Mengaku Indonesia, Tapi Tidak Mengamalkan Pancasila, Menjadi Penyebab Kacaunya Indonesia?

Indonesia dianugerahi sebagai negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari hasil tambang seperti emas, perak, nikel, dan masih banyak lagi lainnya. Selain itu kekayaan laut, pertanian, perkebunan, bahkan hasil peternakan, semuanya bisa menghasilkan pundi–pundi rupiah yang melimpah.

Advertisement

Kekayaan alam Indonesia jika dirupiahkan bisa mencapai ratusan ribu trilliun rupiah. Indonesia digadang–gadang akan menjadi negara maju di masa mendatang. Sungguh, seharusnya sebagai warga negara Indonesia kita selayaknya bersyukur atas nikmat yang telah Tuhan berikan dan bisa menikmati hidup sejahtera tanpa adanya kemiskinan. Namun kenyataannya, apakah harta karun yang diharapkan tersebut sudah berhasil didapatkan?

Rasa syukur yang seharusnya ada justru tergantikan oleh penyesalan. Menyesal oleh takdir yang memutuskan kita harus hidup di Indonesia. Sebenarnya bukan salah negaranya, juga bukan yang menetapkan takdir. Tetapi yang menjadi tersangka utamanya adalah orang–orang yang hidup di Indonesia itu sendiri. Baik pemerintah ataupun rakyatnya.

Pemerintah, yang mengurus dan memimpin jalannya suatu negara, selayaknya mengerti kemana Indonesia diarahkan. Cita – cita dan tujuan bangsa Indonesia sudah jelas tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”,

Advertisement

Hal tersebut dapat manjadi patokan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Memang tidak mudah mengatur negara seluas ini. Tetapi dengan kerjasama yang baik antara pemerintah dan rakyat apalagi didukung oleh kekayaan Indonesia yang begitu melimpah, pasti dengan sekejab status negara Indonesia dari negara berkembang melesat menjadi negara maju.

Kenyataannya, pemerintah saja gagal membangun image yang baik dihadapan rakyat. Tidak heran jika rakyat tidak mau diajak kerja sama membangun negara. Korupsi adalah contoh kegagalan image yang luar biasa. Tidak hanya satu dua anggota pemerintahan yang melakukan korupsi, jika dihitung bisa puluhan anggota. Apa kalian sebagai fiture dan pemimpin negeri ini tidak malu dengan perbuatan kalian?

Advertisement

Atau sudah putuskah urat malu kalian? Memakan uang milik rakyat, mengambil hak rakyat, dan menghalangi kebebasan rakyat untuk hidup sejahtera. Akibatnya, pemerataan dan keadilan sulit dibangkitkan. Lihat saja, petani bekerja di sawah setiap hari rajin mencangkul, memupuk, dan merawat sawahnya di bawah terik matahari.

Ia sabar untuk menunggu hasil panen walaupun tidak seberapa jumlahnya. Bagi mereka yang penting adalah hasil panen cukup untuk makan dan minum setiap hari. Sedangkan para koruptor, kerja di ruangan ber-AC, duduk di kursi empuk, makan minum enak, diberi gaji lebih dari cukup. Tapi apa yang mereka lakukan? Korupsi. Tidak puas dengan apa yang negara sudah berikan kepadanya, sehingga mau menggrogoti uang rakyat. Menurut Yudi Latief, kepala unit kerja presiden pembinaan ideologi Pancasila (UKP-Pancasila), praktek korupsi bertentangan dengan seluruh sila pancasila.

Jika didalami lebih lanjut, korupsi memang menyimpang dengan nilai–nilai Pancasila. Penyimpangan tersebut antara lain :

(1) Sila pertama, korupsi melanggar norma agama karena mengambil hak orang lain untuk meyejahterakan dirinya sendiri.

(2) Sila kedua, korupsi merupakan tindakan yang tidak adil juga tidak beradab, mereka tidak memberikan hak kepada orang lain, tidak berlaku adil dalam menyampaikan amanahnya, serta tidak beradab dengan mengambil yang bukan haknya adalah sikap serakah tidak perduli kepada sesamanya.

(3) Sila ketiga, tindakan korupsi merugikan bangsa Indonesia, karena tidak terciptanya rasa persatuan dalam masyarakat dengan tidak tersalurnya bantuan-bantuan dari pemerintah sehingga mengakibatkan pembangunan tidak merata.

(4) Sila keempat, korupsi menyebabkan kesenjangan antara pemimpin dan rakyat karena aspirasi masyarakat kurang tersalurkan sehingga terjadi perseteruan yang menyebabkan tidak tercapainya musyawarah.

(5) Sila kelima, korupsi memutus rasa solidaritas karena dianggap tidak mau membantu sesama yang membutuhkan dan bersikap tidak adil .

Namun, kesalahan tidak boleh hanya dijatuhkan kepada pemerintah. Dalam hal ini, rakyat juga memiliki kesalahan. Anggota pemerintahan mayoritas dipilih oleh rakyat sendiri.

Oleh karena itu, rakyat tidak boleh menyesal atas pilihannya. Kenyataan yang ada di masyarakat bahwa sebenarnya rakyat memilih tidak berdasarkan kualitas membuat rakyat terjebak sendiri dalam pilihannya. Itu semua akibat adanya money politic dari para calon. Rakyat tergiur oleh uang yang diberikan sehingga tidak selektif dalam memilih.

Edy Suandi Hamid (2009) yang melihat dari kacamata ekonomi, menilai money politic muncul karena adanya hubungan mutualisme antara pelaku (partai, politisi, atau perantara) dan korban (rakyat). Keduanya saling mendapatkan keuntungan dengan mekanisme money politic. Bagi politisi, money politic merupakan media instan yang dengan cara itu suara konstituen dapat dibeli. Sebaliknya, bagi rakyat, money politic ibarat bonus rutin di masa Pemilu yang lebih riil dibandingan dengan program-program yang dijanjikan.

Jika dikaitkan dengan Pancasila sebagai Etika Politik dan berbicara mengenai pemimpin yang menghandalkan uang dan kekuasaan sebagai dasar kepemimpinannya, maka semua itu tentulah bersimpangan dengan etika bangsa yang berlandasan pada Pancasila yang termaktub pada sila ke-4 yang berbunyi; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Jika seorang pemimpin yang berlatar belakang demikian, tentulah pemikirannya hanya kecurangan dalam menjalankan kepemimpinan. Musyawarah yang telah dilaksanakan hanya akan menjadi sebuah sandiwara panggung politik bagi pemimpin-pemimpin yang hanya berlandaskan pada kekuasaan dan jabatan semata. Dengan demikian negara bukan semakin baik akan tetapi semakin hancur akibat terpilihnya pemimpin yang tidak berkualitas.

Maka dari itu jika rakyat memang menginginkan pemimpin yang berkualitas yang bisa membangun Indonesia lebih jauh lagi, ayo pilih pemimpin yang benar-benar berkualitas, amanah, dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE