[CERPEN] Untukmu yang Sempat Menjadi Rinduku, Selamat Wisuda.

Meski Akhirnya Pilihanmu Bukanlah Aku. Tetap ingin ku ucapkan padamu, selamat wisuda.

Menjelang tahun terakhir perkuliahan, membuat Aran semakin menyibukkan diri dengan berbagai persiapan. Terutama soal persiapan sidang akhir. Berkas-berkas untuk mengajukan sidang untuk skripsinya sudah dia kumpulkan kebagian tata usaha jurusannya. Saat dia sibuk menata dokumen di luar ruang tata usaha, seseorang menyapanya.

Advertisement

“Sudah selesai semua berkasmu, Ran?” tanya Ana. Perempuan yang menempati tempat istimewa dalam hati Aran.

“Eh, iya sudah semua. Baru saja aku cek ulang.” Sambil membolak-balik kembali dokumen dipangkuannya.

“Kamu sudah daftar?” Aran bertanya pada Ana yang rupanya tengah sibuk dengan laptopnya.

Advertisement

“Sudah, baru saja tadi. Tinggal menunggu kabar dari pak Yanis.” Jawab Ana.

“Aku daftar dulu kalau begitu. Thanks ya.” Aran lalu membereskan semua berkas-berkas lalu bersiap untuk menemui pak Yanis.

Advertisement

“Iya, aku juga balik dulu. Semoga sukses, Aran.” Ana kemudian pamit dan bergegas pergi.

“Iya kamu juga.” jawaban terakhir Aran sebelum akhirnya dia menuju pintu ruangan jurusanku. 

Ana adalah teman satu kelas Aran yang juga saat ini tengah sibuk dengan sidang akhir. Sekarang tinggal menunggu kabar dari pak Yanis tentang jadwal sidang.

Aran berharap secepatnya menerima kabar tentang jadwal sidang tersebut. Keesokan harinya, dia mendapati pesan singkat dari pak Yanis.

“Selamat siang, berikut ini jadwal sidang skripsi untuk saudara Aran Jayandra. Jumat, 21 April 2017. Jam 10.00. Dimohon untuk datang 30 menit sebelum sidang. Terima kasih.”

Yang Aran lakukan setelah mendapat pesan singkat tersebut adalah menghubungi Ana.

“Ana, dapat kabar dari pak Yanis? Tentang jadwal sidang.”

“Sudah, hari Jum’at jam 8 pagi. Kamu?”

“Sama, aku juga Jum’at tapi jam 10.”

“Oh, oke. Sampai ketemu waktu sidang.”

Aran bukannya tidak gugup menghadapi sidang akhir yang kurang dari tiga hari lagi. Perasaannya sungguh bercampur aduk dari rasa bahagia, cemas dan juga pasrah. Dia telah mencapai tahap ini dengan usaha maksimalnya. Apa pun hasilnya nanti, dia akan tetap menerimanya. Kalau bukan dia yang menghargai usahanya sendiri lalu siapa lagi?

***

Akhirnya, hari wisuda itu tiba. Beberapa menit lagi para mahasiwa yang telah berbaris rapi di luar gedung lengkap dengan toga mereka akan bersiap memasuki gedung. Aran dan Ana wisuda di hari yang sama. Tidak perlu diperjelas kembali bahwa hari tersebut adalah hari yang spesial bagi Aran. Begitu pun tentang Ana. Semenjak awal masa kuliah, Aran telah menyukai Ana.

Acara wisuda sudah memasuki tahap akhir. Setelah diizinkan untuk meninggalkan ruangan, para sarjana-sarjana ini terlihat berbaris, berucap syukur dalam hati dengan perasaan haru kemudian perlahan keluar meninggalkan gedung.

Setelah Aran selesai menemui teman-temannya, dia langsung mencari Ana untuk memeberi ucapan selamat. Namun setelah berhasil mengetahui dimana Ana, niat tersebut dia urungkan.

Aran berusaha menghindari kerumunan wisudawan beserta penjemputnya yang memenuhi area sekitar. Dia lalu duduk di taman tidak jauh dari tempat wisuda. Meletakkan toga yang dikenakannya di atas meja beton kecil dihadapannya. Esti, salah seorang teman yang selalu berada antara Aran dan Ana datang menghampiri Aran.

“Sorry, Ran. Tapi memang itu kenyataannya.” Esti dengan terpaksa menceritakan segalanya mengenai pertunangan Ana pada Aran yang beberapa menit lalu bercerita panjang lebar soal Ana. Mungkin akan menyakitkan bagi Aran tetapi menurut Esti ini yang bisa dia lakukan sebagai seorang teman.

“Iya, dia berhak memilih apa yang terbaik untuknya. Thanks Esti, udah mau jelasin semuanya.” Ucap Aran yang masih mengenakan pakian hitam khas wisudawan dan sepertinya dia tidak peduli lagi ini hari wisudanya.

Dugaan Aran tidak salah. Pria sebaya yang dia lihat bersama Ana selepas keluar dari gedung acara wisuda adalah tunangan Ana. Esti sudah menjelaskannya kepada Aran. Akhirnya saat itu, Aran memutuskan tidak menemui Ana meski hanya untuk sekedar mengucapkan selamat wisuda.

***

Ana tengah berkumpul dengan keluarga besarnya lengkap dengan keluarga dari tunangannya. Setelah menemui Aran, Esti lalu menuju ketempat Ana.

“Selamat wisuda ya Ana.” Esti menghampiri Ana yang terlihat akrab bersama keluarganya.

“Terima kasih Esti. Kamu ketemu teman-teman yang lainnya?” tanya Ana yang saat itu masih mengenakan kebaya merah muda dengan riasan yang masih melekat pada wajahnya.

“Iya Na, kenapa memang?”

“Kamu ketemu Aran?” tanya Ana. Pertanyaan tersebut seakan menandakan bahwa Aran dan Ana setidaknya pernah memiliki kenangan istimewa.

“Oh dia, kayaknya tadi buru-buru pergi. Mungkin dia segera ingin menemui orang tuanya.” Jawab Esti seperti yang diingkan Aran. Tidak mungkin Esti menjelaskan yang sebenarnya kepada Ana bahwa Aran tidak bisa menemui Ana.

“Hmm begitu ya.” ucap Ana diikuti raut muka yang terlihat samar-samar sedikit menunjukkan kekecewaan. Kemudian dia menoleh kearah keluarga besarnya yang sedang berkumpul. Ana sadar bahwa tidak mungkin Aran mau menemuinya dengan suasana seperti ini. Aran bukan orang yang pengecut. Ana tahu itu. Aran hanya tidak ingin memaksakan perasaannya. Jika memang Ana memutuskan memilih orang lain, Aran tentu harus bisa menerimanya.

“Iya, kalau begitu aku pamit duluan ya. Rencana kapan nih?” Esti kemudian mengalihkan topik pembicaraan setelah melihat raut wajah Ana yang berubah.

“Doain aja yang terbaik ya, Esti.” Jawab Ana sambil tersenyum kepada Esti.

“Sorry Ana, aku masih belum menceritakan semuanya pada Aran. Mungkin hari ini bukan saat yang tepat. Aku takut dia tidak bisa memahaminya.” saat bertemu dengan Aran, sebenarnya Esti ingin menceritakan lengkap hingga alasan Ana menerima pertunangan tersebut. Namun Esti masih ragu dan akhirnya memutuskan untuk lain kali saja menjelaskan secara lengkap pada Aran ketika waktunya sudah tepat.

“Aku titip soal itu saja ya, Esti. Aku juga tidak sanggup menceritakan semuanya bahkan bertemu dengan Aran pun juga tidak.” Permohonan Ana memang tidak sanggup untuk Esti tolak. Esti adalah sahabat Ana yang paling bisa diandalkan. Bahkan saat kuliah, dimana ada Ana disitu pasti ada Esti.

“Iya aku tahu.” Esti kemudian memeluk erat sahabatnya tersebut untuk mencegahnya mengeluarkan air mata. Tapi mungkin sedikit sia-sia. Air mata tetap jatuh meskipun tidak terlalu deras.

***

Pertunangan Ana bukan tanpa sebab. Pada bulan Mei tahun 2016 sekitar satu tahun sebelum Ana wisuda, ibu Ana masuk rumah sakit. Keadaannya cukup parah dan harus dilakukan operasi kata dokter.

“Kalau tidak segera dioperasi, keadaan Ibu akan semakin parah.” Ayah Ana duduk di ruang tengah rumah dan mulai berbicara tentang keadaan istrinya.  

“Ibu perlu pendonor ginjal, Ana.” Masih dalam keadaan kacau, ayah Ana mencoba menjelaskan keadaan dengan tenang.

Hening seketika menyelimuti percakapan antara Ana sebagai anak sulung dengan Ayahnya. Belum ada yang berani berbicara setelah beberapa saat. Hingga akhirnya Ana dengan sedikit terisak akhirnya mulai berbicara.

“Biar Ana saja yang medonorkan ginjal untuk Ibu.”

“Tidak, Ayah tahu apa yang tidak diinginkan oleh ibu. Membuat anaknya berkorban untuknya. Ayah sudah memeriksakan kecocokan ginjal ayah dengan ibu, namun kata dokter hasilnya nihil. Maafkan ayah.” Air matanya pun jatuh juga setelah terpaksa dia tahan agar terlihat kuat di mata anak sulungnya.

“Tapi ayah tentu tahu keadaan ibu saat ini? Ana tidak mau kehilangan Ibu. Ana mau melakukan apapun asalkan ibu bisa sembuh.”

“Ayah akan mencari jalan lain. Kata dokter batas untuk mencari ginjal untuk ibu adalah dua bulan. Dan masalah lainnya adalah ginjal tersebut harus cocok.”

“Apa yang akan ayah lakukan?” tanya Ana sambil terisak.

Tiba-tiba, dering telepon ayah Ana berbunyi. Nomor yang tertera di layar adalah nomor rumah sakit tempat ibu Ana dirawat.

“Halo, dengan bapak Suryadi?”

“Iya, dengan saya sendiri.”

“Saya Lia, bagian administrasi rumah sakit mau memberitahukan bapak bahwa ada pendonor yang mau mendonorkan ginjal kepada ibu Suryadi.”

Pendonor ginjal untuk ibu Ana tidak lain adalah Lian, tunangan Ana. Lian bercerita kepada Ana bahwa dia sudah menganggap ibu Ana seperti ibunya sendiri. Lian mengaku bahwa kehilangan ibu kandungnya yang meninggal karena sakit kanker saat dia masih kelas satu sekolah menegah pertama. Ibu Ana sering berjualan nasi disekitar kantor Lian. Sosok ibu dari Ana ini yang ramah dan baik mengingatkan Lian kepada ibunya yang sudah tiada.

Setiap hari Ana datang ke rumah sakit untuk menjenguk dan merawat Ibunya. Dia juga tidak lupa untuk memeriksa keadaan Lian. Ana dan Lian kemudian semakin akrab satu sama lain. Lian berkali-kali meyakinkan Ana bahwa dia tidak mengharapkan apapun dan ikhlas untuk hidup dengan satu ginjal demi ibu Ana.

“Ana, dari mana? Bagaimana bimbingan skripsinya hari ini?.” tanya ibu Ana yang masih dalam masa pemulihan setelah operasi.

“Lancar bu, Ana baru saja menjenguk Lian.”

“Ana, ibu mau membicarakan sesuatu denganmu nak.”

“Ada apa bu?”

“Soal Lian, ibu ingin kamu bisa merawat Lian.”

“Merawat Lian?” Ana sedikit terkejut tentang maksud ibunya tentang merawat Lian.

“Maksud ibu, merawat Lian dan menjadi istrinya. Ibu ingin membalas budi nak Lian.”

“Ana mengerti apa yang ibu inginkan tapi, apa Lian setuju?”

“Sebenarnya, semenjak Lian kenal denganmu. Dia selalu bersemangat bercerita tentang kamu kepada ibu meskipun harus bejalan menggunakan kursi roda untuk sampai ke kamar ini.”

“Benarkah?” Ana terkejut mendengar cerita ibunya.

“Lian itu baik nak. Dia benar-benar ikhlas membantu ibu. Ketika ibu singgung dengan guraun untuk menikahimu. Dia hanya tersenyum dan salah tingkah.”

“Ana masih belum memikirkan soal pernikahan bu.”

“Tapi misalkan suatu saat Lian datang pada ibu dan ayah untuk melamarmu. Apakah kamu mau?” pertanyaan terakhir tersebut langsung membuat Ana seakan tidak bisa bernapas untuk sesaat karena saking kagetnya. Akhirnya Ana memilih untuk tidak menjawab pertanyaan terakhir tersebut. Meskipun jawabannya hanya iya dan tidak, namun sejujurnya Ana pun tahu. Pertanyaan terakhir tersebut sungguh berat untuk dijawab.

Sepulang dari rumah sakit, Ana terus memikirkan pertanyaan terakhir ibunya tadi. Dia teringat waktu terlibat pembicaraan dengan ayahnya di ruang tengah.

“Ana mau melakukan apapun asalkan ibu bisa sembuh.”

Ucapan tersebut akhirnya mendorong Ana untuk membulatkan tekad. Dia akan memegang kata-katanya. Apapun yang akan terjadi.

***

“Sesulit inikah melupakannya?”

“Harus sesesak inikah?”

Sudah hampir tiga tahun setelah Aran memutuskan untuk menghindar dari Ana. Namun baginya, melupakan segala tentang Ana itu sungguh sulit. Masa lalu membuat Aran tidak sanggup untuk menyatakan cinta secara terus terang kepada Ana. Akhirnya? Aran memutuskan untuk jatuh cinta diam-diam.

Semua terlihat berjalan lancar pada awalnya. Tapi akhirnya?

“Ini pilihanku, mau tidak mau aku harus menghadapinya.”

Meski sesungguhnya menyesali sesuatu yang tidak sesuai harapan adalah sesuatu yang wajar. Namun Aran bersikeras bahwa dia tidak ingin menyesali apa pun yang terjadi terkait Ana. Dia telah berjanji sejak awal dia memilih menjalani hubungan tanpa status.

“Kak, besok shift pagi?” suara Erisa menyadarkan Aran dari lamunan.

“Iya, ada apa?” Aran tidak menyadari bahwa Erisa telah memperhatikannya beberapa saat yang lalu.

“Enggak ada apa-apa kok kak, ya sudah aku pulang dulu ya.” pamit Erisa kepada Aran.

“Oh iya, hati-hati ya.” Aran kemudian baru menyadari bahwa ternyata sudah pukul empat sore, waktunya pergantian shift kerja.

Pekerjaan bisa menjadi pelarian bagi seseorang. Aran pun mencoba untuk fokus mencari cara untuk menghapus perasaanya pada Ana dengan mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan yang saat ini dia lakukan.

Namun tidak bisa dipungkiri satu hal. Seperti kebanyakan keadaan hati yang rasa cintanya bertepuk sebelah tangan. Hati tersebut terkunci dan tertutup atas kehendak Aran. Entah sampai kapan dia terus seperti ini.

***

“Kak Aran, suka novel Sherlock Holmes?” Erisa muncul tiba-tiba dengan komik detektif conan digenggamannya. Kemudian menghampiri Aran yang terlihat sedang membaca sebuah novel.

“Oh ini, baru baca yang seri ini. Ceritanya menarik, mumpung pelanggan juga masih sepi jam segini.” Rupanya Erisa sangat tertarik dengan kisah-kisah detektif, begitu pikir Aran.

“Bagus lho kak Sherlock Holmes ceritanya. Filmnya juga oke banget.” Ucap Erisa dengan penuh semangat.

“Aku sempat nonton yang tokoh utamanya itu pemeran Doctor Strange. Yang nonton temenku sih waktu di kos. Dia penggemar berat Sherlock Holmes juga.” Aran berusaha mencari topik yang sesuai untuk merespon Ana.

Percakapan mereka terhenti ketika seorang pelanggan kafe yang datang.

“Mas, toppingya ada apa aja?” tanya pelanggan tersebut.

“Hari ini kita ada katsu, telur dan nugget.” Jawab Aran.

“Oke toppingnya katsu aja. Minya jangan pakek sambal ya mas.” Pelanggan tersebut lalu memasukkan uang lima belas ribu rupiah kedalam mesin otomatis. Menekan nomor mi yang diinginkan lalu menunggu sebentar. Ketika bagian bawah mesin berupa persegi pangjang terbuka, mi instan tersebut siap diambil untuk selanjutnya dimasak oleh Aran.

“Oke, ditunggu ya. Terima kasih.” Aran segera menyiapkan pesanan pelanggan dengan tersebut.

“Aku kembali dulu ya kak, terima kasih.” Erisa kembali sambil membawa teh hangat ke studio foto yang berada tepat di depan kafe tempat Aran bekerja. Studio foto dan kafe tersebut memang dimiliki oleh orang yang sama. Sehingga pegawai dari kedua tempat tersebut memang akrab satu sama lain.

Erisa, dia adalah orang yang terkadang memberi perhatian-perhatian kecil pada Aran. Berbagi makanan ringan salah satunya. Aran mencoba berpikir bahwa ini hal yang biasa dilakukan oleh Erisa. Begitulah yang dipikirkan Aran.

***

Aran berusaha keras menyembunyikan ekspresi terkejutnya dari Erisa. Seumur hidup baru kali ini dia diberikan sesuatu di hari valentine. Meskipun hanya permen, coklat dan susu, hal tersebut tetap istimewa.

“Hai, kak. Kupikir kemarin kaka ada jadwal shift. Maaf ini telat. Met valentine. Dari aku…” ucapan Erisa seperti sedikit tertahan. Seakan menyembunyikan sesuatu.

“Valentine? Eh…? Thanks ya. ”

“Eh… Maksudku dari kami bertiga. Hehe… tanggalnya kelewat.” Bertiga yang dimaksud Erisa adalah dua orang temannya yang selalu menemaninya.

“Oh, thanks banget Erisa dan kalian juga.”

Momen yang cukup spesial tersebut hampir menyentuh benteng hati Aran. Meski begitu lagi-lagi Aran menyadarkan dirinya bahwa memang ini sebuah hal yang normal bagi Erisa untuk berbagi di hari valentine. Karena tidak hanya Aran, teman kerjanya yang lain juga mendapatkannya. Mungkin karena kasih sayang itu universal.

***

Pada setiap pertemuan akan selalu dibayangi oleh perpisahan. Manusia selalu mengikuti arus waktunya masing-masing. Aran pun harus menghadapi kenyataan bahwa Erisa sudah tidak menjadi rekan kerjanya kembali. Erisa harus mengikuti keinginan ayahnya untuk mengelola bisnis keluarga.

Namun satu hal yang tidak bisa Aran tampik tentang Erisa. Berbicara dengan Erisa membuat Aran perlahan mengaburkan segala bentuk kenangan dan harapan cintanya pada Ana. Tapi sekarang Erisa tidak menjadi rekan kerjanya lagi.

Esti akhirnya menceritakan segalanya dengan lengkap kepada Aran. Akhinya Aran mengetahui segalanya tentang Ana yang tidak dia ketahui. Kenangan-kenangan tentang Ana memang tidak berniat untuk Aran lupakan. Namun kali ini telah tiba waktunya, untuk kenangan tersebut tersimpan dan terkunci rapat-rapat dalam hatinya.

Manusia tidak pernah tahu pilihan-pilihan ataupun keputusan-keputusan yang mereka ambil akan menuntun mereka kepada masa depan yang seperti apa. Pilihan yang paling bijak adalah menghadapi pilihan itu dan tidak menyesalinya berlarut-larut

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE