Ternyata Ber-Sosmed Tak Lagi Bebas! Kenapa?

Bagi masyarakat dunia, terutama Indonesia pada tahun 2017, teknologi bukan lagi sesuatu yang asing atau tabu. Segalanya menjadi serba instan dan serba online. Hasil riset Screenagers: Multiplied Experiences, Real-time Emotions** menunjukkan bahwa jumlah pengguna smartphone di Indonesia saat ini mencapai 86 persen, meningkat 9 persen dibanding 2014. Sementara, jumlah screenagers (orang yang memiliki smartphone, tablet, dan laptop) mencapai 34 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 31 persen. Bukan sekadar angka yang terus bertambah, pertumbuhan tersebut turut membawa perubahan pada perilaku konsumen digital.

Tak terkecuali media sosial yang juga ikut berperan dalam era millennial ini. Seluruh lapisan masyarakat dewasa ini memiliki akun dari setiap media sosial seperti twitter, facebook, instagram, path, whatsapp, dan media sosial lainnya. Tentunya, dampak positif dari media sosial ini sangatlah banyak. Dengan medsos yang disokong oleh teknologi inilah, kita dapat menjamah tempat atau hal yang belum pernah kita raih sebelumnya. Melalui media sosial ini, kita dapat kembali bertemu orang-orang yang pernah lost contact karena keterbatasan jarak. Kini, keterbatasan itu dapat kita lampaui dengan memanfaatkan fitur yang tersedia di media sosial, seperti video call dan aplikasi pesan kilat.

Namun, di balik riuhnya orang-orang yang sedang hobi melakukan kegiatan untuk diunggah dan diperlihatkan kepada para followersnya, terdapat sisi lain yang membuat kita mengerutkan dahi melihat fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini. Tindak pidana karena pengaduan dari media sosial, hoax bertebaran, perpecahan karena perbedaan pendapat, intoleransi meruak, penggunaan bahasa yang kasar, dan kasus lain yang banyak ditemukan ketika kita bermain media sosial.

Lalu, jika hal ini sudah terjadi, siapa yang patut disalahkan? Teknologi? Orang tua? Guru? Anak? Pemerintah? Siapa? Tidak ada satupun yang dapat disalahkan karena keadaan, dan tentunya semua orang memiliki kebebasan berpendapat. Dan kita sebagai mahasiswa, yang menjadi generasi penggerak dan pendorong kebijakan, apa yang sudah kita lakukan selama ini? Apakah hanya menonton interaksi tidak sehat di dunia maya, atau malah ikut-ikutan dan tidak melakukan solusi apa-apa?

Kita lah yang harus berjuang menjadi pelopor perubahan kegiatan bermedia sosial yang beretika, bijak dan berkualitas. Bagaimana caranya? Tentunya, harus dimulai dari diri sendiri. Kita sebisa mungkin menggunakan medsos untuk membagikan konten-konten yang positif. Konten yang positif dan berpendidikan dapat memicu orang untuk meneruskan konten tersebut. Selama ini, yang terjadi orang-orang hanya copy paste tanpa melihat kebenaran isi konten atau berita tersebut. Sebisa mungkin kita harus mencari tahu kebenaran info yang tersebar dari sumber yang terpercaya.

Kita sebagai mahasiswa yang sering dijadikan contoh untuk adik-adik kita yang masih bersekolah, harus bisa mengajak mereka untuk menjaga perkataan yang diketik di media sosial. Karena dewasa ini, bukan sekedar mulutmu harimaumu, tapi jempolmu harimaumu. Sedikit saja kita salah dan menyinggung lawan bicara di media sosial, siap-siap UU ITE mengancam. Kita harus senantiasa bijak dalam menggunakan media sosial yang tidak berlebihan dan sesuai porsi.

Dalam sehari, usahakan untuk membuat batas kita menggunakan media sosial. Misal batas per hari menggunakan medsos adalah dua jam. Tetapi, dua jam itu jangan dihabiskan sekaligus. Kita harus bijak dalam membagi dua jam itu dalam sehari. Tujuannya untuk apa? Untuk menghindari hal-hal tidak penting yang dapat membuang-buang waktu kita. Karena sekarang tanpa kita sadari, hanya dengan membuka media sosial yang satu saja, dapat meluas mengklik hal lain dan waktu terbuang begitu saja.

Sebenarnya, attitude kita diuji pada saat kita bermedsos. Kita harus dapat menahan diri untuk tidak berkata kasar, mengumpat, atau berdebat yang tidak sehat. Hal-hal negatif dapat kita tangkal dan lama-kelamaan energi positif dari akun kita akan menyebar ke akun lain juga, menjadikan orang-orang sadar bahwa tidak ada gunanya menyebarkan hoax, menjadi haters, ataupun mencari ribut hanya sekedar sensasi.

Semua bisa berubah menjadi lebih baik, dengan proses dan semangat mahasiswa yang saling membangun dalam ranah positif. Karena Indonesia, pasti bisa!

**https://www.femina.co.id/trending-topic/hasil-survei-99-konsumen-indonesia-adalah-screenagers [diakses pada 7 Desember 2017. 18.29 WIB]

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Indonesia! Duta Bahasa Jawa Barat. DBL Journalist. Kompas Muda. Kabumi 29. Singer AS-coustic. Mawapres FPBS UPI 2017. MC/Singer Part time. Full time learner.