5 Alasan Dieng Culture Festival 2019 adalah DCF Terbaik yang Pernah Ada. Nyesel Kalau Nggak Dateng!

Dieng Culture Festival 2019

Gelaran Dieng Culture Festival edisi ke 10 sudah purna hari Minggu yang lalu. Meski begitu, semua yang hadir ke sana belum bisa move on dari acara romantis tersebut. Bisa dibilang, DCF tahun ini adalah puncak dari segala proses perbaikan dari edisi pertama tahun 2010 hingga 2019 kemarin. Meriah dan syahdu banget pokoknya!

Advertisement

Sebagai tamu yang konsisten datang selama 6 tahun terakhir, berikut ini Hipwee Travel bakal kasih ulasan tentang Dieng Culture Festival yang kami berikan predikat terbaik daripada penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya.

1. Acara makin beragam dan lebih menarik dari sebelumnya. Ada Java Coffee Festival, Festival Domba Batur dan lain sebagainya

Tahun ini acara DCF lebih beragam, tidak melulu Jazz Atas Awan dan ritual rambut gimbal. Buat pecinta kopi ada Java Coffee Festival, di mana ada sebuah talkshow yang membahas aneka cita rasa kopi. Buat yang suka satwa ada Festival Domba Batur. Buat yang suka kampanye lingkungan bisa ikutan Aksi Dieng Bersih. Tahun ini acara lebih beragam dan kemasannya pun bagus.

Advertisement

2. Suasana venue DCF dan sekitarnya jauh lebih bersih dari sebelum-sebelumnya. Ada relawan Aksi Dieng Bersih yang membantu panitia

kawasan dieng lebih bersih via www.sociotraveler.com

Buat yang pernah datang ke DCF beberapa kali, pasti ngerasa kalau DCF tahun ini lebih kerasa bersih. Soalnya ada relawan di Aksi Dieng Bersih. Setiap pagi dan siang mereka bahu membahu membersihkan Dieng dari sampah, termasuk lampion yang diterbangkan pada Sabtu malam. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, Dieng lebih bersih tahun ini.

3. Alur kendaraan lebih rapi meskipun macet selalu tak bisa dihindarkan

macet tapi lebih teratur via www.seputarbanjar.com

Kemacetan adalah nama lain dari Dieng Culture Festival, hehe. Setiap tahun, kemacetan parah terjadi saat Sabtu malam jelang acara pelepasan lampion dan Minggu siang saat semua orang beranjak pulang. Namun belajar dari tahun-tahun sebelumnya, kini parkiran sudah mulai banyak disediakan nggak cuma di satu tempat. Lalu jalur cuma dibuka searah sehingga kemacetan bisa dikurangi. Sabtu malam dan Minggu siang kemacetan relatif lebih rendah dibanding tahun lalu.

4. Dengan datangnya Pusakata dan Isyana, Jazz Atas Awan lebih bertanggungjawab dengan lebih didominasi alunan musik jazz beneran, bukan nuansa pop seperti tahun-tahun sebelumnya

Mas Is ex Payung Teduh via www.sociotraveler.com

Jazz Atas Awan beberapa tahun belakangan memang mengusung musik jazz namun kebanyakan dibawakan oleh bintang tamu lokal. Untuk guest star utamanya tetap aliran utamanya pop. Sebut saja Anji, Katon Bagaskara, tahun lalu juga ada Letto dan The Rain. Mungkin panitia beranggapan dengan menghadirkan penyanyi pop yang lebih familiar, penonton akan bisa lebih menikmati. Namun harusnya konsisten dengan konsep Jazz Atas Awan. Hadirnya Mas Is ex Payung Teduh dan juga Isyana sudah cukup mewakili jiwa-jiwa yang menunggu alunan syahdu Jazz Atas Awan. Terasa lebih elegan dan bertanggungjawab secara musik sih. Salut deh!

Advertisement

5. Ritual rambut gimbal lebih syahdu karena peserta diberikan kaos berwarna putih. Beda dengan tahun sebelumnya yang selalu berwarna hitam

baju putih lebih bagus ketimbang hitam via www.sociotraveler.com

Kalau kamu perhatikan, suasana sakral di Dieng lebih identik dengan warna putih. Baik kain yang digunakan untuk melingkupi candi hingga pakaian si anak gimbal. Tahun ini peserta juga mendapat kaos warna putih yang lebih cerah dan sesuai dengan momen sakral di ritual rambut gimbal. Secara kenyamanan sih, baju putih lebih enak dibanding hitam yang kerasa panas banget.

***

Meski begitu, kekurangan mendasar dari DCF ini adalah terbukanya akses untuk masuk ke venue kepada semua orang, terutama yang tidak memiliki tiket. Alhasil terjadi kemacetan parah jelang masuk ke venue Jazz Atas Awan. Ribuan orang tak bertiket menjebol pagar di jalur masuk dan berduyun duyun duduk di sekeliling venue yang juga berpagar. Nah, peserta pun kesulitan untuk masuk karena orang-orang tak bertiket ini menutupi ke akses masuk. Bahkan para pemegang tiket pun banyak yang tidak bisa masuk. Sungguh menyedihkan sih ini. Masalah yang tiap tahun berulang.

panggung rambut gimbal via www.sociotraveler.com

Tahun depan semoga lebih baik lagi, meski harus meninggalkan budaya pelepasan lampion di Dieng Culture Festival!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Traveler Baper, Penghulu Kaum Jomblo

Editor

Traveler Baper, Penghulu Kaum Jomblo

CLOSE