Tulisan Anak Perempuan Pertama, yang Belum Ingin Menyerah dan Merasa Kalah

tulisan anak pertama

Saat umur 3 tahun, aku lupa kenapa tapi sampai sekarang aku masih ingat bayangan itu. Aku dipukul pakai sisir sama bapak. Aku itu penakut, tapi sering dihukum, dikurung di tempat gelap. Rasanya sesak. Sering kali kena sisir, tali pinggang, bahkan dicubit sampe biru gara-gara hal hal yang sepele.

Advertisement


Itu yang membuatku takut berbuat salah, dituntut untuk selalu sempurna.


Selama sekolah SD sampai SMP, buku selalu diperiksa. Kalau tulisan jelek, aku bakal dibilang bodoh dan kata-kata yang lebih keras lagi. Lalu  kalau ada nilai di bawah 6, pasti bakal kena pukul. Itu kenapa aku sering bohong dengan sengaja melempar buku ke bawah tempat tidur. Selalu saja dituntut buat dewasa, bahkan sedari SD. Capek sekaligus muak dengan kalimat yang harus kudengar tidak sesuai umur. Membentuk semacam perasaan takut buat nikah. Sungguh, capek! 


Lelah disuruh dewasa sebelum waktunya. Capek dengan semua tuntutan untuk sempurna biar bikin orang tua bahagia. Sedangkan mereka belum mampu sempurna untuk jadi orang tua. Adilkah?


Advertisement

Aku dituntut untuk selalu sopan, bicara santun dan penuh kelembutan. Tapi, mereka tak segan mengatakan kata-kata buruk dalam memberi nasihat. Tak jarang nama-nama hewan yang tak seharusnya keluar sampai semua kata makian yang tak pernah mampu diterima oleh logikaku, kuterima. Bahkan masih kuingat, tanpa rasa bersalah beberapa kali aku dikatai sebagai–maaf– pelacur.

Selalu aja dibilang tidak tahu malu, tidak tahu diri. Padahal jujur dari lubuk hati paling dalam, aku tidak pernah minta posisi ini. Aku tidak minta dilahirkan sama sekali! Orientasi keberhasilan cuma tentang uang, tapi apa yang aku perjuangkan tidak pernah dihargai sama sekali. Luka ini makin perih, makin menyiksa dan memeluk guratan pedihnya sendiri. Aku juga jadi korban bully di sekolah. Entah itu fisik atau mental. Aku tak pernah cerita karena aku tahu nggak bakal dibela. Mereka nggak akan pernah tahu kalau aku merasa semakin nggak nyaman.

Advertisement

Bahkan nggak ada yang tahu kalau aku juga pernah hampir mengalami pelecehan. Lelah, ketika setiap hal yang aku usahakan tak pernah dihargai. Kuliah nggak didukung keluarga, bahkan diancam nikah paksa. Tapi, ketika namaku lulus bidikmisi, uangnya selalu diminta buat berbagi. Nangis? Udah capek banget. Bahkan pernah beberapa kali mikir buat mengakhiri semua ini. 

Bukan, bukan aku yang pendendam. Tapi mereka yang selalu menyulut gores luka itu untuk kembali terbuka. Menyibak semua deritaku yang selalu dihardik nestapa.


Aku bukannya tidak pernah berusaha memaafkan.

Namun terlalu banyak yang kupendam sendirian, tak pernah tahu sesakit apa aku bertahan.


Aku tak pernah meminta lahir dari keluarga ini. Namun aku bisa apa? Semesta yang menentukan takdirku dan aku harus menjalaninya.Tapi, di sisi sadarku. Aku selalu berusaha untuk jadi yang terbaik. Ya menjadi yang terbaik menurut versi dan kemampuanku. Sejak SMA, aku mulai mengerti tentang aurat. Hingga sampai ditujuan menjadi soleha. Kukira, menutup diri dan menjaga pergaulan dari laki-laki serta membantu keduanya menghadapi hisab nanti bisa membuatku dibanggakan. Tapi salah…

Hardikan dan bentakan masih tetap terdengar. Tak jarang melecehkan lembaran kain yang tak punya suara. Namun tetap kupertahankan, setidaknya aku tak ingin lagi dikatakan tak tau diri jika menyeret mereka keneraka hanya karena ulahku. Walau, kadang ada pertanyaan…


"Ayah, ibu… Senangkah kalian bila aku bergumul dengan dosa asal bisa memberikan bahagia yang kalian inginkan?"

"Aku lelah. Miris pada setiap tatap dan lisan yang menguatkan dan memuja tapi sayang bukan dari kalian yang harusnya berada digarda terdepan…"


Aku tidak mengerti, bahagia seperti apa yang orang tua inginkan dari anaknya. Apakah selama ini mereka belum bahagia, hingga melimpahkan beban pada makhluk yang bergelar "anak"? Aku selalu berpikir bagaimana caranya bisa lepas dan bebas. Bahkan berkali kali niat konsultasi pada psikolog dan psikiater. Bahkan ada beberapa sakit yang hanya kusimpan sendiri. Takut jika hanya membuat semakin sulit. Aku paham, banyak yang tidak akan mengerti. Sebagian simpati, namun sebagian lain pun seolah tak ingin kalah menyalahkan. Aku sudah menyerah memendam sendiri, menjadikan bantal atau sajadah sebagai tempat protes terhadap takdir yang diberikan-Nya.

Ya, aku tahu. Kita dilahirkan pada zaman berbeda. Mungkin dulu pukulan, bentakan, cacian, makian dan hardikan adalah bentuk dari kasih sayang. Tapi, sayangnya hatiku tak pernah kuat dan mampu bersikap baik-baik saja setelahnya. 

Ya benar, kita sama. Tapi ayah, ibu…

Aku tak memiliki mental yang seperti itu. Aku rapuh! Bahkan telah patah dan hancur berkali-kali.

Sekarang aku mulai bangkit, menyayangi diriku sendiri. Kukumpulkan lagi pecahan-pecahan kekuatan. Dan kutata lagi setiap memori yang indah saja. Tapi, rasa sakitku tak pernah hilang. Selalu memeluk saat lagi lagi bentakan kalian menghancurkannya. Aku kacau…

Aku belum ingin menyerah, aku tidak ingin kalah. Cukup semua rantai pendidikan yang keras ini. Tak akan ku teruskan rantai didikan ini pada anak anakku kelak. Tapi, kini pun aku takut gagal menjadi orang tua yang baik kelak nanti.

Bagaimana?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE