Tuhan Memang Satu, Kita yang Tak Sama

Petir yang menggelegar di luar sana membuatku melepas genggamanku pada cangkir ketiga kopi pahitku malam ini. Cangkir putih susu itu terjun bebas dan langsung terpecah belah di lantai ruang kerjaku, lengkap dengan kopi pahitku yang baru dua kali ku teguk.

Kenangan itu menghantam benakku kembali ketika aku memandang cangkirku yang berserakan. Ternyata kita sesederhana itu, sesederhana cangkir dan kopi pahit itu. Aku cangkirnya dan kamu kopi pahitnya. Kita paradoks, terlihat begitu berbeda. Aku putih, kamu hitam. Tapi, meski pun hitam kelam warnamu, pahit pekat rasamu, kamu akan selalu jadi canduku.

Tapi, kita juga serumit itu, serumit pemilik cangkir yang menghempaskan cangkirnya hingga terpecah-belah. Iya, kita seperti itu. Pemilik pribadi kita berdua-yang kita sebut dengan panggilan Tuhan-sedang menghempaskan kita hingga hancur berkeping-keping.

Tuhan memang satu, kita yang berbeda. Kita sama-sama beribadah pada-Nya, namun dengan cara yang sedikit berbeda. Kamu di sana berlutut menghadap kiblat sambil menggenggam tasbih. Sedangkan aku di sini mengakui imanku dengan lantang melalui Pengakuan Iman Rasuli. Namun, pemilik dan pencipta kita satu, kan? Apa Dia yang penuh dengan cinta sedang mempermainkan kita? Aku tertawa miris, merutuki diriku sendiri.


Cinta memisahkan cinta? Bagaimana bisa?


Namun, sekali lagi aku terenyuh melihat dua cangkir kosong di meja kerjaku. Cangkir itu juga milikku, sama seperti cangkir yang berserakan di hadapanku. Aku sadar; aku bisa saja melempar cangkir itu juga hingga pecah berserakan. Inilah kehidupanku dan kehidupanmu, sebagai milik-Nya.

Apalah hak kita sebagai milik-Nya? Pada akhirnya, Dia yang menentukan jalan hidup kita. Mungkin menurut-Nya, cangkir putih tak begitu cocok dengan kopi pahit berwarna hitam kelam. Cangkir putih mungkin lebih cocok diisi dengan teh manis pelengkap cemilan sore. Mungkin menurut-Nya, kopi pahit lebih cocok mengisi gelas beling atau cangkir yang lebih kecil seperti espresso.

Aku menghela nafas dan berjongkok sambil mengambil satu persatu pecahan cangkirku. Aku mendesis, jariku tergores. Cairan kental berwarna merah menerobos keluar dari jari telunjukku. Sakit, tentu saja. Jikalau begitu, apa pemilikku pernah tersakiti oleh perlakuan sesuatu milik-Nya? Aku terdiam.

Hatiku masih saja berdentam menginginkanmu kembali. Tapi, apa daya? Aku dan kamu, hanya sebagian kecil dari milik-Nya. Setidaknya kita pernah saling melengkapi, walau hanya sebentar. Oleh karena itu, mari kita saling berbahagia.

Selamat tinggal, kasihku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Law Student.