Lomba 17 Agustus-an (Bukan) Simbol Nasionalisme.

Sangat disayangkan melihat banyaknya anak kecil yang hanya bernafsu untuk mendapatkan embel-embel jawara komplek

Dari sekian banyaknya hari besar di Indonesia, mungkin ini salah satu hari dimana seluruh insan di negeri ini dengan suka cita berpesta merayakannya. Satu hari paling bersejarah di Nusantara di mana 73 tahun yang lalu, Ir. Soekarno di hadapan sebagian warganya membacakan selembar teks ucapan ‘selamat tinggal’ dari belenggu penjajahan. Berbagai reaksi datang dari seluruh penjuru nusantara, dan semua berbaur dalam satu rasa suka cita.

Sejarawan dan budayawan, JJ Rizal pernah mengatakan bahwa pada medio tahun 50an muncul sebuah tradisi tahunan yang digelar di setiap daerah. Setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat tumpah ruah merayakan hari jadi kemerdekaan dengan berbagai parade lomba, yang sudah lumrah kita sebut "Lomba Agustus-an".

Mungkin, pada awalnya tradisi ini hanya menyediakan lomba seperti memakan kerupuk, panjat pinang, atau balap karung. Tetapi, karena memang orang Indonesia pada dasarnya kreatif, kini sudah banyak lomba-lomba baru yang dibuat untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Sebut saja kini ada lomba pensil botol, joget balon, kursi juara, atau bahkan menangkap seekor belut yang biasanya dilakukan di pesawahan tersedia di daftar perlombaan.

Mari kita lupakan sejenak untuk menyebutkan lomba-lomba yang diadakan tiap tahunnya, apalagi setiap daerah bisa memiliki macam lomba yang berbeda. Namun, ada yang menjadi poin utama dalam tulisan ini. Di samping kesenangan yang didapat dari perayaan tahunan tersebut, bila diperhatikan berbagai lomba Agustus-an yang terlihat simpel nan sederhana ini ternyata menyimpan filosofi yang dapat membangun semangat nasionalisme.

Nasionalisme, yang menurut situs Wikipedia merupakan paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara, juga rasa ingin mempertahankan negaranya baik internal maupun eksternal. Singkatnya, bila diimplikasikan pada generasi muda, nasionalisme adalah rasa dan semangat berbangsa yang kuat serta adanya kebangaan beridentitas Indonesia.

Jika dikaitkan lebih dalam lagi, maka lomba-lomba Agustus-an ini sangat erat kaitannya dengan simbol nasionalisme. Lomba makan kerupuk misalnya, menyimbolkan masyarakat yang walaupun sandang, pangan, dan papannya dijarah kaum penjajah tapi tetap memiliki semangat untuk menggapai kembali hak mereka.

Juga lomba balap karung yang menyimbolkan filosofi pantang menyerah; sesulit apapun keadaan yang dialami. Tak ketinggalan, lomba panjat pinang yang menyimbolkan persatuan dan gotong royong dalam mencapai cita-cita bangsa. Sebagai alumni peserta lomba 17 Agustus-an dan pemegang rekor juara lomba makan kerupuk tiga tahun berturut-turut, saya tentu merasakan betul bagaimana atmosfer yang dapat dirasakan saat mengikuti lomba demi lomba yang diselenggarakan panitia tarka komplek saat itu.

Namun, apa yang saya rasakan dan tak menutup kemungkinan banyak orang yang juga rasakan adalah: bahwa kini tradisi perayaan leluhur kita ini nampaknya hanya sebuah perayaan ‘senang-senang’ belaka. Sangat disayangkan melihat banyaknya anak kecil yang hanya bernafsu untuk mendapatkan embel-embel jawara komplek dan atau desanya saat 17 Agustus-an.

Atau juga ibu-ibu yang dibalut dandanan meriah dan dengan hebohnya teriak-teriak ketika lomba berlangsung tanpa menyadari betul akan dalamnya filosofi yang terkandung dalam perlombaan tersebut. Bahkan lebih parahnya, sudah sering dijumpai panitia tarka komplek atau desa justru memutarkan lagu-lagu bergenre dangdut koplo, lagu cinta, atau lagu elektronik sebagai latar suara saat perayaan berlangsung ketimbang memperdengarkan lagu-lagu yang menggambarkan semangat juang nasionalisme.

Sangat disayangkan apabila filosofi-filosofi hebat yang terkandung dalam perayaan yang ada hanya satu kali setahun ini harus terhambur begitu saja dan tidak bisa dirasakan langsung atmosfernya saat perayaan berlangsung. Akan lebih khidmat jika para peserta lomba diberikan sekilas edukasi tentang arti semangat juang nasionalisme, serta meng-upgrade lomba-lomba agar dapat terasa maknanya bagi semua orang yang merayakannya.

Daripada hanya membuat lomba, memutarkan lagu dangdut koplo, kemudian memberikan hadiah, bukankah itu merupakan perayaan senang-senang sesaat?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Program Studi Sarjana Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran