Tragedi Mei 1998, Mencemaskan sekaligus Menakutkan

Kejadian yang mengubah Indonesia

Kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei tahun 1998 adalah sebuah tragedi yang berlangsung selama tiga hari, khususnya dari tanggal 13 sampai 14. Kejadian ini dipimpin oleh para mahasiswa yang merasa bahwa pemerintahan Indonesia tidak bersikap adil kepada masyarakat. Saat itu, jabatan sebagai presiden jatuh ke tangannya Soeharto. Banyak yang melawan perintahnya Soeharto karena dia bersikap terlalu keras dan masyarakat merasa keberatan dengan cara dia memimpin Indonesia.


Soeharto merupakan presiden Indonesia yang kedua dan salah satu yang mengesankan.


Sejak awal, presiden Soeharto menyatakan bahwa dia terima kritik dan saran dari masyarakat. Soeharto menjadi presiden yang mencolok dari semua calon lain karena ia berasal dari keluarga yang bertani untuk menghasilkan pendapatan. Sebagai presiden, dia harus bersikap keras dan tegas terhadap masyarakat. Orde lama telah lewat dan Soeharto menenkankan betapa pentingnya Indonesia harus dikembangkan. Alasan Soeharto menjadi presiden bukan dari pemilu, melainkan ada situasi yang mendesak dan menyebabkan jabatan tersebut untuk jatuh pada tanggung jawab Soeharto.

Masyarakat melihat Soeharto sebagai orang yang kurang disukai, karena sikapnya dia yang keras kepala. Dalam sisi lain, Soeharto hanya mencoba untuk mempertahankan pendiriannya agar tidak terpengaruh oleh pendapatnya orang lain. Hal ini menjadi semacam hambatan untuk bangsa Indonesia karena mereka kurang mempercayai kebijakan Soeharto.

Peserta-peserta yang mengikuti demo tersebut terdiri atas para mahasiswa yang memiliki semangat untuk menyuarakan pendapat mereka. Sayangnya ada empat mahasiswa yang berasal dari Trisakti meninggal karena ditembak pada tanggal 13 Mei. Kerusuhan 1998 semua dimulai di Universitas Trisakti yang berlokasi di Jakarta Barat. Lalu, pada hari kedua demo tersebut pindah ke Glodok dan terjadi perampokan. Ada beberapa yang berkata bahwa kerusuhan 1998 terjadi karena orang pribumi bersikap diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.

Setelah mewawancarai salah satu saksi kerusuhan 1998, Dewanto Windoe telah bersedia untuk berbagi tentang pengalamannya.


“Peristiwa kerusuhan Mei 1998 sangat mencemaskan bahkan menakutkan,” jawabnya saat saya menanyakan apa yang ia rasakan pada waktu kejadian.


Saat demonya terjadi, Dewanto sedang berada di tempat kerja yang berlokasi di Cileungsi, Cibubur. Ia memutuskan untuk menginap di tempat kerja, karena dia takut untuk melewati kerusuhan tersebut. Keesokan harinya, Dewanto menggunakan tol untuk menuju ke daerah Kuningan dan ia melihat sekumpulan tentara yang sedang mengawas. “Saya melihat beberapa mobil sudah terguling dan hangus terbakar,” ujarnya.

Ada beberapa pencetus yang mengakibatkan kerusuhan tersebut, saya bertanya kepada bapak Dewanto untuk mengetahui pendapatnya mengenai hal tersebut. “Kerusuhan dipicu oleh penembakan militer kepada demo mahasiswa beberapa hari sebelumnya, yang mengakibatkan tewasnya beberapa mahasiswa Universitas Trisakti,” katanya Dewanto. “Mahasiswa melakukan demo menuntut penurunan harga-harga barang kebutuhan pokok,” lanjutnya. Menurut Dewanto, kejadian tersebut disebabkan krisis moneter yang menjadi alasan harga barang-barang kebutuhan pokok melambung naik yang mengarah ke krisis politik. Demo mahasiswa berisi tuntutan bahwa mereka ingin presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya.

Selain itu, saya juga bertanya apa dampak dari kerusuhan Mei 1998 itu. Dewanto menjawab dengan “Dampaknya negatif karena banyak bangunan dibakar, terjadi penjarahan di berbagai toko, khususnya usaha yang dimiliki oleh kaum Tionghoa, dan yang paling parah adalah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia).” Namun, Dewanto juga berpikir bahwa kerusuhan tersebut telah berdampak positif karena perubahan kekuasaan mengakibatkan orde reformasi. Masyarakat diberikan kebebasan oleh pemerintah saat orde reformasi karena Indonesia menjadi negara yang demokratis, sedangkan sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik dan represif terhadap masyarakat.

Pertanyaan terakhir yang saya ajukan ke Dewanto adalah “Menurut anda, apakah kerusuhan itu diperlukan untuk mengembangkan Indonesia?” dan ia menjawab dengan pernyataan bahwa “Indonesia tidak memerlukan kerusuhan untuk merubah Indonesia pada saat ini, namun pada tahun 1998 memang tidak dapat dihindari karena tidak ada jalan lain.


Dewanto menambahkan dengan berkata “Indonesia sudah menjadi negara yang demokratis di mana kebebasan berpendapat dijamin konstitusi sehingga segala permasalahan bangsa dapat disampaikan dan dimusyawarahkan.


Salah satu tujuan kerusuhan tersebut adalah untuk menjatuhkan Soeharto dari posisinya sebagai presiden. Bangsa Indonesia terbelah karena ada beberapa yang mendukung presiden Soeharto karena keberhasilannya dalam meningkatkan kondisi finansial Indonesia, sedangkan ada lainnya yang tidak setuju dengan peraturan yang dia tetapkan.

Pada saat itu ekonomi Indonesia sedang menurun maka dari itu masyarakat mulai meragukan kepemimpinan presiden Soeharto. Kondisi Indonesia saat itu tidak stabil karena Soeharto tidak memperhatikan masalah-masalah yang ada. Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 telah menjadi kesempatan baru agar Indonesia dapat mengembangkan konstitusi yang bersifat lebih demokratis dan sesuai dengan penduduknya. Pemerintahan Indonesia juga menjadi lebih fleksibel dan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berpendapat.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis