Jika menjadi tua adalah pasti, mengapa banyak orang berambisi untuk menyamarkan kerutan di wajahnya? Menjadi tua bukan kesalahan atau kejahatan. Lantas, mengapa banyak orang takut mengalaminya?
Di awal usia 20 tahunan, kita sudah disarankan untuk memakai produk anti-aging demi wajah awet muda dan tetap memesona. Harapannya, menjelang usia 40 tahun, kulit kita masih kinclong dan kencang seolah usia kita tidak bertambah sama sekali.
Kaum hawa biasanya paling mudah termakan ‘rayuan’ manis produk anti-aging. Narasinya, menjadi tua dan mengeriput adalah mimpi buruk. Sebisa mungkin harus dilakukan perawatan demi mencegah tanda-tanda penuaan seperti kerutan dan garis-garis halus. Penuaan dianggap sebagai momok yang menghantui dan membuat kita tidak percaya diri. Saking takutnya menjadi tua, banyak orang lupa caranya berbahagia.
Kesalahan memandang penuaan terlanjur melekat di benak sebagian besar orang. Daripada memelihara pola pikir anti-aging, mengapa kita tidak memilih aging gracefully saja? Lagipula, melawan penuaan sebenarnya usaha yang sia-sia. Soalnya, toh umur kita akan bertambah juga. Ketimbang sibuk melawan sesuatu yang niscaya terjadi, bukankah lebih baik menerimanya?
Ageism di balik ketakutan orang menjadi tua, alasan kita harus segera mengubah pola pikir yang beracun ini
Ageism di balik narasi anti-aging yang beracun | Credit: Max Pixel
Dalam kamus, kata “cantik” hanya memiliki arti molek, elok, dan indah. Nggak ada tuh yang artinya perempuan muda, berkulit putih, berambut panjang, dan kurus. Lalu mengapa orang menganggap kalau kecantikan lekat dengan kemudaan? Ageism disinyalir jadi biangnya nih.
Istilah ini dipakai untuk menyebutkan tindakan diskriminatif dan prasangka buruk pada seseorang berdasarkan umur. Ageism juga lahir dari kebijakan-kebijakan yang mendukung stereotip negatif.
Tak hanya berkaitan dengan kecantikan, orang yang sudah tua juga dianggap sebagai sosok yang rapuh, tidak berdaya, dan kurang mandiri. Bukan cuma para lansia, ageism juga dialami oleh anak muda. Meskipun dipandang kuat dan sehat, biasanya anak muda juga dinilai kurang cakap atau kurang berpengalaman.
Ageism ini cukup mudah dideteksi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, karyawan yang lebih tua dianggap sulit beradaptasi dengan kemajuan dan kontribusinya mulai berkurang. Tak jarang karyawan tua dianggap sebagai beban.
Disadari atau tidak, media massa punya andil besar melanggengkan praktik ageism lewat pemberitaan atau konten-konten lainnya. Dalam penggambaran media, orang tua yang sehat, aktif, dan ceria merupakan hal langka, sehingga ageism semakin memperparah pandangan orang tentang menua.
Kalau tidak hati-hati, kita bisa terjebak dengan pola pikir yang beracun ini. Apalagi efek ageism bukan sekadar takut untuk menua. Kita pun jadi gampang cemas dan panik ketika usia bertambah. Lantaran, di kepala kita sudah terbentuk stigma kalau menua adalah hal yang buruk. Alhasil, kita nggak bisa menerima dan mencintai diri sendiri dengan segala perubahan yang ada.
Anti-aging udah bukan zamannya lagi, saatnya kita beralih ke well-aging yang lebih sehat. Tak perlu menyalahi siklus hidup yang normal
Seiring bertambahnya kesadaran orang, semakin banyak yang tahu masalah besar di balik pandangan anti-aging. Pelan-pelan orang tidak tertarik lagi dengan produk-produk perawatan kulit dan wajah dengan embel-embel anti-aging. Menurut mereka, produk tersebut menawarkan sesuatu yang nggak masuk akal, sehingga mereka malah meragukan khasiat dan efek dari produk tersebut.
Mengingat pola pikir anti-aging mendatangkan lebih banyak efek buruk pada kesehatan mental, orang beralih ke well-aging.
“Apa itu?”
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Istilah ini merujuk pada penuaan yang baik. Alih-alih menekankan ketakutan menjadi tua, well-aging mengajak kita untuk menerima penuaan sebagai proses yang alami, patut diterima, dan dijalani dengan penuh rasa syukur. Well-aging membuat kita bebas dari tekanan dan pikiran untuk tetap terlihat muda.
Meskipun menua, kita memang sebaiknya tetap harus merawat kesehatan kulit dan kesehatan diri seluruhnya. Selama kita menjaga kesehatan, penampilan dan wajah yang rupawan akan terpancar dengan sendirinya kok. Selain itu, well-aging bukan cuma menekankan soal perawatan kulit dan wajah semata, tapi juga pola pikir seseorang dalam merespons penuaan.
Kamu tim well-aging atau anti-aging? I Illustration by Hipwee
Rahasia well-aging, kita bisa hidup bahagia dan sehat meski kita menua. Tidak ada yang perlu ditakutkan kok, Sister~
Menua dengan sehat dan bahagia | Photo by Kindel Media on Pexels
Perubahan pandangan terhadap penuaan nyatanya berdampak juga pada industri kecantikan dan kesehatan. Perlahan, produk-produk kecantikan mulai berbenah. Bahkan beberapa produk memilih kata “tired skin” daripada memakai kata “aging“. Perubahan ini dipilih agar perempuan terutama, tidak membenci penuaan lagi.
Demi mewujudkan well-aging, setidaknya kita perlu memastikan 5 hal ini. Barbara Hawkins, lewat tulisannya berjudul “Aging Well: Toward a Way of Life for All People” membagikan rahasianya. Jika kelima faktor dalam The GARNet Indeks ini terpenuhi, kita akan menua dengan sehat dan bahagia~
Penuaan yang baik nggak bisa lepas dari kesehatan fisik yang baik juga, sedangkan penuaan yang buruk sebagian besar disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. Akibatnya, kesehatan fisik ikut memburuk. Perbanyak aktivitas fisik, jaga pola tidur yang teratur, dan hindari pola makan yang berantakan. Dengan menjaga kesehatan fisik, termasuk kesehatan kulit, di usia berapa pun kita masih bisa mandiri menjalankan aktivitas.
- Kemampuan kognitif dan kesehatan mental yang masih baik
Sebenarnya beberapa orang diberkahi kemampuan kognitif yang baik secara genetik. Namun, kemampuan kognitif tetap bisa diasah. Nah, indikator well-aging yang kedua berkaitan dengan kemampuan ini. Kita bisa dikatakan menua dengan baik bila mempunyai mental yang sehat, self acceptance yang proporsional, manajemen stres yang tepat, dan punya kontrol diri yang bagus.
- Punya dukungan sosial yang kuat
Rumus selanjutnya agar bisa well-aging adalah dukungan sosial yang kuat. Kehadiran dan dukungan orang terdekat seperti keluarga dan teman jadi elemen penting. Jaringan sosial yang suportif terbukti berdampak positif pada proses penuaan yang sehat. Bahkan efek penuaan bisa berkurang saat kita dikelilingi dengan orang-orang terkasih yang mendukung dan menyayangi kita.
Biasanya semakin tua, aktivitas dan peran sosial makin terbatas. Kita akan lebih banyak diam di rumah nantinya. Agar tetap well-aged, kita bisa ikut beberapa kegiatan positif yang melibatkan banyak orang, misalnya melakukan hobi yang sama dengan sejumlah orang lainnya.
- Kebutuhan material terpenuhi
Selama kebutuhan material seperti makanan, rumah, dan keamanan terjamin, well-aging bukan angan semata. Ketersediaan kebutuhan ini pun membawa pengaruh baik pada kesehatan tubuh dan kulit. Saat tidak lagi dikhawatirkan dengan pemenuhan kebutuhan tersebut, kita lebih fokus membahagiakan diri dengan hal-hal menyenangkan. Pasalnya, di dalam tubuh yang sehat dan awet muda terdapat jiwa yang bahagia.
Menimbang-nimbang antara anti-aging dan well-aging, kita bisa melihat baik-buruk keduanya. Apakah kita tetap merawat pola pikir anti-aging yang berlawanan dengan self love dan self acceptance? Atau kita memilih untuk menerima proses penuaan dengan sehat?