Sepanjang Stasiun-Stasiun Metro: Sebuah Catatan Perjalanan

Tentang menjadi berbeda, nasionalisme dan mimpi tentang penduduk dunia, serta mengapa sebenarnya kita perlu berkelana.

Separuh siang itu kuhabiskan dengan perpisahan kecil bersama staf KBRI Brussel, tempatku magang sepanjang semester kedua sekaligus terakhirku di Eropa. Selepasnya, menggotong sekotak coklat berpita dan kado kecil pemberian mereka, aku berjalan menuju stasiun metro dan mendudukkan diri di dalam kereta ke arah Gare Centrale atau stasiun utama kota. Dari sana, aku akan bertolak ke Leuven, tempatku tinggal selama masa pertukaran pelajar di Belgia, dalam sebuah perjalanan lima belas menit.

Siang itu kelabu, sebagaimana biasanya. Para penumpang metro berkutat sendiri-sendiri dengan urusannya — kecuali aku, tentu, yang memandangi kepala-kepala itu satu per satu. Ingatlah, Ingatlah, kata otakku. Ingatlah momen ini. Hidupilah. Gantungkan nyawamu padanya. Jadilah sadar akan hal-hal yang selama ini tak kau hiraukan.

Dalam dua hari aku akan kembali ke Indonesia.  Apa perasaanku? Kutanyakan diri, sambil terus memandang wajah-wajah di kereta itu.

Betapa aku tak mau ini berakhir. Betapa aku lega ini berakhir.

Brussels Metro Line 1, 2012

Brussels Metro Line 1, 2012 via www.flickr.com

Stasiun Rodebeek

Kata orang: bepergianlah yang jauh, agar kau bisa menemukan diri sendiri. Kataku: please. Kamu tak harus melancong ke ujung dunia untuk dapat pencerahan hidup. Immanuel Kant benci bepergian, dan seumur hidupnya tak pernah keluar Prusia. Namun, pendapatnya tentang kaum non-Eropa jauh lebih tercerahkan ketimbang sejawatnya. David Foster Wallace pergi dengan kapal mewah dari Amerika ke Karibia, dan itu membuatnya ingin bunuh diri. “Nama kapal ini ‘Titik Puncak’,” katanya, seperempat bercanda, “Mulai sekarang kupanggil ia ‘Titik Terendah’.”

Bagaimana denganku?

Aku mengawali kelanaku dengan perasaan terasing pada negeri sendiri, serta harapan besar bahwa aku akan bahagia disini. Aku mengakhirinya dengan perasaan terasing tak hanya pada negeri sendiri, namun juga dunia ini.

Tomberg 

Bukan berarti aku tak bersyukur perihal hidupku di Belgia. Justru aku sangat menikmatinya. Di hari-hari pertamaku, melintasi jalan di depan kos dengan roti wijen wangi di genggaman, seorang kakek mengajakku berkelakar dalam bahasa Belanda (aku tak mengerti maksudnya, tentu, tapi hati ini tetap senang dibuatnya). Lalu ada pemilik toko kue yang memberiku coklat gratis hanya karena sore itu dia sedang gembira. Lalu ada gadis kecil di sebuah trotoar di Salamanca, Spanyol; kacamata plastik menutupi sebagian wajahnya, yang berteriak “Ola!” dan melambai padaku dari seberang jalan. Ada dua ibu di Notre Dame de Paris yang hapal setiap lagu paduan suara pada misa malam Natal, yang nyanyiannya mengingatkanku pada sesi karaoke mahasiswa Indonesia.

Lalu ada Van Rompuy, Presiden Dewan Uni Eropa, yang bicaranya begitu halus dan pelan. Ada Habermas, pemikir Jerman, yang bahasa Inggrisnya tak bisa dimengerti sama sekali… (di tengah-tengah kuliah beliau, kenalanku – seorang mahasiswa Filsafat dari Kanada – membalikkan badan dan menganga.)

Ada drinking game dimana aku mempermalukan diri sebagai satu-satunya yang tak bisa bahasa Latin; ada konferensi akademik dimana aku tak diajak bicara oleh para kandidat doktor karena masih S1…

Tak akan kutukar segalanya itu dengan apapun.

Gribaumont 

“Apa kesanmu tentang Eropa?” tanya seseorang di minggu pertamaku disana. “Seolah aku sudah tinggal disini lama sekali,” jawabku dengan senyuman. Dan itu terus terang.

Masalahnya, seberapa familiar pun aku dengan “budaya Eropa Barat”, seberapa setuju pun aku dengan nilai-nilai dan pandangan umum yang mereka anut, itu tidak semata-mata membuatku jadi salah satu dari mereka.

Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari itu. Namun saat akhirnya pemahamanku sampai kesana, tak ada yang membuatku lebih merasa berbeda ketimbang pertanyaan “Darimana kamu berasal?” Orang pernah menebak macam-macam: Amerika, Kanada — biasanya karena aksen bahasa Inggrisku — hingga Somalia dan Haiti. Namun yang mereka pikirkan satu: kami punya alasan yang kuat untuk berpikir bahwa kau bukan salah satu dari kami.

Joséphine-Charlotte

Suatu sore, aku menghadiri diskusi kecil tentang antropologi dengan beberapa orang teman. Salah satu narasumber diskusi tersebut adalah mahasiswa kulit putih Belgia yang menjadi seorang Rastafari setelah petualangannya di Afrika. Dengan serius, ia mengungkapkan bahwa ia percaya reinkarnasi itu ada.

Teman-temanku mengangkat alis.

“Tak apa ‘kan, kalau dia memang percaya?” selorohku.

Yeah, butreincarnation…” teman di sampingku menahan geli.

Kenalanku menyambar kami. “Sewaktu dia menunjukkan kita fotonya dan menyerukan, ‘This is us!’aku jadi gatal ingin berkomentar, “No, not ‘us’. There was them…and then there was you.

Aku terhenyak.

Montgomery

Apa yang membuatmu menjadi orang Belgia, atau Afrika? Apa yang membuatmu menjadi orang Indonesia, atau Eropa? Warna kulit? Ukuran hidung? Darah ayahmu? Bahasa ibumu? Warna paspor? Caramu tertawa? Caramu bersin? Kata kasar yang diucapkan saat sedang marah?

Duduk di depanku adalah seorang warga keturunan Afrika, asyik masyuk dengan iPod-nya. Di sebelahnya seorang gadis kulit putih, terpaku pada diktat kursus bahasa Inggrisnya. Apakah mereka berdua orang Belgia? Apakah mereka berdua orang Eropa?

Aku tidak tahu. Aku tidak akan pernah tahu.

Mérode

Sejak kecil, aku sering menyimpan pertanyaan langka. Salah satu yang menyangkut di otakku hingga kini adalah, “Mengapa aku harus memandang Indonesia istimewa?”

Karena negeri kita indah dan kaya raya, Tolol. Suara-suara menghantui otakku.

Namun Brazil – karena iklim dan luas wilayahnya – menandingi Indonesia dalam sumber daya alam dan keindahan panorama. Apakah itu artinya kita harus mengistimewakan Brazil juga? Dan jika keistimewaan suatu negeri hanya didasarkan pada kekayaan sumber daya dan panorama alamnya, apa jadinya negara-negara yang gersang dan miskin mineral?

Suara-suara itu berdecak. Tetap saja, kamu lahir di Indonesia, dari pasangan orang Indonesia.

“Aku tak bertanggung jawab atas hal-hal yang terjadi tanpa kuasaku,” jawabku lagi. “Lagipula, kalau itu logikamu, apa seorang anak yang lahir dari pasangan abusif harus menyembah-nyembah pasangan abusif itu hanya karena ia lahir dari mereka?”

Ah, kamu ini pasti jenis orang Indonesia yang sok kebarat-baratan, ya? Kamu itu dangkal: cerminan sikap korban kolonialisme yang berusaha menjadi gagah dengan meniru budaya penjajahnya.

