Waspada! Trauma Anak Bisa Terjadi Di Lingkungan Terdekat. 7 Langkah Menjaga Anak dari Luka yang Tak Terlihat

Kisah menyentuh balita usia 3 tahun di Bogor yang trauma sholat setelah dilecehkan anak 8 tahun, menjadi pengingat penting bagi para orangtua untuk lebih waspada

Trauma anak di lingkungan terdekat bukan sekadar istilah—kasus balita usia 3 tahun di Bogor ini memperlihatkan betapa rapuhnya keamanan anak, bahkan di tempat yang dianggap paling aman.

Baru-baru ini, media sosial kembali diramaikan oleh sebuah kisah yang menyentuh hati dan menggugah kesadaran banyak orang tua. Seorang ibu dengan akun Instagram @ndputriw membagikan pengalaman pribadi yang mengejutkan: sang anak yang masih balita tiba-tiba enggan melakukan salat—ibadah yang sebelumnya ia jalankan dengan penuh semangat.

Dalam unggahan tersebut, sang ibu menceritakan bahwa perubahan perilaku anaknya berlangsung selama hampir satu bulan. Awalnya ia mengira hal itu hanyalah fase biasa. Namun, sebagai ibu yang peka terhadap kondisi psikologis anak, ia mulai curiga karena penolakan itu disertai dengan ketakutan yang tidak biasa.

Dengan pendekatan lembut dan penuh kasih, akhirnya sang ibu berhasil membuat si kecil membuka suara. Jawaban sang anak membuat dirinya terguncang dan hancur hati. Anak tersebut mengungkapkan bahwa dirinya mengalami suatu bentuk perlakuan tidak pantas—sebuah bentuk pelecehan yang sulit dibayangkan.

Yang lebih memilukan, peristiwa itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman. Kasus ini juga menyita perhatian besar dari publik, tidak hanya karena sifatnya yang sangat sensitif, tetapi juga karena pelakunya bukanlah orang asing atau dewasa, melainkan anak lain yang lebih besar, masih kelas 2 SD.

Dalam penjelasannya, sang ibu menekankan bahwa tujuannya bukan untuk menyebarkan aib. Beliau berbagi cerita ini dengan harapan bisa menjadi pelajaran penting bagi para orang tua di luar sana: bahwa perubahan kecil dalam perilaku anak bisa menjadi alarm awal terhadap sesuatu yang jauh lebih serius. Banyak warganet yang memberikan dukungan moral, doa, serta apresiasi karena keberanian sang ibu dalam membuka trauma anak.

Kisah ini menjadi pengingat keras bahwa pengawasan dan perlindungan terhadap anak harus mencakup tiga aspek penting: fisik, emosional, dan psikologis. Meski sudah berada di bawah pengasuhan keluarga yang dipercaya, risiko tetap bisa terjadi. Karena itu, orang tua dan lingkungan sekitar perlu memiliki bekal yang cukup untuk mengenali, mencegah, dan menangani trauma anak yang tak terduga.

ADVERTISEMENTS

7 Langkah Bijak Melindungi Trauma Anak yang Tak Terlihat

Berikut tujuh langkah bijak yang dapat dilakukan oleh para orang tua untuk membantu mencegah dan mendeteksi luka emosional atau psikologis pada anak, baik karena kekerasan fisik, verbal, maupun pelecehan:

ADVERTISEMENTS

1. Deteksi Perubahan Perilaku Sejak Dini

Trauma anak-perubahan sikap anak

Anak-anak biasanya tidak dapat mengungkapkan dengan jelas apa yang mereka alami. Namun tubuh dan perilaku mereka sering “berbicara” lebih dulu. Tanda-tandanya bisa berupa: enggan melakukan aktivitas yang sebelumnya disukai, menjadi lebih murung, sulit tidur, takut bertemu seseorang, atau muncul rasa malu yang berlebihan.

ADVERTISEMENTS

2. Edukasi Tentang Batas Tubuh dengan Bahasa Anak

Parenting-sex edukasi sejak dini

Ajarkan anak tentang bagian tubuh pribadi dan batasan yang harus dijaga. Sampaikan siapa saja yang boleh menyentuh mereka (misalnya saat mandi, ganti pakaian) dan dalam konteks apa. Gunakan bahasa yang sederhana namun tegas, seperti “Bagian ini hanya boleh disentuh mama atau ayah saat kamu minta bantuan.” Kalau ada orang yang menyentuh area ini, segera menghindar, marah, atau mengadu ke Mama Papa”

ADVERTISEMENTS

3. Bangun Ruang Aman untuk  Anak Bisa Berbicara dengan Nyaman

Bangun kedekatan dengan Anak

Anak-anak akan lebih terbuka jika merasa tidak dihakimi. Gunakan kalimat afirmatif dan nada yang hangat. Contoh: “Kalau kamu merasa nggak nyaman sama siapa pun, kamu bisa cerita ke Bunda. Bunda janji nggak akan marah.” Suasana yang aman akan mendorong anak untuk membuka diri.

ADVERTISEMENTS

4. Atur Pola Pengasuhan Kolektif dengan Aturan yang Jelas

Anak bersama keluarga besar
Dalam keluarga besar, anak sering berpindah-pindah pengasuh. Penting untuk membuat sistem pengawasan yang kolektif dan transparan. Rotasi penjagaan, tempat bermain terbuka yang mudah diawasi, diikuti rutinitas evaluasi perilaku anak bisa membantu mendeteksi hal-hal tak wajar lebih awal. Contohnya, memberi jadwal jelas soal rotasi pengasuhan, lewat grup keluarga, dan memastikan para pengasuh tidak sembarangan kasih tanggung jawab ke orang lain.

ADVERTISEMENTS

5. Kenali Potensi Bahaya dari Sesama Anak

Ortu mengawasi anak
Banyak orang tua belum menyadari bahwa pelaku pelecehan juga bisa berasal dari anak-anak lain. Anak usia 8–10 tahun bisa melakukan tindakan tidak pantas karena meniru, penasaran, atau akibat trauma sebelumnya. Oleh karena itu, pendampingan saat anak bermain dengan sesamanya tetaplah penting. Apalagi jika melihat gerak-gerik dari temannya yang tidak biasa.

6. Validasi Emosi Anak Tanpa Menghakimi

ibu memvalidasi perasaan anak

Saat anak menunjukkan ketakutan atau kebingungan, beri mereka ruang untuk mengekspresikan perasaannya. Hindari kalimat seperti “Ah, kamu lebay” atau “Jangan cengeng.” Gantilah dengan, “Kamu boleh istirahat dulu ya, peluk dulu yuk,” atau “Kamu nggak salah, kok.”

7. Segera Dapatkan Bantuan Profesional

Anak dibantu profesional

Jika anak menunjukkan tanda trauma yang berlarut, seperti ketakutan ekstrem, mimpi buruk, atau menarik diri dari aktivitas sosial, segera konsultasikan dengan psikolog anak. Banyak layanan yang tersedia secara gratis dan rahasia, seperti SAPA 129 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang ada di berbagai kota.

Kisah yang dibagikan oleh akun @ndputriw memberikan pelajaran penting bahwa trauma anak bisa muncul dalam bentuk yang tidak kasat mata, dan bisa terjadi di tempat yang kita anggap paling aman. Sebagai orang tua, pengasuh, maupun pendidik, kita perlu membangun komunikasi terbuka, peka terhadap perubahan sikap anak, dan memiliki keberanian untuk bertindak.

Perlindungan terbaik dimulai dari rumah—dengan cinta, perhatian, dan kesiapan untuk mendengar.

Pernahkah kalian melihat keponakan atau anak tetangga yang mendadak jadi pendiam atau menolak rutinitas biasanya? Jangan abaikan. Mungkin itu adalah bentuk panggilan tak langsung mereka untuk didengarkan.

Bagikan artikel ini ke grup keluarga, komunitas parenting, atau sesama pengasuh. Bisa jadi, satu informasi sederhana ini dapat menjadi benteng pertama untuk menyelamatkan masa depan seorang anak.

Follow Instagram dan Join Hipwee Young Mom Support Group di Whatsapp yuk! Ngga cuma bisa sharing pengalaman dan cari tahu tips sebagai ibu muda aja tapi banyak juga give away menarik tiap minggunya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini