Mengenal Kebrukan, Tradisi yang Dilakukan Pada Tujuh Bulan Kehamilan

Sudahkah kalian mengenal tradisi kebrukan?

Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat Jawa khususnya, ada berbagai macam cara dalam menyambut kelahiran seorang bayi, setiap kali ada seorang ibu yang mengandung pasti ada sebuah acara yang akan dilakukan yang sering dikenal dengan selametan dimana hal ini dilakukan untuk mendo’akan bayi yang sedang dikandung sampai kelahirannya kelak.

Advertisement

Kata Kebrukan sendiri dalam bahasa Jawa berarti kejatuhan hal ini didasarkan pada bagaimana tradisi ini dilakukan. Dimana setiap orang yang hadir dalam acara ini memperebutkan sebuah bola yang dilemparkan oleh tuan rumah/orang yang punya hajat untuk mendapatkan hadiah yang sudah dipersiapkan oleh tuan rumah. Tidak jarang pula banyak orang yang terluka saat memperebutkan bola tersebut, tetapi itu tidak membuat orang-orang ini marah tetapi justru membuat mereka bahagia karena dapat berinteraksi dengan orang lain.

Tradisi ini diawali dengan acara selametan dan do’a bersama yang dipimpin oleh seorang kyai/ustadz dalam rangka tujuh bulan kehamilan seorang ibu, setelah selametan selesai barulah tradisi kebrukan ini dilakukan.

Sebelum melaksanakan kebrukan biasanya kyai memimpin do’a terlebih dahulu bagi keselamatan bayi yang dikandung oleh seorang ibu, setelah do’a selesai barulah tradisi ini dimulai dengan melemparkan Kallo dalam bahasa Jawa berarti tempat sayur dimana Kallo itu sendiri memiliki makna, apabila saat Kallo itu jatuh ke tanah dan posisi jatuhnya bagian bawah yang menghadap ke atas berarti menandakan bahwa yang si bayi nantinya berjenis kelamin laki-laki, begitu pula sebaliknya apabila posisi jatuhnya bagian atas yang menghadap ke atas maka itu berarti calon bayi saat dilahirkan berjenis kelamin perempuan, itulah kepercayaan masyarakat Jawa yang diyakini sampai saat ini.

Advertisement

Setelah prosesi melempar Kallo selesai, Kallo diambil dan dijadikan wadah hidangan yang sudah disediakan oleh tuan rumah, dan para hadirin yang datang kemudian makan bersama-sama dalam satu wadah tersebut, disinilah letak hubungan antar masyarakat tercipta, meskipun berasal dari berbagai kalangan dari yang muda hingga yang tua mereka dapat menjadi satu makan bersama di dalam satu wadah, hal ini menambah erat hubungan antar masyarakat supaya menjadi rukun, nyaman, dan tentram.

Tradisi kebrukan ini hampir mirip dengan tradisi tedhak siten dimana dalam tradisi tedhak siten biasanya tuan rumah melemparkan uang sebagai tanda rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas limpahan nikmat yang diberikan, begitu pula tradisi kebrukan ini perbedaannya ialah jika tradisi tedhak siten itu melempar uang dalam tradisi kebrukan ini biasanya tuan rumah/orang yang memiliki hajat melemparkan sebuah bola (bola bekel/bola tenis), siapa saja yang bisa menangkap bola tersebut akan mendapatkan hadiah dari tuan rumah/orang yang memiliki hajat. Dalam setiap lemparan biasanya memiliki hadiahnya masing-masing sebagai berikut:

Advertisement


Tahap pertama biasanya berhadiah uang Rp 10.000 dalam tahap ini bisa 5-10 kali lemparan.

Tahap kedua biasanya berhadiah uang Rp 15.000 dalam tahap ini bisa 5-10 kali lemparan.

Tahap ketiga biasanya berhadiah 1 ekor ayam dalam tahap ini merupakan tahap paling tinggi biasanya cuma 1 kali lemparan saja.


Namun, pada masa pandemi ini tradisi ini tidak dapat dilakukan dikarenakan tradisi ini mengumpulkan masyarakat dan itu dapat beresiko menimbulkan adanya kontak fisik dan beresiko menyebabkan penularan virus covid-19 dan adanya varian baru virus tersebut.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

CLOSE