“Wow,” aku akan membelalak. Makin lama, argumen jenis ini makin marak. “Aku sama sekali tidak mengistimewakan Barat. Justru pertanyaan awalku itu muncul karena ketidakmampuanku mengistimewakan suatu bangsa tertentu di atas yang lain. Maksudku, mengapa aku harus mengistimewakan orang Indonesia daripada orang non-Indonesia, sementara kita semua sama-sama manusia penduduk dunia?”

Schuman

Penduduk dunia! Itulah yang selalu kuucapkan untuk memendam kegelisahan anti-patriotikku. Setelah aku hidup di Eropa, patahlah segala ide tentang penduduk dunia itu. Penduduk bumi bagian Utara dan Selatan masih terpisah oleh jurang yang begitu dalam. Budaya Barat dan Timur masih kerap diperbenturkan.

Lalu kapan kita bisa dianggap sejajar dengan mereka yang dari Barat? Bisakah mereka mengerti seluk beluk kita, sebagaimana kita mengakrabi butir budaya mereka? Mampukah mereka memahami kita sebagaimana mereka memahami budaya mereka sendiri?

Maksudku adalah teman-teman yang jujur berkata padaku bahwa mereka tak mengerti mengapa perempuan Muslim rela memakai jilbab. Maksudku adalah saat mereka takjub pada fakta bahwa aku tak pernah diajari Odyssey waktu SMA. “Tapi itu ‘kan Homer!”

“Kalian tahu Negarakretagama?” tanyaku iseng. “Tapi itu ‘kan Prapanca?”

Tidak ada penduduk dunia, kini aku menyadarinya. Sebelum jurang ekonomi yang dalam dan lebar itu terhapuskan, sebelum ketimpangan budaya itu terselesaikan, tak akan ada yang namanya penduduk dunia.

Maelbeek

Namun jika bukan penduduk dunia, siapa aku? Tanyaku kelu. Ketika lidah, pemikiran, dan keyakinanku tak selaras dengan budaya tanah airku, bagian bumi sebelah mana yang bisa kusebut rumah?

Di Brussel, beberapa stasiun metro akan memutar lagu untuk memberitahu komuter tuna netra kedatangan suatu kereta. Maelbeek sore itu memutar Ode to Joy, movement terakhir Simfoni no. 9 dari Beethoven.

“Bersatulah, bersatulah seluruh penduduk dunia, bersatulah di bawah komando rasa bahagia!” Syair lagu itu selalu menggugahku sewaktu kecil. “Bahagia mengecup seluruh manusia, kita semua adalah saudara!”

“Freude, schoener Goetterfunken, tochter aus Elysium,” aku bernyanyi dalam hati. Orang-orang di dalam kereta masih sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

“Wir betreten feuertrunken, Himmlische, dein heiligtum.”

Gadis kulit putih di depanku melenggang pergi, keluar melalui pintu yang terbuka. Pria berkulit hitam di sampingnya masih memainkan pemutar musiknya.

“Deine Zauber binden wieder, was die Mode streng geteilt,”

Seorang ibu muda memarahi anaknya yang banyak tingkah. Pandangan penumpang melayang ke seluruh arah – kecuali pada sesama.

“Alle Menschen werden Bruder, wo dein sanfter Flugel weilt.”

Pintu tertutup. Kereta berlalu pergi.

Tangisku pecah.

Arts-Loi

Aku tak ingat kapan persisnya aku mulai jadi cengeng. Yang jelas, setelah bertahun-tahun, aku kini bisa menangis tanpa serta-merta menarik perhatian. Air mataku akan jatuh tanpa suara. Aku akan melakukan aktivitasku sebagaimana normalnya – membolak-balikkan halaman buku, membaca; mengutak-atik HP, tertawa; memeriksa isi tas, pura-pura berpikir apa ada yang ketinggalan.

Namun hari itu, bocah di seberang menatapku lekat-lekat. Ia berbisik pada sang ibu, sebelum kemudian menunjukku.

“Hush,” kata ibunya.

Tapi gadis itu menangis! teriak si anak. Aku mencelos: kini semua orang di sekitarku memandangku.

Saat itulah seorang nenek menghampiriku, memegang tanganku, dan menepuk-nepuknya dengan semangat. “Ça c’est bien se passer,” ujarnya sambil mengangguk. “Semua akan baik-baik saja.”

Saat ia kembali angkat bicara, bahasa Prancisku yang terbatas gagal menangkap maksudnya. Aku mengucapkan terima kasih dan terima kasih saja. Ketika kereta berhenti, ia memelukku, sebelum meminta izin untuk turun. (Seolah ia perlu izinku!)

Di depan kasih sayang setulus itu, aku berusaha tak melarut.

Parc

Sang nenek berjalan menuju pintu sambil bernyanyi, mengetuk-etukkan payungnya di lantai kereta. Mataku tak lepas darinya hingga ia menghilang dari pandangan, bersama peron yang secepat kilat kutinggalkan.

Gare Centrale 

Stasiun Utama Kota Brussel, megah dengan dinding marmernya dan fresco pengingat Perang Dunia II, masih dijejali para tuna wisma dan orang kelaparan di lorong-lorong dinginnya. Hari itu mereka tidur-tiduran saja.

Naar Leuven,” ujarku pada petugas loket, memesan tiket satu arah pulang. Petugas itu, sebagaimana rekan sejawatnya yang lain, ekonomis dalam berkata. Ia mengajukan tiketku dengan satu anggukan bahu.

Kereta kilat ke Leuven berangkat setiap empat puluh menit. Aku mendongak memperhatikan papan keberangkatan, yang berkelap-kelip di atas loket.

Masih tiga puluh lima menit lagi.

Aku melangkah keluar dari lobi stasiun, menyusuri pelataran marmer dan jalan raya menuju alun-alun kota. Sebuah suara dari gereja dua atau tiga blok jaraknya: gagakan kawanan burung di angkasa: gegar bunyi klakson kendaraan: bau hangat wafel-wafel coklat: becek air sehabis hujan: wangi bijih kopi murahan: “S’il vous plait, Mademoiselle, s’il vous plait!”, “Il suffit que je sois bien malheureuse pour avoir droit!” Ding-ding-ding: rag-rag-rag: jug-jug-jug. Ingatlah, ingatlah. Ingatlah momen ini. Hidupilah. Gantungkan nyawamu padanya. Jadilah sadar akan hal-hal yang selama ini tak kau hiraukan.

Di alun-alun kota, seorang gadis kecil berlari ke arahku, menunjuk-nunjuk diriku. Aku mengangkat alis. Yang dimaksudkannya, ternyata, bukanlah aku, namun balon merahnya yang terlepas dan terbang sedikit di atas kepalaku.

Aku berlari kecil ke arah balon yang melayang, melompat rendah, menggenggam tali lembungan itu sekuat tenaga. Belum sempat aku berputar, si anak telah disisiku. Aku menundukkan tubuh, menyerahkan padanya apa yang menjadi haknya.

Merci,” ibunya berucap. Sang anak sendiri di balik jaket ibunya, diam dan terlalu malu.

Itulah saat dimana aku terpana–mungkin ini makna dari berkelana dan pergi jauh-jauh sebenarnya. Menjadi terasing, dan dengan keterasingan itu, menyadari bahwa tidak ada di dunia ini yang biasa-biasa saja.

Aku mengangguk, berputar, berjalan kembali menuju stasiun.

Air mata kembali membanjiri pipi: apa gerangan terjadi?

Segalanya, sebuah jawaban muncul dengan segera.

Segalanya terjadi.

Baca sepuasnya konten-konten eksklusif dari Hipwee dan para konten kreator favoritmu, baca lebih nyaman bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ophelia of the postmodern age.