Ramai-ramai orang menunggu di depan Lapas Cipinang pada Kamis lalu (2/9). Nggak cuma dengan tangan kosong, mereka yang datang juga sudah menyiapkan kalung bunga seolah akan menyambut altet yang baru saja meraih medali olimpiade. Eits, bukan atlet yang ditunggu, bukan juga turis istimewa, melainkan Saipul Jamil. Ya, hari itu adalah hari kebebasan Saipul setelah meringkuk di bui sekitar lima tahun.
Pemandangan Saipul Jamil saat keluar penjara adalah sesuatu yang aneh dan ganjil. Pasalnya, Saipul yang terbukti melakukan pelecehan seksual pada remaja berumur 17 tahun disambut bak orang yang telah mengharumkan nama bangsa. Tak sampai di situ aja, perlakuan ‘istimewa’ masih berlanjut. Saipul yang tampak semringah keluar dari gerbang lapas, langsung menaiki mobil sambil melambaikan tangan.
Nggak perlu menunggu beberapa hari, wajah Saipul langsung wara-wiri di televisi. Ia laris-manis sebagai bintang tamu berbagai ragam acara. Kemunculan kembali Saipul Jamil menuai protes dan kecaman banyak orang. Publik merasa ia tak pantas tampil di layar kaca. Apalagi, penyanyi dangdut itu tidak merasa bersalah atas perbuatannya.
Fenomena penyambutan Saipul Jamil yang dinilai ‘luar biasa’ seolah menampar kita. Sepertinya, ungkapan ‘bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf dan pemula’ ada benarnya, ya. Sekilas ungkapan tersebut bak pujian dan berkonotasi positif. Tapi… kalau direnungkan lagi, ungkapan itu sesungguhnya penuh ironi. Kita memang mudah melupakan dan memaafkan kesalahan tapi bisa jadi kesalahan itu telah merugikan dan merenggut hak seseorang atau bahkan banyak orang. Fatalnya, kita jadi lebih gampang menerima pelaku dan cenderung mengglorifikasi sosoknya.
Polemik Saipul Jamil hanyalah satu contoh saja. Sebelum-sebelumnya, kita sering kok memaafkan dan melupakan tokoh atau figur publik usai mereka melakukan kesalahan. Buktinya nih, mereka sering nongol di televisi dan semakin dihujani popularitas setelahnya.
Meski minim prestasi, sosok yang kontroversial malah laris manis di televisi
Ilustrasi melihat artis kontroversial di televisi | Credit: Piqsels
Masih ingat dengan artis Vicky Prasetyo? Muncul sebagai tunangan Zaskia Gotik pada tahun 2013 lalu, nama Vicky langsung mencuri perhatian. Kerap memakai bahasa-bahasa yang nyeleneh, Vicky sukses menciptakan tren Vickynisasi. Namun, kemunculannya menuai berbagai kontroversi. Pelan-pelan kebohongannya terbongkar. Statusnya sebagai pengusaha, lulusan perguruan tinggi ternama di luar negeri, sampai status lajangnya sengaja ditutupi. Sampai akhirnya, Zaskia Gotik memutuskan tali pertunangan dan enggan melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Sikap tak terpuji Vicky nyatanya hanya dianggap angin lalu. Hingga detik ini, Vicky masih eksis di televisi. Bahkan, namanya melambung tinggi dan sering menghiasi acara-acara komedi. Vikcynisasi juga jadi ciri khas citranya selama ini. Punya track record buruk dan beberapa kali membuat konten setting-an, Vicky tak pernah sepi job. Wajahnya terus tampil di layar kaca. Ia tetap diterima meski memiliki riwayat sebagai figur yang minim prestasi, tapi banyak kontroversi.
Eksistensi Vicky menjadi bukti kalau kita lupa dengan apa yang telah dilakukan olehnya. Figur publik seperti Vicky seolah bebas dari tanggung jawab moral. Sosok Vicky yang ditonton jutaan mata secara nggak langsung diberi pemakluman atas kesalahan-kesalahannya, tanpa jaminan ia berbenah diri. Padahal, sebagai publik, kita berhak menuntut siapa dan sosok seperti apa yang layak tampil di televisi. Berkaca dari kejadian Vicky tersebut, jika melakukan kesalahan seperti kebohongan misalnya, bisa jadi kita tetap akan baik-baik saja kok. Hidup kita dapat berjalan normal, bebas dari konsekuensi.
Dengan minta maaf, semuanya akan beres. Bahkan, jika kesalahan yang dibuat telah memberikan dampak buruk yang besar
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Viralitas menjadi candu yang berujung racun bagi sebagian besar orang. Demi mengejar viralitas, orang rela melakukan banyak cara agar terkenal bahkan hingga mengabaikan nilai-nilai moral. Pokoknya, yang penting dapat mengundang perhatian dan popularitas.
Tidak ada konsekuensi yang tegas akan konten yang dibuat demi viralitas yang didambakan, padahal mereka ditonton banyak orang. Sementara lewat konten-kontennya, mereka tidak memberikan contoh yang baik dan positif. Kalaupun mulai menimbulkan kegaduhan, bak lagu lama, permintaan maaf jadi tameng untuk membereskan masalah yang ada. Padahal dampak dari konten tersebut tidak selesai begitu saja.
Setelah kejadian itu, mereka tetap membuat konten seperti biasa. Lagi-lagi, kita adalah bangsa pemaaf dan pelupa. Kita akan menerima mereka yang pernah melakukan kesalahan dengan tangan terbuka. Menjadi pemaaf memang hal yang baik, tapi sebelum menerima permintaan maaf, kita selalu lupa menuntut tanggung jawab atas perbuatan buruk yang menyalahi hak-hak publik.
Benarkan kita bangsa pemaaf dan pelupa? | Illustration by Hipwee
Lucunya lagi, orang salah di Indonesia malah jadi duta. Bukti kalau kita bukan hanya bangsa pemaaf dan pelupa, tapi juga penuh penghargaan pada orang lain
Tahun 2017 lalu, kita dihebohkan dengan berita pemetik Edelweis yang jadi Duta Pelestari. Sebagai flora abadi yang dilindungi, Edelweis memang dilarang untuk dipetik. Kalau sampai terjadi, hukuman denda dan penjara jadi ancamannya. Nah, sejumlah remaja di Nusa Tenggara Barat malah memetik bunga tersebut dan menggunggah di media sosial saat mendaki ke Gunung Rinjani.
Setelah diproses kepolisian dan diberi pembinaan, kelima pendaki justru dianugerahi predikat sebagai Duta Pelestari. Usai melakukan kesalahan, mereka malah dinobatkan jadi duta. Pejabat setempat menilai, akan menjadi sebuah keberhasilan kalau bisa mengubah orang yang tidak peduli lingkungan menjadi orang lebih peduli. Kebijakan aneh bin ajaib ini sukses jadi perdebatan panjang. Banyak orang mengkiritisi karena sebutan duta seharusnya disematkan pada orang yang bisa jadi panutan.
Bukan cuma sekali terjadi, pemberian gelar duta juga dilakukan pada pelanggar lalu lintas. Pengendara motor unjuk gigi di jalanan. Ia menggunakan gaya bebas bak pebalap perofesional. Aksi nekat itu langsung terciduk polisi. Tapi, apakah ia diberi hukuman? Tidak, si pengendara malah diberi penghargaan sebagai Duta Keselamatan Lalu Lintas. Bahkan, pelanggar itu mendapatkan satu unit motor baru agar bisa menyalurkan hobinya. Meskipun polisi mengaku akan membina si pelanggar, pemberian gelar duta tersebut dinilai berlebihan dan tidak tepat sasaran.
Kalau begitu, kita nggak perlu repot-repot membuktikan kalau berprestasi dan punya kualitas diri yang bagus. Cuma dengan melakukan kesalahan, kita udah bisa jadi duta. Enaknya~
Sikap kita yang pemaaf dan pelupa ini makin diperparah dengan regulasi lembaga berwenang yang masih abu-abu alias nggak tegas
Publik berhak menentukan siapa yang layak tampil di televisi | Credit: Piqsels
“Dia (Saipul Jamil) bisa tampil untuk kepentingan edukasi. Jadi, misalnya ya, dia hadir sebagai ya bahaya predator, itu kan bisa juga ditampilkan seperti itu,” kata Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI).
Pernyataan Agung Suprio itu sontak jadi perbincangan panas. pernyataan blunder tersebut dikritik habis-habisan. Apalagi, Saipul Jamil masih tetap tak merasa melakukan kesalahan. Bahkan, ia menilai bahwa masuknya ia ke bui adalah akibat dari tuntutan masyarakat, bukan karena tindakan kriminalnya. Sosok Saipul Jamil pun seharusnya tidak dibiarkan tampil di layar kaca dengan bebas, apalagi dampak yang dialami korban tidak sepele. Bisa jadi ia masih trauma dan melihat Saipul Jamil di televisi hanya akan menambah panjang penderitaannya.
Masalah memaafkan Saipul Jamil adalah sepenuhnya hak korban. Tapi, persoalan tampil di muka umum, publik harus punya sikap yang tegas dan menomorsatukan kepentingan pihak yang mana. Figur Saipul rasanya tidak layak dijadikan sebagai pemberi edukasi tentang pelecehan seksual. Jika pun ingin memberikan edukasi, ada banyak orang yang memiliki kapabilitas tersebut tanpa track record yang buruk.
Bagaimana lembaga menanggapi kemunculan Saipul Jamil jadi bukti kalau tayangan televisi kita memang tidak berpihak pada kepentingan publik. Buktinya, figur publik ‘bermasalah’ tetap bisa berseliweran di layar kaca tanpa konsekuensi. Sekali lagi, ini membuktikan juga kalau melakukan kesalahan di Indonesia bukanlah masalah besar. Risiko-risiko yang kita lakukan seakan kecil walaupun tindakan kita berdampak sangat buruk ke banyak orang.