Penulis, Profesi yang tak Bergengsi? Coba Pikir Lagi

Profesi sebagai penulis seringkali dipandang sebelah mata. Apakah memang profesi ini memang tidak layak dibanggakan? Tulisan ini sekadar opini saya tentang profesi sebagai seorang penulis.

Hampir setiap orang yang menanyakan profesi saya akan memberikan reaksi yang kurang mengenakkan setelah mendengar jawaban saya.

Advertisement

A : “Apa pekerjaanmu, buka bisnis apa?”

Saya : “Penulis buku”

A : “Oh, kamu di bagian akuntan ya?”

Advertisement

Reaksi mereka beragam, mulai dari yang salah kaprah seperti di atas, ada yang membuka mata dan mulut mereka lebar-lebar dengan pandangan heran, bahkan ada pula yang tertawa lalu berkata, “Ya sudah, carilah pelan-pelan passion-mu, ya.”

Mendengar ini saya agak heran juga, padahal sudah jelas saya adalah penulis, inilah passion saya, kok masih disuruh cari passion yang sesuai? Seburuk itu kah image seorang penulis di mata orang-orang sehingga masih banyak yang memandang profesi ini sama sekali tak bergengsi, bahkan tak ada bedanya dengan pengangguran?

Advertisement

Bahkan tak jarang berbagai statement negatif dilontarkan ke para penulis seperti tidak berduit, kurang pergaulan, atau bahkan otaknya sempit, inilah yang paling jahat. Mungkin karena berbagai pandangan negatif inilah profesi sebagai penulis kurang diminati. Tapi apakah benar kehidupan penulis se-gloomy itu?

Tak sedikit orang berkata, “Jadi penulis di Indonesia itu percuma, gak ada duitnya.” Apa betul? Setelah naskah kita diterbitkan oleh penerbit, kita akan menerima pembayaran royalti dengan periode dan besar persentase yang berbeda-beda tiap penerbit, sesuai dengan jumlah buku yang laku terjual. Misalkan kita menerbitkan buku pertama kita seharga Rp 88.200 (sudah dipotong ppn 10%). Kita Mendapat royalti sebesar 10%, Rp 8,820 per-eksemplar. Katakanlah berhasil terjual 1.500 eksemplar:

Rp 8,820 x 1.500 = Rp 13.230.000 – pajak 15% = Rp 11.245.500.

Nilai itu untuk jangka waktu pembayaran 6 bulan memang kecil, tapi yang namanya pencapaian itu perlu perjuangan. Hasil kecil untuk buku pertama itu wajar, namun jika kita tekun dan fokus berkarya dan bisa menyesuaikan selera pasar, karya kita akan dikenal, hasilnya pun akan meningkat.

Jika kita berhasil menerbitkan beberapa buku lagi, hasil royaltinya ya tinggal dikalikan saja. Saya punya seorang mentor, dia adalah salah satu penulis buku terkenal di Indonesia yang sudah menerbitkan sekitar 7 buku dan semuanya best seller, bisa dibayangkan berapa royalti yang ia terima?

Kesan nerd dan introvert nampaknya melekat cukup kuat pada diri seorang penulis. Mereka identik sebagai sosok kutu buku yang setiap hari hanya mengurung diri di kamar dan cenderung anti sosial, serta ogah mendengar perkataan orang lain.

Memang itu hanyalah cover yang tampak di mata orang, tapi apakah penulis benar-benar kuper? Untuk menghasilkan sebuah buku, tak jarang seorang penulis merasa butuh pergi ke suatu tempat untuk sekadar mencari inspirasi.

Entah di kafe, menulis naskah sambil menyeruput kopi dan memperhatikan situasi di sana, atau ke tempat-tempat yang dekat dengan alam seperti pantai. Mereka juga perlu melakukan riset mendalam sebelum menuangkannya ke dalam naskah, bahkan sengaja menemui beberapa narasumber untuk berdiskusi bersama.

Pihak penerbit biasanya juga mengadakan acara gathering atau kumpul-kumpul penulis setiap beberapa periode sekali. Beberapa penulis bahkan seringkali diundang ke berbagai acara seperti bedah buku, atau event lain yang berhubungan dengan buku yang mereka buat.

Di acara-acara seperti itu tentunya para penulis akan bertemu dengan orang-orang baru dan memperluas jaringan mereka, mendapat inspirasi, juga pengetahuan baru. Nah, semua kegiatan itu kan juga termasuk contoh interaksi. Kalau penulis itu kurang pergaulan, dan otaknya sempit, apakah mereka mau melakukan ini?

Ini sekadar uneg-uneg yang ingin saya sampaikan, jangan pernah takut atau ragu menekuni profesi ini. Jangan merasa terlalu down sebagai penulis pemula saat royalti pertama kita kurang memuaskan, itu wajar kok. Juga saat naskah ditolak, jadikan itu pembelajaran supaya kita bisa menyesuaikan selera pasar dan penerbit.

Tidak perlu malu menyebut diri sebagai seorang “penulis”. Kita patut bangga, sebab dengan menulis, karya kita akan abadi dan terus hidup (dalem banget ya). Saya juga belum menjadi penulis senior kok, baru menerbitkan satu buku juga. Walau begitu, saya mulai merasakan kepuasan-kepuasan yang selama ini belum pernah saya dapatkan.

So, guys! Keep writing, keep fighting, be proud and let the pen bleeds!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE