Yogyakarta! Siap-siap dengan Perhelatan Akbar “Artjog 2019” yang Bertema Common|Space ya!

Artjog 2019

Sebagai salah  satu pameran seni rupa berskala besar di Indonesia yang paling konsisten penyelenggaraannya, ARTJOG adalah perhelatan yang paling dinanti oleh banyak kalangan—tidak hanya para pegiat seni (seniman, kritikus, kolektor, kurator, pemilik galeri, dll.), tapi juga publik secara luas, dari kancah lokal maupun internasional. Lahir untuk pertama kalinya dengan label art fair (Jogja Art Fair atau JAF) pada 2008, perhelatan ini telah mengalami sejumlah evolusi dari segi perwujudan gagasan dan bentuknya.

Advertisement

Pada 2010, evolusi awal perhelatan ini ditandai dengan disandangnya nama baru: ARTJOG. Sejak itu pula, ARTJOG selalu mengajukan bingkai kuratorial yang spesifik, dengan seleksi yang lebih ketat, selain memberlakukan mekanisme undangan terbuka yang menjadi kekhasan dari perhelatan tahunan ini. Sejak 2012, keikutsertaan karya-karya seniman mancanegara tidak cuma menunjukkan perluasan peserta, tapi juga publiknya. Sejak 2016, ART | JOG menempati lokasi baru di Jogja National Museum. Dengan kapasitas ruang pajang yang lebih memadai, pameran ini menunjukkan evolusi yang lain lagi dengan peningkatan jumlah peserta, dan tata-letak karya-karya yang semakin maksimal.

Dampak ARTJOG pada pasar seni rupa di Indonesia memang benar- benar terasa, dalam kenyataannya, pencapaian ART | JOG jauh lebih dari pada itu. Selama bertahun-tahun, ARTJOG telah membuktikan bahwa sebuah perhelatan seni rupa kontemporer di Indonesia dapat dikemas menjadi tontonan populer bagi khalayak lokal dan internasional. Dan di atas itu semua, dampak pada medan seni rupa lokal boleh jadi merupakan kontribusi yang terpenting. Menjelang dan setelah pembukaan ARTJOG, puluhan pameran diselenggarakan rata-rata secara swadaya oleh ruang-ruang independen, galeri-galeri dan komunitas seni di Yogyakarta dan sekitarnya.

ARTJOG – Festival Seni Rupa Kontemporer Internasional Yogyakarta

Setelah sekian tahun menjadi salah satu tengara perhelatan seni rupa kontemporer di Indonesia, tiba saatnya bagi ARTJOG menegaskan kembali arah dan identitasnya. Sangat berbeda dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilabeli dengan istilah ‘pameran museum’, ‘biennale’ dan ‘art fair’, ARTJOG sesungguhnya telah memiliki karakter tersendiri yang kuat mengakar.

Advertisement

Mulai tahun ini, ARTJOG hendak memposisikan diri sebagai sebuah perhelatan dengan label ‘festival’, lebih tepatnya sebagai festival seni rupa kontemporer internasional, atau resminya: Yogyakarta International Contemporary Art Festival. Ini tentu tidak berlebihan jika melihat bagaimana kemeriahan (festivity) telah inheren melekat dalam setiap penyelenggaran ARTJOG. Selain itu, pelabelan ini penting sebagai suatu penegasan posisi Yogyakarta, sebagai salah satu poros seni rupa terpenting di Asia Tenggara, di dalam kancah perhelatan seni rupa kontemporer yang lebih luas.

ARTJOG XIX-XXI | Arts in Common

Mulai 2019, ARTJOG akan dibingkai dengan sebuah tema besar atau tagline yang mengikat tiga sub-tema yang diwujudkan dalam tiga edisi festival setiap tahunnya., yakni Arts in Common. Secara harfiah, common dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai ‘yang umum’, ‘yang biasa’. Sehingga perumusan tema ini tak lain adalah bagian dari upaya untuk menjadikan perhelatan ini semakin ramah dan membumi untuk segenap kalangan audiens, sehingga ARTJOG dapat lebih dekat dengan penikmat seni seluas-luasnya.

Advertisement

Arts in Common hendak menawarkan pemahaman bahwa apa yang ditampilkan di ARTJOG dalam tiga tahun ke depan adalah semacam irisan, atau kumpulan hal yang mempersatukan keragaman ekspresi seni dan kreativitas ber bagai individu dari berbagai latar sosial, budaya dan bangsa. Tema besar ini selaras dengan penegasan ARTJOG sebagai sebuah festival seni rupa kontemporer internasional. Dalam dua dasawarsa terakhir, seni rupa kontemporer masih menjadi praktik yang efektif untuk secara kritis mendiskusikan berbagai kenyataan dunia yang terus bergerak.   Arts in Common percaya bahwa hari-hari ini—di tengah globalisasi yang tak terhindarkan—keragaman dan pencanggihan ekspresi seni rupa kontemporer sesungguhnya tetap menawarkan makna bersama (shared meanings), yang kontekstual dengan dunia sehari-hari di sekitar kita.

Arts in Common mengambil inspirasi dari ‘the commons’. Secara spesifik istilah tersebut mendefinisikan suatu khazanah (repository) berbagai informasi, pengetahuan, benda atau sumber daya (imaterial maupun material) yang diwariskan dan diciptakan secara individual maupun kolektif, dan (diharapkan) dapat bertahan dan dapat dimanfaatkan secara luas untuk generasi mendatang.

The  commons’  adalah  cara  berpikir  alternatif  yang  sangat  relevan  dengan berbagai kenyataan hidup hari-hari ini, ketika—dalam sistem ekonomi kapitalistik—paradigma kepemilikan (ownership) dan kepengarangan (authorship) individu maupun kelompok menjadi terlampau dominan, dan cenderung menciptakan berbagai kesenjangan. Secara sederhana ‘the commons’ dapat dimaknai sebagai hasil dari suatu eksplorasi sumber daya (immaterial maupun material—alamiah, industrial, digital, dst.) untuk kepentingan bersama. Manifestasi gagasan ‘the commons’ sesungguhnya sudah kita lihat dan rasakan manfaatnya dalam berbagai segi kehidupan dalam dua hingga tiga dasawarsa terakhir, misalnya dalam gerakan–gerakan open culture, open source, digital commons dan creative commons. ARTJOG – Arts in Common melihat bahwa ekspresi kesenian pada dasarnya adalah manifestasi dari kreativitas—sebagai sumber daya dalam individu manusia yang paling manusiawi—yang seharusnya menjadi ‘pengetahuan bersama’.

ARTJOG MMXIX – common|space | konsep kuratorial

ARTJOG 2019 (selanjutnya ditulis ARTJOG MMXIX) berangkat dari gagasan tentang ‘ruang’ (space) sebagai dimensi dari dunia di mana manusia hidup: sebuah matra di mana segala sesuatu dapat hadir secara simultan, pada momen yang sama.  ‘Ruang’  adalah  konstruk yang  menentukan hubungan-hubungan antara berbagai posisi, perspektif dan persepsi individu maupun kelompok terhadap kenyataan-kenyataan dunia. Judul common|space dipilih untuk mendekatkan ARTJOG pada pengertian pameran atau festival sebagai sebuah ‘ruang bersama’— sebagaimana arsitektur, urbanisme dan planologi, menggunakan istilah itu untuk menjelaskan ruang atau area fisik yang dirancang untuk digunakan oleh banyak orang—seperti taman, lobby, atau ruang baca di perpustakaan.

Untuk merealisasikan gagasan tersebut, ARTJOG hendak mempertemukan para praktisi seni dengan praktisi dari bidang kreatif lain dalam sebuah ruang penciptaan bersama. Sejumlah perupa akan diundang untuk memasukkan proposal karya kolaboratif. Sebagai sebuah strategi artistik, kolaborasi—dari colaborare, atau ‘bekerja bersama—adalah praktik yang sangat relevan dengan pengertian the commons. Dalam bingkai kerja modernis, kolaborasi dianggap sebagai terobosan metodologis berdaya-cipta (inventive) yang mampu menghasilkan kebaruan-kebaruan estetik.

Sementara pada masa yang lebih baru, sejumlah sejarawan telah mendiskusikan kolaborasi sebagai cara baru untuk meredefinisi praktik seni, sekaligus suatu upaya sadar para seniman untuk memproyeksikan identitas baru seniman yang terlanjur dikonstruksikan sebagai sosok terisolir dan penyendiri. Secara umum, kolaborasi adalah manifestasi dari semangat keterbukaan dan mencairnya subjektivitas ‘seniman’—sebagai sang pengarang: individu tunggal yang ‘jenius’ dan partikular. ARTJOG mengharapkan bahwa seniman-seniman yang diundang untuk proyek kolaborasi ini dapat mengajukan proposal yang mendorong eksperimentasi-eksperimentasi interdisiplin.

ARTJOG MMXIX – common|space juga bermaksud membetot persoalan ‘ruang’ dan ‘ruang|bersama’ lebih luas ke dalam wacana yang menggandeng berbagai perspektif ekologis. Selaras dengan pengertian semula ‘commons’ sebagai khazanah   sumber   daya   alam   bersama   (air,   oksigen,   lautan,   sungai,   dll .), common|space dalam konteks ini adalah juga metafor bagi lingkungan sosial, bumi dan alam semesta. Pertanyaan utamanya: ruang bersama semacam apa yang kita tinggali sekarang ini?

Setelah melalui sejumlah perubahan masif secara terus-menerus melalui proses modernisasi sepanjang abad ke-20, yang kita sering sebuat ‘lingkungan’ hari-hari ini harus dilihat secara baru. Akselerasi perubahan ekosistem bumi telah meningkat tajam semenjak adanya kepercayaan tentang manusia sebagai entitas pusat dalam semesta. Manusia modern percaya bahwa alam semesta ada untuk dijelajahi dan ditaklukan. Tapi selain menghasilkan berbagai penemuan dan pencanggihan dalam cara-cara manusia mengeksploitasi alam, kepercayaan itu juga telah mendorong perubahan-perubahan yang sangat signifikan pada kondisi alam semesta.

Jika pada masa lampau perubahan-perubahan alam semesta itu lebih ditentukan oleh kekuatan alam semesta sendiri (seperti gunung meletus, badai salju, jatuhnya meteor, dll.), kini manusia justru menjadi sumber dan penentu perubahan itu (misalnya pada fenomena pemanasan global, atau penggundulan hutan, polusi lautan oleh plastik, yang punya dampak sama besarnya dengan perubahan alamiah alam). Para saintis menyebut era ini sebagai Antroposin (anthropocene). Anthropocene, secara etimologis merupakan gabungan dua kata Yunani; anthropo yang berarti ‘manusia’ dan –cene yang berarti ‘baru’. Penggunaan term anthropocene, mengacu pada penamaan dalam periode geologi, semacam: pleistocene, holocene, paleocene. Anthropocene digunakan untuk mengemukakan sebuah periode baru di mana aktifitas manusia mulai memberikan dampak global yang signifikan terhadap kondisi geologi dan ekosistem di Bumi.

Selain kondisi alam semesta (bumi, langit, flora, fauna, dsb.) yang berubah, kita juga mendapati perubahan ekologis itu berlangsung pada tataran sosial. Pada abad ke-21, yang kita sebut ‘ekosistem’ boleh jadi adalah suatu tatanan lingkungan baru di mana penemuan-penemuan teknologis (mesin, komputer, robot, dll.) dan berbagai jenis objek / organisme alam (termasuk manusia, flora dan fauna di dalamnya) sepanjang satu abad terakhir menjalani proses ko-habitasi dan ko- aktivasi. Hari-hari ini manusia menjadi sangat bergantung terhadap—dan pada tingkat yang ekstrim dikendalikan oleh—robot, mesin dan komputer.

Teknologi digital juga kini mampu menghadirkan ‘lingkungan’ atau ‘alam’ yang lain—realitas virtual—di mana angka-angka atau digit dikonversi menjadi simulakra. Semua itu hanyalah sekilas gambaran bagaimana ruang|bersama yang kita tinggali saat ini benar-benar memerlukan cara pandang, reposisi, pemikiran ulang, perenungan dan kritik yang baru.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement
Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE