Tiga Kali Bertemu Rokok, Tiga Kali Tak Lulus Menjadi Perokok

Di sekitar mobil yang sedang berhenti di pinggir jalan, sekumpulan orang mondar-mandir. Pintu belakang mobil menganga. Di bagian belakang tempat biasa barang-barang diletakkan, box-box makanan berjejer. Beberapa pria duduk di samping box itu, yang lainnya berdiri.



Saya–usia 5 atau 6 tahun–duduk di kursi tengah mobil, melongok sesekali ke belakang. Melihat-lihat.



Seorang laki-laki kemudian menawari saya menghisap rokoknya. Saya lakukan satu-dua kali hisap, kemudian sesak. Lalu saya terbatuk-batuk. Alasannya: itu pertama kali saya mencicip rokok. Alasan lain, ada riwayat penyakit pernapasan.



Mata saya berair. Entah bagian mana yang tidak beruntung: terkena penyakit pernapasan atau mencicip rokok atau (ternyata) tidak menjadi perokok.



***



Rokok selalu punya kesan tersendiri. Umumnya buruk, karena zat-zat di dalamnya bisa membahayakan penghisapnya maupun penghirup asapnya. Sehingga mereka lebih sering dikucilkan di ruangan khusus perokok. Imejnya juga buruk di depan poster-poster himbauan untuk jangan merokok.



Di lain sisi, rokok punya kesan keren. Macho. Mature, seperti kebanyakan iklannya. Tak jarang pula sebagian orang bisa mendapat inspirasi lebih mudah bila sambil ngudud. Sebut saja filsuf beken Jean-Paul Sartre, atau penyanyi beken macam Lady Gaga.



Sebagaimana terjadi pada banyak hal di dunia ini, ada baik dan buruknya.



Namun satu hal yang pasti, untuk jangka panjang, tentu efek buat tubuh kurang baik. Komponen di dalamnya, mulai dari ujung hingga filter, berpotensi merusak tubuh. Paling tidak dalam jangka waktu yang lama, ia adalah investasi yang buruk. Belum lagi pengaruhnya ke kesuburan.



Tapi toh tak pernah sederhana juga pada akhirnya. Betapapun kita memisahkan perokok dari non-perokok. Betapapun kita meletakkan gambar paling sadis di bungkusnya. Yang merokok, hampir pasti, tetaplah merokok. Sebaliknya, anti-rokok, tetap jengkel pada mereka.



***



Bertahun-tahun setelah kejadian di mobil, saya memperoleh kesempatan mencicip rokok 'asli'. Dilinting langsung di depan mata saya–dan kawan-kawan–dengan tembakaunya ada di depan mata, lalu dihisap langsung di tempatnya. Tidak ada filter atau campuran rasa macam-macam. Di daerah pegunungan yang dingin.



Saya pikir kejadian tersebut menjelaskan beberapa hal. Ia menjelaskan bahwa rokok menimbulkan efek hangat cocok untuk wilayah dingin. Kemudian juga menjelaskan bahwa rokok adalah industri yang sangat menjanjikan. Sekaligus menjelaskan bahwa rokok memang ada fungsi-nya, selain untuk bergaya.



Namun, mengingat kita tak bisa mengontrol orang akan merokok dengan jenis apa, memberikan area khusus merokok merupakan tindakan yang layak. Sehingga ada pembagian lapak antara perokok dan bukan perokok.



Di luar perdebatan ini, rokok juga agaknya merupakan perilaku kultural. Layaknya fashion, ada trennya orang pakai rokok ini, ada saatnya orang berbondong-bondong pakai rokok itu. Ada pula yang cuek dan menganggap semua hanya soal (pria punya) selera saja.



Lepas dari penyakit pernapasan, saya sendiri tak merokok karena sejujurnya tak diperkenalkan perilaku tersebut sedari saya kecil. Saya tak punya pengetahuan dasar tentang apa itu rokok, dan fakta-fakta mengenai betapa tak sehatnya rokok terlanjur ditancapkan di kepala saya. Kendati kemudian saya juga tidak masalah berkawan dengan perokok.



Mungkin lain cerita bila keluarga saya keluarga perokok, dan permisif pada batangan kecil itu.



***



Persoalan rokok barangkali akan selesai apabila ada regulasi yang fair bagi keduanya. Dan tentu saja ditegaskan setegas-tegasnya. Supaya perokok tidak ikut campur urusan anti-rokok, dan orang yang anti-rokok tak perlu ikut campur pada perokok. (Tapi aneh juga melihat orang anti-rokok tidak ikut camput urusan perokok).



Kalau ada yang sangat perlu dikritik, maka itu adalah industri rokok yang kerap kecolongan. Misalnya, anak-anak di bawah usia tertentu yang sampai bisa beli rokok.



Bertahun-tahun setelah rokok di atas gunung itu, saya berkesempatan mencicip 'rokok' tipe lain, yakni vape. Hasilnya sama, batuk-batuk. Serta mungkin ketambahan alasan lainnya: potongan saya memang belum layak sebagai seorang perokok. Baik secara penampilan, maupun perangkat tubuh.



Tapi, sambil mengingat-ingat wujud vape berwarna abu itu, persoalan rokok kayaknya memang kompleks, dan selalu demikian. Baik di antara perokok dan mereka yang anti-rokok, maupun di dalam masing-masing kubu itu sendiri, bahkan sampai orang-orang yang tak ada hubungannya dengan mereka. Duh, rumit!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE