Harmonisme Pendakian Gunung, Dulu dan Kini

Sesuai dengan judul yang ku usung, "Dulu dan Kini" dalam dunia pendakian di Indonesia yang telah melewati berbagai dinamika tahun demi tahun yang berganti. Semangat yang begitu berkobar milik muda-mudi dari Sabang sampai Merauke untuk menjelajah lembah-lembah sunyi dan ketinggian yang menyuguhkan kedamaian. Di dukung dengan semakin berkembangnya zaman yang menahkodai masuknya berbagai teknologi baru ke dunia perhubungan Indonesia yang membuat siapapun dengan mudah mengakses berita apapun yang di inginkan, selain karena faktor kemajuan teknologi ada satu hal lagi yang sangat mempengaruhi yakni berkembangnya brand-brand outdoor yang menyediakan equipment dengan berbagai model yang masing-masing brand saling bersaing untuk dapat menarik konsumen sebanyak-banyaknya.

Kembali ke topik utama tentang perbedaan antara dulu dan kini dalam dunia pendakian di Indonesia. Berdasarkan cerita dari beberapa orang yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia kepetualangan terkhusus pendakian gunung, banyak dari mereka yang mengutarakan bahwasanya jelas sekali perbedaan yang terasa, salah satunya adalah budaya saling menyapa dan menawarkan makanan ataupun minuman. Dulu, tepatnya tahun 2010 ke bawah gunung-gunung di Indonesia masih begitu sepi mengingat belum memadainya fasilitas untuk berkomunikasi yang mudah dan belum meratanya penyebaran toko-toko yang menyediakan peralatan untuk berpetualang. Rata-rata mereka yang datang ke gunung adalah warga lokal dan orang-orang yang memang secara khusus mengikuti organisasi pecinta alam tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA),Universitas, dan komunitas tertentu yang bergerak di bidang kepecintalaman.

Di sini kita bisa melihat bahwasanya selain beberapa faktor yang telah tertera di atas, ada beberapa hal lain yang turut menjadikan ramainya gunung-gunung di Indonesia, terkhusus di Pulau Jawa. Gunung yang sebelumnya banyak di manfaatkan warga lokal untuk mencari rumput yang di peruntukkan menjadi pakan ternak ataupun mengambil air untuk dikonsumsi sebagai kehidupan sehari-hari, kini gunung bisa dibilang sebagai tempat pelarian orang-orang kota yang lelah akan riuhnya kesibukan di kota, terlebih suasana desa di pegunungan memang nyatanya lebih menenteramkan daripada dunia perkotaan yang kesehariannya diisi dengan kemacetan, polusi, dan berita-berita yang tak menyenangkan.

Tapi, perkembangan zaman tak lagi bisa di hindarkan. Semenjak munculnya sosial media yang memudahkan setiap orang mengunggah fotonya di berbagai tempat yang telah dikunjunginya dengan segala macam keindahan panoramanya. Dari sana timbul lah minat orang yang melihat foto untuk mengunjungi lokasinya, berfoto di tempat yang sama dan diunggah lagi ke sosial media, kebanyakan orang-orang bertingkah seperti itu. Namun, segala sesuatu memang selalu ada baik-buruknya. Tak semua orang berlaku seperti itu, pasti masih ada sebagian orang yang masih mempedulikan kelestarian alam yang di kunjunginya dengan cara tidak mudah mengeekspos fotonya di lokasi wisata ke sosial media. Harmonisasi diperlukan di sini, banyaknya pengunjung berarti semakin banyak pula perubahan yang akan terjadi di sebuah gunung. Gunung-gunung memiliki karakteristik dan kearifan lokalnya masing-masing, semua pasti mempunyai sejarah bagaimana gunung-gunung tersebut di beri nama, memiliki bentuk tertentu dengan vegetasi tumbuhan-tumbuhan tertentu serta binatang-binatang tertentu.

Yang berlalu memang harus berlalu, permasalahan yang terjadi kini adalah tingginya dampak buruk dari pada dampak baik terhadap ekosistem di sekitar gunung, terutama didukung karena faktor sampah yang akan berkaitan dengan pengelolaan kawasan gunung tersebut. Terlepas dari beberapa hal di atas yang sedikit melenceng dengan judul, kini menurutku pribadi sebuah kejadian ataupun dinamika sosial yang terjadi akan tetap baik-baik saja apabila terjalinnya harmonisasi dari semua pihak, meskipun dibilang sulit, tapi tidak ada salahnya kita semua saling menyadari bahwasannya alam adalah sumber kehidupan, gunung-gunung adalah tempat dimana berbagai macam flora dan fauna hidup di dalamnya. Kembali lagi ketujuan mendaki dari masing-masing pribadi, jikalau untuk mendewasakan diri tetaplah membumi dan memahami kehidupan sosial masyarakat serta adat istiadat dari masing-masing daerah yang di kunjungi.

Semoga ramah-tamah, saling membantu dan melengkapi terjalin lagi kala para pendaki bertemu.

Salam Lestari!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang anak yang terdampar di belantara kehidupan sejak 19 Oktober 1997