Meski Dikenal Sebagai Kebanggaan Indonesia, Ternyata 3 Produk Lokal Ini Bahan Bakunya Harus Impor

Indonesia mungkin dulu dikenal sebagai negara agraris. Di mana penduduknya sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Dari sana produksi bahan pangannya mampu untuk mencukupi kebutuhan para penduduknya. Namun, agaknya sebutan tersebut sudah bergeser, nggak lagi sesuai apabila disandang lagi oleh Indonesia. Untuk urusan bahan pangan yang menjadi tumpuan konsumsi penduduknya pun, sekarang harus didatangkan dari luar negeri.

Advertisement

Begitu pula dengan bahan pangan yang mendapat label “Indonesia banget” ini. Banyak yang mengira bahwa produk-produk ini diproduksi di Indonesia dengan menggunakan sumberdaya lokal. Sehingga masyarakat pada umumnya menyebut produk tersebut sebagai produknya Indonesia. Namun, ada beberapa fakta yang menyebutkan bahwa produk-produk tersebut tidak sepenuhnya produk dalam negeri. Bahan baku pembuatnya sebagian besar merupakan hasil impor dari negara tetangga.

Apa aja produk-produk itu? Yuk, simak ulasan Hipwee News & Feature di bawah ini.

1. Tempe memang salah satu makanan kebanggaan Indonesia yang telah mendunia. Tapi, bahan bakunya sebagian besar dari kedelai yang diimpor dari Amerika

Tempe, makanan khas Indonesia via www.diahdidi.com

Dilansir dari laman Kementrian Perindustrian, setiap tahunnya Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 2 ton untuk mencukupi kebutuhan akan bahan baku tempe tersebut akibat defisit produksi kedelai sebanyak 1,6 juta ton. Menurut informasi yang terdapat pada Detik Finance, kedelai yang diimpor tersebut sebanyak 60% berasal dari Amerika Serikat. Sementara sisanya, diimpor dari negara Uruguay, Brazil dan Kanada.

Advertisement

Sebenarnya, Indonesia mampu untuk menanam kedelai putih, jenis kedelai yang digunakan untuk membuat tempe serta tahu. Namun, produksinya belum memenuhi kebutuhan nasional. Di samping itu, kualitas kedelai impor nyatanya lebih bagus dibandingkan dengan kedelai hasil produksi dalam negeri. Ketergantungan akan bahan baku kedelai tersebut bukannya tanpa akibat. Beberapa tahun lalu, harga kedelai impor sempat naik 49% menjadi Rp. 8.200,- dibandingkan dengan harga sebelumnya yang hanya Rp.5.500,- per kilo. Akibatnya pengrajin tempe berhenti berproduksi dan keberadaan tempe makin jarang di pasaran.

Ketergantungan akan kedelai impor tersebut kemudian disiasati dengan pelaksanaan program Upaya Khusus Pajale, dimana kedelai menjadi salah satu komoditas yang menjadi fokus utama. Program peningkatan produksi kedelai tersebut telah dimulai pada tahun 2015 dan akan berakhir pada tahun 2017 ini.

Sebagai negara yang dikenal tempat tempe berasal, sungguh merupakan ironi karena belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Namun, denga adanya program dari Kementrian Pertanian tersebut, diharapkan produksi kedelai nasional bisa meningkat, sehingga ketergatungan akan bahan baku impor bisa dikurangi.

Advertisement

2. Salah satu merk mie instan yang ragam rasanya sangat Indonesia pun juga nggak sepenuhnya produk Indonesia. Bahan bakunya gandum, merupakan hasil impor dari negara tetangga

mie menjadi makanan favorit di Indonesia via www.liveleak.com

Siapa sih yang tidak tahu dengan mie instan. Salah satu mie instan yang memiliki ragam rasa paling Indonesia ini bahkan sudah terkenal hingga ke mancanegara. Hampir semua lapisan masyarakat Indonesia pasti pernah mengonsumsi jenis mie ini. Mulai dari anak-anak hingga dewasa. Dari anak kuliahan sampai pegawai kantoran. Rasanya yang khas dan pilihan rasanya yang banyak membuat mie ini terkenal hingga mancanegara. Bangga sih, karena ada produk “dalam negeri” yang bisa mendunia seperti ini.

Namun, kenyataannya, mie instan ini nggak sepenuhnya berasal dari Indonesia lho! Bahan utama pembuat mie instan ini adalah gandum yang notabene bukan merupakan komoditi yang bisa ditanam di Indonesia. Jadi, untuk bisa membuat produk mie instan tersebut, sudah pasti produsennya mendatangkan gandum dari luar negeri alias impor. Gandum tersebut didatangkan dari berbagai negara, mulai Ukraina serta Paraguay.

Dilansir dari laman Regional Kompas, impor gandum di Indonesia pada tahun 2015 mencapai angka 7,4 juta ton. Angka tersebut membuat Indonesia menyandang predikat sebagai pengimpor gandum terbesar di dunia. Gandum memanglah komoditi yang sulit untuk ditanam di Indonesia. Gandum merupakan jenis tanaman subtropis. Kalau pun bisa ditanam, produksinya belumlah mencukupi untuk kebutuhan industri pangan seperti mie instan dan makanan lainnya. Untuk sedikit mengurangi ketergantungan akan impor gandum tersebut, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai penanaman gandum di daerah tropis seperti Indonesia ini.

Kalaupun berbangga dengan produk mie instan yang katanya “Indonesia banget” atau produk lain berbahan dasar gandum, janganlah terlalu berlebihan. Mengingat bahan bakunya saja masih didatangkan dari luar.

3. Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan garis pantai terpanjang. Tapi untuk masalah garam, masih impor juga dari negeri seberang

Petani garam via www.thejakartapost.com

Selain kedelai serta gandum, ternyata Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor garam. Agak miris memang, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Dengan predikat tersebut, seharusnya Indonesia mampu untuk memproduksi garam guna memenuhi kebutuhan garam nasionalnya. Namun, karena petani garam lokal jumlahnya tidaklah banyak serta teknologi yang belum menjangkau semua, impor garam terpaksa dilakukan atas nama pemenuhan kebutuhan.

Garam konsumsi tersebut diimpor dari negara tetangga seperti Australia dan India. Menurut Direktur Industri Kecil dan Menengah Pangan, Barang dari Kayu, dan Furnitur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam laman Kompas.com, angka impor garam Indonesia mencapai 226.000 ton pada tahun 2017 ini. Kebijakan untuk mengimpor garam tersebut diambil karena berkurangnya produksi garam konsumsi pada tingkat petani lokal. Kebijakan ini merupakan kesepakatan bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanam dan Kemenperin, maupun Kementerian Perdagangan.

Sementara untuk garam industri, seluruh kebutuhannya dipenuhi dengan garam impor. Mengingat untuk konsumsi saja Indonesia belum mencukupi, apalagi untuk kebutuhan non konsumsi seperti industri.

Produk-produk yang terlabeli “Indonesia banget” tersebut ternyata nggak sepenuhnya dibuat dengan bahan baku lokal, meskipun pengolahannya memang berlokasi di Indonesia. Memang nggak bisa disalahkan sepenuhnya sih, mengapa produk yang identik dengan Indonesia malah berbahan baku impor. Keterbatasan sumberdaya menjadi satu dari beberapa faktornya. Makanya diperlukan peran nggak hanya dari pemerintah, tapi juga dari berbagai pihak untuk bisa mengurangi angka impor, sehingga produk-produk tersebut benar-benar produk yang “Indonesia banget”.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Not that millennial in digital era.

CLOSE