Kisah petani milenial | illustration by Hipwee via www.hipwee.com
SoHip, apa yang kamu pikirkan ketika mendengar seorang milenial berpendidikan tinggi hingga S2 dan memutuskan menjadi seorang petani?
Pekerjaan sebagai petani kadang memang nggak dianggap sebagai tujuan karier bagi milenial, apalagi yang memiliki latar belakang pendidikan di luar pertanian hingga S2. Hal tersebut karena saat ini banyak sekali pekerjaan atau profesi yang dianggap lebih menjanjikan atau lebih keren. Misalkan saja berkarier di perusahan start up, media, perbankan dan industri yang sedang hitz. Saat ini, pekerjaan sebagai petani jelas bukan merupakan karier yang dianggap ideal atau potensial di kalangan milenial muda.
Menurut data dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) pada tahun 2020, terdapat 33 juta orang petani di Indonesia. Hanya sekitar 29% di antaranya berusia di bawah 40 tahun atau dikelompokkan sebagai petani milenial. Angka ini merupakan jumlah yang masih sedikit, karena sebagai negara agraris Indonesia butuh regenerasi petani besar-besaran.
Beruntung Hipwee Premium bertemu dengan seorang petani milenial di kawasan lereng Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah. Ia merupakan satu dari sekian banyak milenial yang memiliki kisah atau latar belakang keputusan menjadi petani yang super keren. Yuk, simak kisah inspiratifnya!
Nah, akan sekeren apa ya, jika seorang milenial memutuskan jadi petani? Apalagi ia menyandang “Magister Manajemen”, tapi berjibaku di ladang, turun langsung mengembangkan strategi pengolahan lahan, penanaman atau produksi hingga memasarkan hasil pertaniannya.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Maisaro, petani milenial yang menempuh pendidikan hingga S2 Manajemen karena memikirkan masa depan pertanian khususnya di kampung halamannya
May saat memanen seledri di ladang | Credit by May on Hipwee
Setiap pagi setelah Subuh, perempuan yang akrab disapa May ini mengawali rutinitas dengan berjalan-jalan di ladang sayur sekitar tempat tinggalnya. Ia sengaja ‘nyeker’ atau melepas alas kaki saat berjalan untuk lebih bisa merasakan kedekatan dengan alam. Ketika melihat sayur-mayur hijau yang tumbuh sehat dipenuhi embun dan sedikit bercahaya karena terkena sinar patahari pagi, May selalu merasa bersyukur atas kehidupan yang ia jalani saat ini.
“Rasanya itu adem, bikin tenang jadi saya suka jalan-jalan pas pagi kalau di rumah,” tutur May pada Hipwee Premium saat mengawali ceritanya.
Sejak kecil, May sudah biasa membantu orang tuanya di ladang, baik itu saat mengolah tanah, penanaman, perawatan, panen hingga menjual hasilnya. May memang berasal dari keluarga petani sayur di lereng Gunung Andong, Dusun Sawit, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia bahkan telah menghabiskan masa kecil hingga remajanya untuk membantu orang tua mengolah lahan pertanian.
Menginjak usia SMA, May pergi merantau ke Salatiga untuk melanjutkan pendidikan hingga lulus menjadi Sarjana Manajemen. May lalu melanjutkan jenjang S2 dari Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada atau MM UGM, Yogyakarta. Pendidikan tinggi atau gemerlap kota besar tidak membuat May melupakan kehidupan dan ladang pertanian di kampung halamannya. Bukan pekerjaan di perusahaan besar atau ibu kota, May justru semakin membulatkan tekad untuk kembali ke desanya untuk jadi petani dan memanfaatkan pendidikan manajemen yang ia pelajari selama ini.
Ketika ditanya kenapa memilih studi manajemen dan bukan jurusan pertanian, May menjelaskan bahwa kebutuhan di industri pertanian itu sebenarnya sangatlah luas. May justru melihat adanya kebutuhan ilmu manajemen jika ingin mengembangkan pertanian di desanya.
“Di rumah, ada berbagai pekerjaan yang harus dikerjakan. Ada yang diurus di ladang dari pra-produksi hingga pemasaran, di situlah butuh manajemen yang baik jadi ya ambil manajemen,” ujar May pada Hipwee Premium saat ditanyai soal alasannya mengambil studi Manajemen, bukan yang berkaitan dengan pertanian.
ADVERTISEMENTS
Bagi May, menjadi seorang petani milenial bukanlah pilihan, tapi panggilan jiwa yang membuatnya harus terjun langsung untuk mengelola pertanian dari hulu hingga ke hilir
May saat menanam bibit cabai di ladangnya | Credit by May on Hipwee
Tumbuh dan besar di lingkungan keluarga petani, May merasa beruntung saat ini bisa berkecimpung langsung dan berkontribusi di dunia pertanian. Bagi May, bertani bukanlah pekerjaan semata, melainkan panggilan jiwa.
Perempuan kelahiran 1994 ini sering berpikir bagaimana jadinya jika hampir semua milenial enggan terlibat di sektor pertanian. Bagaimana nasib Indonesia yang dijuliki Negeri Agraris ini di masa depan?
Padahal setiap hari semua orang butuh bahan makanan dari hasil pertanian. Jika bukan dari kalangan milenial yang terjun langsung, lalu siapa lagi?
Pemikiran tersebut semakin menguatkan langkah May untuk berkecimpung langsung di sektor pertanian sebagai petani. Apalagi sejak menempuh S2. Berbekal ilmu manajemen yang ia dapatkan, May terjun langsung mengurus rantai operasional pertanian di ladang sayur, mulai dari kepentingan pra-produksi seperti persiapan lahan hingga pemasaran hasil panen. Nggak hanya itu saja, May juga berupaya bagaimana sistem tersebut berjalan lebih efisien dari masa-masa sebelumnya.
“Dulu orang tani kalau menyiram sayur pakai semprotan manual yang digendong dipunggung, sekarang ada alat yang lebih canggih dan bisa cas. Pengolahan lahan pun ada teknologi yang makin modern, semacam traktor yang bisa mencangkul. Kalau mau jual hasil panen, dulu waktu kecil harus jalan sampai 4 km tiap pagi ke semacam terminal agribisnis, sekarang jaringan makin luas jadi penjual ada yang ambil, kirim-kirim ke luar kota juga,” tutur Mai saat membandingkan perkembangan pertanian yang dulu dan sekarang.
Saat ini variasi sayuran yang ditanam pun kian beragam, tergantung kondisi musim dan keahlian pengolah lahan, misalnya cabai, daun bawang, seledri, sawi, pakcoy, buncis dan sebagainya. Hasil panennya biasanya di kirim mulai untuk kebutuhan beberapa daerah di Magelang dan luar kota. Khusus cabai, pemasaran hingga di kirim ke Kalimantan. Bahkan, May juga pernah berkesempatan mengekspor hasil pertaniannya melalui perantara seorang kenalan.
ADVERTISEMENTS
Menurut May, saat ini pertanian Indonesia benar-benar butuh peran anak muda. Nggak sebatas urusan regenerasi saja, namun juga untuk membuat berbagai inovasi yang bisa memajukan pertanian Indonesia
Hamparan ladang sayur milik May | Credit by May on Hipwee
Sebagai seorang petani milenial, May paham apa yang ia butuhkan setiap kali menemukan kendala dalam prosesnya baik itu di tahap pra-produksi hingga pemasaran. Di sini May juga menyadari bahwa ia nggak bisa bergerak sendirian saat mengalami berbagai kendala. Seperti pada pra-produksi misalnya saat perbaikan lahan sebelum ditanami lagi di berbagai kondisi cuaca, May berpikir pertanian butuh riset-riset atau studi terbaru dari milenial terkait kondisi tanah untuk pertanian.
Hal tersebut juga terjadi pada tahap lain seperti produksi, misalnya butuh teknik penanaman yang lebih efisien, di tahap panen butuh sistem yang lebih baik terkait sortir dan kelas-kelas tiap kualitasnya. Begitu pula di tahap pemasaran hasil pertanian, saat ini butuh pemasaran dengan jaringan yang luas dan mudah terutama untuk petani-petani di pedesaan, misalnya dengan platform penjualan sayur atau komoditas pertanian lainnya secara online.
Nah, di sinilah peran milenial yang sangat diharapkan di sektor pertanian. Apa pun latar belakang pendidikannya, ketika milenial tertarik dengan sektor ini pasti akan banyak hal-hal yang mampu di kembangkan. Bukan nggak mungkin jika 50% saja pertanian Indonesia sudah bisa diregenarasi pada milenial dengan baik, pertanian Indonesia tentu akan lebih maju dengan berbagai inovasi-inovasi yang keren!
Seperti yang saat ini May lakukan, mengingat penggunaan pupuk kimia yang efeknya kurang baik bagi lingkungan, ia sedang menyiapkan pertanian organik. Sebab, ia ingin memproduksi hasil pertanian yang lebih bisa membawa kebaikan untuk alam dan hasil yang lebih sehat untuk dikonsumsi.
ADVERTISEMENTS
Menilik upaya regenerasi petani di Indonesia saat ini, mulai dari minat milenial hingga dukungan pemerintah
Indonesia butuh petani milenial | illustration by Hipwee
Di sekitar desa tempat tinggal May, saat ini memang sudah banyak milenial yang pergi merantau ke luar kota untuk kuliah, tapi banyak yang nggak kembali lagi untuk mengurus pertanian seperti yang May lakukan.
Hal semacam ini mungkin juga terjadi di sekitarmu, di mana banyak anak-anak petani yang memilih berkarier di kota, bahkan banyak sekali Sarjana Pertanian yang lebih memilih berkarier di bank, start up dan pabrik. Saking sedikitnya milenial yang tertarik menjadi petani, dan kebutuhan petani milenial yang kian mendesak, saat ini pemerintah mulai membuat program untuk mendukung para petani milenial, lo. Program percontohan yang sudah berjalan ada di Provinsi Jawa Barat, di mana milenial yang mau jadi petani dan memenuhi kriteria tertentu akan di dukung secara modal, teknologi dan lahan oleh pemerintah.
Melansir dari Petani Digital, kategori milenial nggak hanya diukur secara demografi saja yakni orang-orang kelahiran 1981-2000, tapi jugaditandai dengan adanya peningkatan penggunaan serta keakraban dengan komunikasi, media, juga teknologi digital. Program ini diharapkan bisa mendorong dan menarik minat milenial untuk memberikan inovasi supaya bisa memajukan pertanian Indonesia, menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan bisnis di sektor pertanian.
Bayangkan deh, kalau banyak petani milenial yang keren karena panggilan jiwa seperti May. Pasti banyak milenilal yang bisa bahu membahu memajukan sektor pertanian. Sebagai milenial, kamu bisa ikut terlibat mengembangkan pertanian mulai dari terjun langsung seperti May yang terlibat dari hulu ke hilir, atau jadi pengusaha di bidang pertanian untuk memperluas pemasaran, menciptakan teknologi untuk membantu petani dan sebagainya. Wah, pasti pertanian Indonesia bakal keren banget ya!
Baca sepuasnya konten-konten pembelajaran Masterclass Hipwee, bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.