[CERPEN] Tiga Bulan untuk Selamanya

Bagaimana jika seseorang memberi tahumu bahwa hidupmu tidak lebih dari tiga bulan lagi?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menunggu adalah kata kerja yang memiliki makna: 1) tinggal beberapa saat di suatu tempat dan berharaap suatu hal terjadi, 2) tinggal sementara untuk menjaga, merawat, 3) menantikan, 4) mengharap, 5) mendiami, mengharapi.

Advertisement

Tidak ada batasan yang jelas dalam pengertian menunggu. Bisa sedetik, semenit, sejam, berjam-jam, sehari, sebulan, tiga bulan, selamanya. Sedang yang ditunggu pun bisa bermacam jenisnya. Seseorang, kejadian, perasaan, kematian

Ini tentang kisah masa kecilku, tentang menunggu apa yang tak pernah kita tahu.

Bagiku, sekolah dasar adalah masa-masa yang indah. Tanpa beban yang memberatkan. Masa ketika aku mudah mencari teman bermain. Bermain apa pun yang kusuka sampai lupa waktu. Masa ketika diam-diam memetik mangga tetangga jadi tantangan bersama teman, yang berakhir dengan omelan ibu. Masa yang tadinya penuh canda dan bahagia. 

Namun, semuanya berubah. Suatu hari, ibuku jatuh sakit. Saat itu, aku masih kelas tiga SD. Kami tak pernah menyangka penyakit akan datang tiba-tiba pada sosok pekerja keras itu. Wanita karier yang hebat di salah satu perusahaan di Surabaya. Disayang suami dan anaknya. Dihormati klien dan sejawat kerja. Selalu menyiapkan sarapan sebelum berangkat kantor dan pulang dengan hadiah kejutan.

Advertisement

Ibu mengeluhkan dadanya sesak. Daya tahan tubuhnya pun menurun drastis. Saat diperikasan di salah satu rumah sakit besar di Surabaya, kabar mengejutkan keluar dari mulut sang dokter, “Maaf, Ibu didiagnosis kanker payudara.”.

Tidak tanggung tanggung, kanker payudara stadium 4. Tingkatan terakhir, bisa dibilang yang terparah. Kanker apa pun itu. Tingkatan yang sulit disembuhkan, jarang ada yang sembuh. Ibu syok mendengar kabar itu. 

Terlebih, ketika dokter mengatakan bahwa kebanyakan kanker payudara menyerang wanita yang merokok atau terpapar asap rokok, meminum minuman keras, juga tidak menyusui anaknya secara sempurna. Tidak, Ibu tidak pernah melakukan satu pun dari penyebabitu. Pola hidup Ibu sehat. Makan sayuran ,dan beliau menyapih anaknya secara sempurna.

Advertisement

Dokter merujuk ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk mendapat hasil lebih pasti. Memunculkan harapan bahwa bisa saja diagnosis sebelumnya keliru. Berangkatlah Ibu dan Bapak ke Jakarta. Setelah diperiksa, bukan kabar baik yang Ibu terima. Malah sebaliknya, lebih parah. Sel kanker yang menyerang payudara sebelah kiri telah merambat ke kelenjar getah bening. Sangat kecil kemungkinannya untuk diangkat dan sembuh. Saat itu, dokter memperkirakan umur Ibu tidak lama lagi—tidak lebih dari tiga bulan.

Bagaimana jika seseorang memberi tahumu bahwa hidupmu tidak lebih dari tiga bulan lagi?

Saat itu, Ibu tak pernah membayangkan itu terjadi. Dalam kondisinya yang lemah, Ibu depresi. Ibu sering menangis sejadi-jadinya. “Ya Allah mengapa Engkau beri penyakit ini kepadaku? Mengapa, ya Allah? Aku tak pernah melakukan sebab-sebab timbulnya kanker ini.” Dalam kekalutannya, Ibu mempertanyakan takdir Allah.

Dengan begitu cepat, Ibu kehilangan nafsu makan dan  terlebih lagi, ibu kehilangan nafsu untuk hidup. Ibu dalam kemurungan yang nyata. Kami pun sepertinya tak bisa menyembunyikan kesedihan. Kondisi itu membuat keluarga besar prihatin dan bersimpati lebih. Sering mereka berkunjung ke rumah, juga rumah sakit tempat Ibu dirawat. Membawa hadiah, buah buahan, baju, juga doa-doa.

Saat kondisi Ibu makin memprihatinkan, Pamanku, satu-satunya adik Ibu sangat sedih. Beliau adalah seorang  dokter dan termasuk orang yang taat beragama. Melihat kakak yang sangat dia hormati dan keluarganya hampir tak punya semangat lagi, Paman memikirkan sesuatu.  Suatu pagi, paman datang ke kamar tempat Ibu diopname. Dia datang bersama seorang ustaz kenalannya. Paman meminta sang ustaz untuk memberi wejangan kepada kami, khusus kepada Ibu yang saat ini butuh sekali motivasi dan semangat hidup.

Ustaz itu mengajak Ibu bicara dengan lembut. “Ibu Yayuk, yang namanya kematian itu datang kapan saja, di mana saja. Dalam kondisi apapun, ia bisa menjemput kita. Tidak pilah- pilih. Tidak hanya orang yang sakit kanker payudara yang bisa ‘mati cepat’. Bisa saja saya selesai berbicara di hadapan Ibu ini yang lebih dulu, meninggal. Atau bahkan sebelum saya menyelesaikan pembicaraan ini. Tidak ada yang tahu. Husnudzon selalu kepada Allah Ta’ala. Berpikir positif  sambil banyak beristighfar. Allah selalu punya jalan terbaik bagi hamba-Nya.”

Ibu mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Ustaz itu melanjutkan, “Ibu, semakin tinggi iman seseorang, semakin besar cobaan yang ia terima. Layaknya pohon, Bu. Ibu harus tetap semangat menghadapi cobaan ini. Hanya Allah-lah yang tahu kapan ajal menjemput kita. Kapan pun itu, semua pasti yang terbaik dari-Nya.”

Nasihat yang halus itu rupanya mengena ke relung hati Ibu. Setelahnya, atas izin Allah, ibu sadar. Ibu mulai bertobat. Banyak beristighfar dan berdzikir. Ibu kalau memang kematian yang terbaik untukku, segerakanlah. Apabila kehidupan masih yang terbaik untukku maka sembuhkanlah aku.”

Alhamdulillah, semangat hidup mulai terpancar kembali setelah sekiaan lama redup. Dengan izin Allah, ibu lebih taat beragama. Lebih berpikiran positif, lebih sering tersenyum, lebih sempurna dalam berhijab, dan lebih sering menghidupkan malam terakhir dengan bermunajat kepada Allah. Ibu dengan sabar menjalani tiap tahapan penyembuhan. 

Mulai dari kemoterapi, penyinaran, juga mengonsumsi herbal anjuran dari dokter seperti rebusan daun binahong. Ibu menempuh segala cara yang dihalalkan syariat. Ibu serahkan pengobatan kepada ahlinya. Tidak berputus asa, tidak mendatangi “alternatif” yang meragukan.

Efek dari pengobatan pengobatan itu melemahkan daya tahan Ibu hingga merontokkan helai-helai rambutnya, yang berlanjut pada kebotakan yang sempurna. Ibu biasanya menutupinya dengan kerudung jika ia keluar rumah. Kondisi Ibu itu membuat aku yang masih duduk di sekolah dasar itu sedih, apalagi saat kejadian Ahad pagi itu. 

Teman- temanku datang main ke rumah. Mereka melihat Ibu yang tanpa kerudung. Kepala botak Ibu pastilah pemandangan yang aneh dan mungkin lucu bagi anak-anak seusia mereka. Jadilah anak-anak itu menertawai dan mengejek. Aku menangis. Anak-anak itu pun langsung pulang, mungkin mereka merasa bersalah.

Ibu menyadari apa yang terjadi. Beliau menenangkanku. Sambil memelukku, Ibu berkata, “Ibu juga tak mau menderita seperti ini, Nak. Ibu juga tak mau kehilangan rambut Ibu yang indah. Tapi, semua itu harus terjadi. Ini takdir, kehendak Allah. Allah memilihkan jalan ini sebagai jalan terbaik bagi Ibu. Kita harus sabar, Nak….”

Tak lama, aku pun berhenti menangis. Meski saat itu tak terlalu memahami apa yang Ibu nasihatkan kepadaku, yang jelas ketika ada teman yang mengejekku, aku tidak lagi menangis.

Kesabaran adalah salah satu kunci hidup Ibu. Dengan sabar,  ia menunggu waktu operasi pengangkatan, masektomi. Saat yang dinanti tiba, keluarga besar ibu datang mengantar dan menunggu selama operasi dengan perasaan yang tak keruan. Saat dokter keluar dari ruang operasi dengan setoples kaca berwarna merah berisi gumpalan, kami semua lega. Aku bersyukur. umpalan yang selama ini menyiksa ibuku sudah dipisahkan darinya.

Fase berat telah Ibu lalui. Sudah tiga bulan juga berlalu dari perhitungan dokter akan panjangnya Ibu. Perhitungan tiga bulan hanya prediksi dari dokter berdasarkan kondisi ibu saat itu. Semua itu hanya hitungan manusia yang bisa keliru. Karena jika Allah berkehendak lain, apa pun bisa terjadi.

Semangat hidup Ibu semakin kuat. Seiring berjalannya waktu, Ibu sering diminta memotivasi pengidap kanker di sekitarnya. Terutama kanker payudara. Ibuku adalah bukti nyata bahwa semuanya tidak ada yang tidak mungkin di hadapan Allah. Kun fayakun. Ajaibnya kata itu: jadilah maka jadi.

Orang terakhir yang Ibu beri motivasi adalah salah satu dosen di universitas yang ada di Surabaya. Wanita itu juga mengidap kanker stadium akhir seperti Ibu dahulu. Ia putus asa, tak tampak semangat hidup muncul darinya.

Dengan izin Allah, Ibu menemuinya, bertukar kisah, menyemangatinya. Membuat ia lebih berpikir positif dan banyak beribadah mengingat Allah. Qodarullah, tiga atau empat minggu setelah itu, ajal menjemputnya. Beliau kembali ke haribaan Allah Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan memberinya tempat terbaik. Amin.

Teruntuk Ibuku tercinta dan segenap pengidap kanker, khususnya kanker payudara. Juga kepada seluruh pembaca, kuhaturkan kisah ini. Semoga bisa bermanfaat dan menjadi tulisan yang dinilai ibadah dan kebaikan di sisi-Nya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Menulis ketika harus dan harus dipaksa karena dari dipaksa, terpaksa, terbiasa, luar biasa!

CLOSE