Thrifting, Gaya Hidup Ramah Lingkungan yang Mulai Digandrungi Kawula Muda

Thrifting? Why not?!

Daya tarik thrifting hari-hari ini semakin melejit, utamanya dalam bentuk pakaian. Thrifting sebagai sebuah aktivitas atau gaya hidup membeli barang bekas nyatanya mampu bersaing di banyak kota besar di Indonesia. Hal ini didorong ketika tidak sedikit selebriti atau influencer tanah air seperti, Andien Aisyah atau Nadin Amizah, memakai bahkan mempromosikannya.



Tidak hanya bisa dijumpai di toko-toko yang ada secara fisik, kini perkembangan toko barang thrift mulai bisa dijangkau secara online berkat mulai bermunculannya media sosial sejak tahun 2000-an hingga sekarang. Dan kaum muda subkultural yang menggilai fesyen dengan gaya vintage adalah pelanggan setia toko barang-barang thrift ini.



Biasanya, mereka mulai menyediakan waktu khusus di hari libur – weekend untuk mulai mendatangi beberapa toko thrift. Tujuan mereka tentu saja berburu pakaian sesuai selera atau gaya fesyen dengan harga yang jauh lebih terjangkau dibandingkan pakaian baru yang ada di mall atau department store. Bahkan, jika beruntung, mereka akan mendapatkan pakaian dari merk ternama dengan kualitas Internasional.



Lalu, dari mana sebenarnya asal muasal gaya hidup ini? Gaya hidup thrifting sudah populer sejak lama dan sangat dekat dengan kondisi ekonomi. Salvation Army lah tokoh dibalik adanya proses jual beli baju bekas ini. Di awal abad ke 19, dia mulai memperjual belikan baju bekas dari donasi ke masyarakat London yang akhirnya menyebar ke Amerika Serikat .



Thrifting makin populer ketika terjadi depresi ekonomi. Di masa itu, berburu pakaian bekas menjadi aktivitas yang tidak hanya diminati masyarakat dengan kelas ekonomi ke bawah tapi kelas menengah atas pun ikut menjadi pesertanya.



Namun, thrifting mulai ditinggalkan masyarakat kelas menengah atas ketika keadaan ekonomi mulai membaik. Namun, ini tidak berlaku bagi kalangan miskin kota dan anak muda subkultural, gaya hidup yang diadopsi dari subkultural hipster ini secara konsisten tetap mereka hidupi hingga sekarang – tidak pernah ditinggalkan.



Pamor berburu pakaian bekas mulai naik daun lagi di kalangan masyarakat kelas menengah atas di kota-kota besar. Hal ini terjadi ketika penggunaan media sosial semakin marak dan menjadi sebuah bagian dari kebutuhan bersosial masyarakat, dengan para influencer yang ada di dalamnya pun mulai ikut ambil bagian – dengan mempromosikan hasil thrifting lewat postingan media sosial mereka.



Sadar atau tidak melakukan thrifting atau thrift shopping ternyata tidak hanya mampu menyehatkan dompet namun tetap bisa bergaya – stylish. Thrifting ternyata baik bagi lingkungan. Thrifting pakaian-pakaian bekas ternyata bisa membantu mengurangi sampah tekstil yang terbuang dan menumpuk di TPA dalam jangka waktu lama yang akan berubah menjadi gas metana (CH₄) penyebab perubahan iklim.



Mengapa? Tentu saja karena ada orang lain yang akhirnya mau untuk membeli dan memakai pakaian-pakain bekas tersebut untuk dipakai secara berkelanjutan.

Zerowaste Indonesia menyebutkan bahwa, berbelanja pakaian bekas atau thrifting merupakan salah satu langkah sederhana dari masyarakat untuk bisa mengurangi jejak karbon. Dengan kata lain, thrifting dikelompokkan dalam sebuah aktivitas masyarakat untuk mewujudkan gerakan sustainable fashion atau fesyen yang berkelanjutan.



Gerakan ini merupakan sebuah praktik dalam dunia fesyen yang menonjolkan nilai-nilai lingkungan. Di mana, gerakan ini berfokus pada terwujudnya penggunaan berbagai bentuk fesyen baik di lingkup gaya hidup pribadi sampai bisnis yang bisa meninggalkan kerugian kecil bagi lingkungan.



Zerowaste Indonesia juga menyebutkan bahwa, pakaian adalah fokus utama dari gerakan ini. Alasannya karena pakaian merupakan salah satu penyumbang polusi terbesar pada lingkungan. Sebesar 10 persen emisi karbondioksida (CO2) global didapat dari hasil industri fesyen.



Thrifting yang merupakan langkah sederhana dari gerakan fesyen berkelanjutan memberikan banyak manfaat bagi lingkungan. Dengan kata lain gaya hidup ini sangat ramah lingkungan. Bahkan, dengan melakukan thrifting emisi karbon global dapat diturunkan hingga mencapai 30 persen (Zerowatse Indonesia, 2020).



Thrift shopping memiliki beberapa manfaat bagi lingkungan. Pertama, mengurangi sampah. Setelah minyak bumi, industri fesyen menempati posisi kedua sebagai industri paling berpolusi di dunia – berdampak pada perubahan iklim. Dan fast fashion adalah kontributor paling besar bagi pencapaian industri fesyen ini (UNCTAD, 2019).



Fast fashion adalah industri fesyen yang cepat berganti mengikuti musim yang ada. Sebagai contoh, ketika musim panas datang, maka industri ini akan segera memproduksi pakaian musim panas. Dan ketika musim dingin tiba, mereka juga akan dengan cepat memproduksi pakaian musim dingin. Industri ini bisa memproduksi hingga empat puluh dua model pakaian dalam satu tahun.



Industri ini biasanya memakai bahan dengan kualitas buruk sehingga, tidak bisa bertahan lama. Jadi, industri ini seringkali tidak terlalu memperhatikan dampak buruk produksinya terhadap lingkungan. Dan yang terjadi selanjutnya adalah, banyak pakaian yang berakhir di tumpukan tempat pembuangan sampah. Negara berkembang yang berada di kawasan Asia seperti Indonesia adalah pelaku utama industri ini.



Namun, apakah benar thrift shopping berpotensi mengurangi dampak lingkungan karena industri tekstil? Jawabannya sangat berpotensi, karena ketika banyak orang mulai berbondong-bondong melakukan thrift shopping maka, permintaan untuk memproduksi pakaian baru sesuai musim yang ada akan berkurang. Jadi, ketika lebih sedikit pakaian baru diproduksi secara cepat, maka lebih sedikit juga tumpukan sampah pakaian atau kain di tempat pembuangan sampah – TPA.



Kedua, melindungi laut dan penggunaan air. Tidak sedikit sampah pakaian atau kain yang berakhir atau dibuang ke laut. Sampah pakaian dengan bahan yang paling banyak dipakai adalah poliester, dan sampah ini tidak bisa terurai di dalam air. Hal ini seperti melempar racun ke laut yang secara otomatis bisa membunuh spesies air dan hewan yang hidup di dalamnya. Aktivitas ini sangat mencemari dan merusak lingkungan.



Selain dapat merusak lingkungan, industri fesyen bertanggung jawab atas penggunaan air dalam jumlah yang besar untuk proses produksinya. Sebagai contoh, t-shirt katun yang dalam proses produksinya membutuhkan air sebanyak 650 galon, atau sepasang jeans yang membutuhkan air sebanyak 1.800 galon. 



Maka, thrifting menjadi jawaban untuk lestarinya ekosistem di dalam laut dan penggunaan air bisa ditekan. Gaya hidup ini membantu mengurangi kebutuhan produksi pakaian yang baru – memproduksi lebih sedikit pakaian.



Ketiga, mengurangi polusi udara. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa, 10 persen emisi karbondioksida (CO2) global didapat dari hasil industri fesyen. Lebih spesifiknya, sumbernya berasal dari industri fast fashion yang mengutamakan produksi pakaian dengan model yang beragam, jumlah yang banyak, dan berkecepatan tinggi. Keadaan inilah yang membuat polusi udara dan emisi gas karbon yang dihasilkan akhirnya menjadi semakin besar.



Oleh karena itu, memilih untuk membudayakan gaya hidup thrifting adalah solusi dalam mengurangi polusi udara yang dihasilkan oleh produksi pakaian dalam jumlah besar dengan tempo waktu yang sangat cepat ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Shangrila.(n) ; any place of complete bliss and delight and peace→The Lost Horizon, James Hilton(England,1933)™ Passion Never Weak