita mengungkapkan segala keluh kesah kita, sekedar ingin bercerita untuk membuat hati kita jadi lebih lega, tanpa sadar kita terkadang meneteskan air mata di tengah malam. Sebab malam yang gelap dan sunyi adalah tempat teraman dan ternyaman dari segala kerisauan dan kegundahan.


Ketika bersedih menjadi hal yang tabu, dan bahagia menjadi wajib, tekanan akan muncul, dan sewaktu-waktu bisa membuat kita meledak


Bersedih, sebuah kalimat yang sekarang ini mungkin kita anggap tabu, ada satu stigma yang luas bahwa sebenarnya memang kesedihan di sembunyikan saja, di bawa bantal, di kolong tempat tidur, di sudut-sudut pegunungan yang sunyi, di tempat bingar bingar yang memecahkan telinga atau di deras nya rintik hujan yang berpetir.

Kita sepakat bahagia itu menular, bahwa jika kita membagikan hal yang bahagia kepada orang banyak maka kita akan menyebarkan energi yang Positif kepada orang lain. Tapi apakah bersedih tidak perlu atau hanya cukup kita simpan rapat-rapat di hati kita, di timbun sedemikian dalam agar tak terlihat. Dan semua akan baik-baik saja dan kita akan kembali tersenyum?

Ketika mendengarkan orang lain apa adanya terlepas siapa orang itu, bukankah kita memberikan ruang kepada hati kita juga untuk menjadi lebih peduli, dalam konteks yang sebenarnya. Mungkin setiap orang punya cara sendiri untuk mencurahkan setiap kegelisahan nya. Tapi bukankah Tuhan menciptakan kita 1 mulut dan 2 telinga untuk agar kita lebih banyak mendengar.


Setiap suara mendatangkan gema, dan terkadang gema itu hanya butuh kita dengarkan, bukan di komentari


Ada yang pepatah yang mengatakan, bahwa orang paling banyak tertawa sebenarnya orang yang paling banyak bersedih. Carilah tempat untuk kita bisa bercerita apa adanya, di mana orang itu adalah tempat ternyaman untuk mendengarkan setiap cerita kita. Sebab sebenarnya mengapa kita enggan untuk bercerita kepada orang apa adanya, karena selalu saja mereka memberikan nasehat yang sebenarnya kita tidak butuhkan. Karena yang kita butuhkan adalah telinga orang itu yang bisa mendengarkan segala hal yang kita rasakan apa adanya.

Sesekali kita butuh di dengarkan tanpa di komentari, kalau mereka hanya ingin mengomentari kita, lebih baik suruh saja mereka menjadi komentar sepakbola, itu lebih bagus. Mulai dari sekarang carilah seseorang yang mau mendengarkan setiap ceritamu apa adanya. Dari sudut tergelap sampai sudut yang terang benderang, dari tempat terkelam sampai kepada tempat yang temaram.

Ada begitu banyak orang yang ingin melihatmu tersenyum, tapi sayangnya hanya ada sedikit sekali yang ingin melihatmu bersedih, padahal kedua nya adalah emosi manusia yang sedari awal kita lahir telah ada. Tapi begitulah orang banyak mengkotak-kotakkan dua emosi itu, bersedih dianggap lemah, dan bahagia di anggap kuat. Padahal kita tak benar-benar tahu, mana emosi yang paling baik di antara keduanya, kalau sebenarnya kita bisa berpura-pura membohongi diri kita sendiri.

Kalian yang lebih mengerti hati kalian, sebaik-baiknya perasaan adalah yang di sampaikan apa adanya.dan sebaiknya-baik nya pendengar adalah yang mau mendengarkan setiap perasaan dengan apa adanya. Kita tak kekurangan sama sekali pengikut, penggemar, pengagum, kekasih dan sebagainya. Tapi kita terkadang kekurangan pendengar yang bisa menerima setiap perasaan kita apa adanya.


Mengapa kita perlu ke  psikiater, kalau kita punya orang yang bisa mau mendengarkan kita


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Cuma ingin menulis, semoga bermanfaat dan terhibur.

CLOSE