Kalian Gak Berasal Dari Rahim yang Sama. Menyebut Teman Kantormu “Keluarga” Justru Bahaya!

“Enak deh kerja di kantor aku. Orangnya baik, ramah semua. Kita deket, udah kayak keluarga.”

“Er… Oke.”

Advertisement

Sekilas, nggak ada yang salah dengan pernyataan di atas. Menyamakan rekan kerja dengan hangat dan dekatnya keluarga adalah salah satu bentuk loyalitas karyawan. Ini juga menunjukkan bahwa kamu sudah sangat nyaman berada di kantor yang sekarang. Hubunganmu dengan teman sekubikel, bahkan bos sendiri, sudah melampaui hierarki kaku khas sebuah perusahaan.

Tapi, sebentar dulu…

Percaya atau tidak, menganggap rekan kantormu sama seperti keluarga tidaklah bijak. Selain mengganggu profesionalitas, ini juga bisa memicu banyak hal yang nggak mengenakkan di masa depan. Nggak percaya? Sebelum terlambat, pikirkan lagi deh apa kamu sebaiknya memanggil teman kerjamu “keluarga”!

Advertisement

Di dunia nyata, tidak ada orangtua yang bisa memecat anaknya. Memangnya ada gitu Ayah/Ibu yang bilang, “Udah ya Mbak… kita sampai di sini aja”?

"Udah ya, sampai di sini aja. Mama nggak mau ngemong kamu lagi."

“Udah ya, sampai di sini aja. Mama nggak mau ngemong kamu lagi.” via hackersogny.tumblr.com

Alasan utama kenapa menyamakan rekan kerja dengan keluarga adalah hal yang berbahaya, sebenarnya sederhana. Bosmu bisa (dan justru wajib) mengevaluasi kamu, menentukan gajimu, atau justru memberhentikanmu seandainya performamu tidak memuaskan. Tapi, tidak seperti itu dengan keluarga.

Ibu dan Ayahmu tidak pernah memanggil kamu ke ruangan mereka untuk “evaluasi”. Kalaupun ada rapat keluarga, pasti itu karena ada sepupu atau kakak yang mau nikah.

Advertisement

Orangtua juga nggak bisa memecat anak mereka. Mau kamu senakal apapun, sedurhaka apapun, setidakmemuaskan apapun, selamanya kamu tetap anak mereka.

Reid Hoffman (co-founder LinkedIn) pun mengamini bahwa menyamakan rekan kerja dengan keluarga adalah langkah yang berbahaya.

“Cobalah membayangkan Anda punya anak, lalu anak Anda nakal, dan Anda memecatnya. “Maaf ya Susi, tapi Ibu dan Ayah sudah rapat dan memutuskan bahwa kamu tidak cocok ada di sini. Kamu selalu malas merapikan meja makan, padahal kamu selalu minta dibelikan boneka. Mulai bulan depan, nggak usa datang ke rumah lagi ya. Jangan dimasukin hati, namanya keluarga ya begini.”

Sebaiknya, anggap perusahaan layaknya tim olahraga. Kompetitif namun rela bahu-membahu demi tujuan bersama

Foto keluarga?

(Bukan) foto keluarga via sujanpatel.com

Phillip Carrigan, seorang eksekutif di bidang farmasi di Jepang, memperhatikan suatu hal unik: semua perusahaan farmasi terbaik di Asia selalu beroperasi layaknya tim olahraga. CEO dan manajer mereka rela menggelontorkan dana dan waktu demi talenta terbaik, selalu berpikir strategis, memanfaatkan kekurangan perusahaan pesaing untuk menjadi juara di bidangnya, serta melatih talenta yang sudah ada sampai jadi “superstar”. Boleh saja mereka ramah dan hangat layaknya sosok ibu atau ayah. Tapi mereka juga tangguh dan siap mengambil keputusan sulit — seperti memecat karyawan — kalau memang harus.

Sebaiknya, anggaplah perusahaan tempatmu bekerja seperti sebuah tim olahraga. Semua anggota tim bersikap kompetitif dan berusaha agar tidak ada yang bisa menggantikan posisi mereka. Namun, mereka rela bahu-membahu demi mencapai tujuan bersama. Jika berhadapan dengan perusahaan pesaing, misalnya, mereka akan berusaha sekuat tenaga supaya tim mereka menang melawan perusahaan pesang ini. Perusahaan seperti Coca Cola, Google, Apple, Microsoft, dan Netflix — yang punya ambisi mendominasi pasar masing-masing — tentu saja fokus mengembangkan budaya “tim olahraga” ini di perusahaan mereka.

Tentu saja kamu bisa membangun hubungan personal yang lebih dari rekan. Tapi, hubungan yang dekat itu tak lantas menjadikan kalian keluarga

Kecuali kamu seperti foundernya Bukalapak dan HijUp yang suami-istri

Kecuali kamu seperti foundernya Bukalapak dan HijUp yang suami-istri via mashable.com

“Ah, aku sama mereka sih udah lebih dari sekadar rekan kerja. Kami juga teman makan bareng, curhat bareng, temen gosip, sampai saling bantu-membantu kalau ada yang kesulitan.”

Kamu dan rekan kerjamu bisa dan boleh banget menjadi teman beneran. Justru, hubungan yang personal seperti ini bisa membuat kalian tambah betah di kantor yang sekarang. Tapi, teman tidak sama dengan anggota keluarga, bukan?

Hubungan pertemanan, berbeda dari hubungan keluarga, tidak selalu bersifat selamanya. Pertemanan bisa merekat dan merenggang, tergantung keadaannya. Lebih fleksibel dan masih cocok dengan kultur kerja yang profesional. Pernah ‘kan punya teman yang sekarang kamu jauhi karena perilakunya mengecewakan (tidak profesional)?

Perusahaanmu selalu berusaha menjadi keluarga? Saatnya berhenti sekarang juga!

Bukan keluarga

Bukan keluarga via hbr.org

Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, perusahaan yang melabeli diri mereka ‘keluarga’ sebenarnya sedang menggali kuburan sendiri. Jika kondisi ekonomi sedang sulit, perusahaan akan dipaksa mempertahankan eksistensi mereka dengan merampingkan karyawan dan memotong tunjangan. Di saat-saat seperti ini, karyawan yang sudah menyangka diri mereka adalah bagian keluarga akan merasa ditusuk dari belakang jika sampai diberhentikan.

Netflix, perusahaan distribusi film dan serial TV online asal Amerika, adalah salah satu perusahaan sukses yang terkenal karena penolakan mereka menyebut diri sebagai “keluarga”.

“Saya bukan keluarga kalian. Kita semua bukan keluarga, kita adalah layaknya tim olahraga yang penuh superstar. Manajemen Netflix mempekerjakan, mengevaluasi, dan memberhentikan karyawan dengan satu alasan: mencari dan mempertahankan para superstar.”

“Karyawan Netflix yang tidak bisa menjadi superstar harus diberikan pesangon yang menghibur supaya rela digantikan posisinya oleh rekan yang lebih baik.”

Netflix juga terkenal karena tidak peduli seberapa rajin karyawan mereka. Semua karyawan bisa mengambil cuti sebanyak apapun, liburan ke manapun dan kapanpun, asalkan kerjaannya beres dan selalu konsisten menjadi yang terbaik. Budaya kerja yang menekankan sangat mementingkan performa karyawan ini akhirnya mengantarkan Netflix menguasai pasar. Anak muda Amerika, misalnya, mengenal idiom kekinian “Netflix and chill” (artinya kira-kira “Kamu mau ke rumahku nggak? Aku lagi di rumah sendiri lho, hehehe.”).

Nilai Netflix di pasaran saat ini juga mencapai $32,9 triliun, melampaui nilai pasar perusahaan-perusahaan stasiun televisi di Amerika.

Jika perusahaanmu selama ini selalu berusaha menjadi keluarga, saatnya mengubah budaya ini sekarang juga. Bagaimana caranya mengubah budaya kerja di perusahaanmu? Kuncinya, sekali lagi, dicontohkan oleh Netflix: be consistent in who you hire, who you promote, and who you lay off. Konsistenlah dalam menentukan siapa yang kamu pekerjakan, siapa yang dipromosikan, dan siapa yang harus diberhentikan.

Masih mau menganggap diri keluarga? Jangan lupa, keluarga juga banyak lho yang berantakan

Keluarga juga bisa berantakan

Keluarga juga bisa berantakan via tumblr.com

Biasanya, niat untuk menyamakan rekan kerja seperti keluarga sangatlah positif: supaya semua orang di kantor tersebut betah bekerja dan tidak hengkang ke perusahaan pesaingnya. Tapi, manajemen yang selalu berusaha menganggap bawahan dan rekan kerja mereka “keluarga” mungkin lupa: banyak juga lho keluarga yang disfungsional dan berantakan. Banyak keluarga yang ayahnya hobi selingkuh, ibunya nggak pernah di rumah, dan anaknya jadi bully di sekolah. Dan kenapa mereka masih berhubungan satu sama lain? Karena… Ya, karena mereka keluarga.

Hati-hati. Membentuk tim kerja yang seperti keluarga juga bisa jadi strategi perusahaan untuk mengeksploitasi karyawan

perusahaan yang baik

perusahaan yang baik via mashable.com

“Nggak apa-apa deh aku lembur tapi gak dibayar. Sekali-kali berkorban buat perusahaan. Kita ‘kan keluarga.”
“Kamu jadi ambil tawaran dari perusahaan X? Tega ninggalin kita? Padahal kita ‘kan keluarga.”

Ini yang sering luput dari kepala banyak orang. Semboyan “kami adalah keluarga” sebenarnya bisa dijadikan perusahaan sebagai strategi untuk mengeksploitasi bakat dan loyalitas karyawannya. Nggak apa-apa deh nggak dikasih uang lembur, masa’ sama keluarga sendiri nggak mau berkorban. Nggak apa-apa deh melepas tawaran karier yang bagus, pantas saya dapat, dan menarik, masa’ saya punya hati meninggalkan keluarga sendiri?

Kalau sudah begini, perusahaanlah yang akan diuntungkan. Loyalitas karyawan akan terkunci tak peduli seberapa buruk mereka diperlakukan. Semua diikhlaskan, demi prinsip kekeluargaan.

Berhenti menyamakan rekan kerja dengan keluarga. Lebih baik bersikap pada satu sama lain layaknya “tetangga”

Tetangga yang baik

Tetangga yang baik via cyberpreneur.ph

With our neighbors, we try to balance what we do for them and what we get from them over time. We construct covenants in which everyone shares a common vision and agrees to do what they can to work toward these common interests.

In a healthy workplace, neighbor-employees work hard, secure in the knowledge that the organization is looking out for them. The organization succeeds because its employees put in a reasonable amount of extra time and effort for each other.

-Harvard Business Review

“Dalam berhubungan dengan tetangga, kita selalu berusaha menyeimbangkan apa yang kita lakukan untuk mereka dan hal baik apa yang bisa kita dapatkan dari mereka. Kita membangun tempat di mana semua orang bisa berbagi visi yang sama, dan sepakat bekerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama ini.”

“Di kantor yang budayanya sehat, para karyawan (alias “tetangga”) selalu bekerja keras ingin memberikan yang terbaik untuk sesamanya dan untuk perusahaan, dengan ekspektasi bahwa rekan kerja mereka dan perusahaan juga akan mengusahakan yang terbaik untuk mereka. Perusahaan menjadi sukses karena karyawan mereka menginvestasikan waktu dan tenaga ekstra untuk mengembangkan satu sama lain.”

Jurnal Harvard Business Review sangatlah konsisten dalam saran mereka untuk tidak membuat karyawan merasa seperti anggota keluarga. Alih-alih, mereka menyarankan bahwa perusahaan seharusnya seperti komplek perumahan, dan karyawan mereka adalah tetangga bagi satu sama lain.

Harvard Business Review juga memberikan saran bagaimana kamu bisa membuat kultur perusahaanmu seperti sebuah “komplek perumahan”:

  1. Sediakan pelatihan yang cukup untuk para karyawan sehingga mereka merasa “diamongi”.
  2. Sediakan waktu khusus bagi para karyawan untuk mengungkapkan unek-unek mereka pada atasan
  3. Pastikan bahwa semua staf dan manajer memiliki tujuan bersama
  4. Para manajer harus sensitif pada dinamika perusahaan, jangan sampai karyawan berubah jadi individualis.

Artikel lengkapnya bisa kamu baca di sini .

Semua orang ingin menciptakan lingkungan kerja yang baik dan menyenangkan. Siapa coba yang nggak mau bahagia karena pekerjaannya? Tapi, bukan berarti kamu harus menyamakan teman-teman kerjamu dengan keluarga.

Menganggap kalian adalah bagian dari sebuah tim olahraga, dan bersikap pada satu sama lain seperti tetangga, adalah strategi yang jauh lebih menguntungkan perusahaan serta diri kalian sendiri sebagai karyawan.

Bagaimana? Sudah percaya kenapa kamu nggak boleh menyamakan teman-teman kerjamu (seberapa dekatpun kalian) dengan keluarga? Sudah siap mengganti kultur di tempat kerjamu dengan budaya yang lebih baik lagi? Semoga artikel ini bisa membuka matamu. Kalian tetap bisa membantu satu sama lain menjadi lebih baik, kok, walaupun bukan satu keluarga.

Baca sepuasnya konten-konten pembelajaran Masterclass Hipwee, bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ophelia of the postmodern age.

CLOSE