Kamu pasti sering liat gambar serupa di bawah ini, di belakang bak truk-truk, stiker di angkot-angkot, atau kaos-kaos yang dijual di kaki lima.
Orde Baru (Orba) menguasai Indonesia dari tahun 1966 sampai 1998. Lewat periode pemerintahan ini, Presiden Soeharto konon membawa Indonesia menjadi gemah ripah loh jinawi. Harga barang murah, keamanan negara terjamin, Rupiah stabil. Indonesia menjadi negara yang tentram, makmur, dan sejahtera.
Tapi, apa situasinya memang selalu seenak itu? Presiden Soeharto diturunkan paksa oleh gerakan mahasiswa Reformasi 1998. Logikanya, kalo emang enak kenapa mesti diganti sih?
Yuk simak dulu alasan kenapa kita gak perlu merasa kangen sama era Orde Baru.
1. Korupsi yang masif dan mewariskan utang luar negeri yang gila-gilaan bagi generasi selanjutnya.
Ya, sampai sekarang korupsi memang masih jadi penghambat utama kemajuan Indonesia. Tapi yang namanya korupsi juga ada di zaman Orba. Bahkan kalau dibandingkan dengan mereka, koruptor zaman Reformasi cuma ikan teri.
Memang, nggak semua kasus korupsi di zaman Orba bisa diketahui publik. Ini karena sistem pemerintahan yang nggak transparan dan prosedur checks-and-balances yang nggak jalan. Tapi, kasus-kasus korupsi yang akhirnya terungkap ke publik selalu masif dan mencengangkan.
Pernah dengar Ibnu Sutowo? Oleh harian Indonesia Raya, mantan Direktur Utama Pertamina ini diberitakan korupsi dengan modus kongkalikong proyek senilai $1 juta dengan pihak Jepang. Ibnu Sutowo ditengarai punya simpanan yang mencapai Rp. 90,48 miliar. Itu terjadi di tahun 1970, saat tiga ratus perak saja nilainya sudah setara dengan satu dolar Amerika. Bayangkan apa yang bisa dibeli uang sebanyak itu saat ini.
Kasus ini sendiri akhirnya nggak pernah tuntas. Harian Indonesia Raya dibredel. Editor utamanya, Mochtar Lubis, masuk penjara.
Tapi tidak dengan Ibnu Sutowo. Ia hanya diberhentikan dari jabatannya pada tahun 1975, meninggalkan Pertamina yang hampir bangkrut. Ya, perusahaan minyak negara itu berhutang sebesar US$10,5 milyar kepada grup donor Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI).
Itu baru dugaan korupsi satu oknum!
Menurut NGO Transparency International, Soeharto diduga telah menggelapkan 15-35 miliar dolar AS selama menjabat sebagai presiden Indonesia. Sepanjang sejarah, tidak ada pemimpin yang pernah menggelapkan uang negara dengan jumlah sebanyak itu.
Dampak dari korupsi sistemik dan masif di era Orde Baru ini adalah utang luar negeri yang diwariskan kepada Era Reformasi. Jumlahnya nggak tanggung-tanggung: 171 miliar dolar. Luar biasa.
2. Sentralisasi pemerintahan yang menghambat pembangunan daerah dan menguntungkan pusat.
Pada era Orba, birokrasi dijalankan dengan sistem sentralisasi. Presiden Soeharto mengeluarkan UU no. 5/1974 tentang pemerintahan daerah dan UU no. 5/1979 tentang pemerintahan desa. Kedua UU itu pada dasarnya melarang hak dari setiap wilayah untuk mengurus wilayahnya sendiri, sehingga daerah jadi tergantung pada kebijakan pusat.
Yang bikin repot, pembangunan di daerah jadi tersendat. Sebagai contoh, kalo kamu ingin membangun mal di suatu daerah, kamu harus mengajukan proposal ke pemerintah daerah setempat, lalu dari pemda diteruskan ke pemerintah pusat. Kalo pusat ngegolin proposalmu, baru deh kamu bisa bangun mal. Dan jangan dikira itu birokrasi satu pintu. Puluhan pintu pejabat yang kamu masuki berhak menolak proposalmu, terutama kalau proposalmu itu nggak berkutat di “area basah” yang bisa dikorupsi.
Selain itu, terjadi kesenjangan antara pusat dan daerah, karena kekayaan daerah banyak yang tersedot ke pusat. Sementara, pembangunan infrastruktur juga lebih sentralistik, sehingga cuma daerah dekat ibukota aja yang menikmati hasilnya.
3. Demokrasi semu
Pemilu tahun 1971 dimenangkan secara mutlak oleh Golongan Karya (Golkar) dengan 62,8 persen suara. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali pertama ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke desa-desa agar memilih Golkar.
Atas alasan membahayakan stabilitas nasional, Soeharto menghapuskan sistem multipartai di pemerintahan. Partai-partai politik disederhanakan menjadi dua saja: yaitu PPP (dengan basis kaum Muslim) dan PDI (Partai Sosialis-Marhaenis berideologi Nasionalisme). Golkar bukan partai, tapi boleh ikut pemilu.
Itu adalah cara Soeharto menjaga agar tampuk kekuasaan tetap ada di tangannya, Golkar, serta kroni-kroninya.
4. Pembungkaman dan pembredelan pers
Orba tampak seperti zaman yang tentram di permukaan. Itu bukan karena minimnya kriminalitas, tapi karena pers dibungkam. Kebebasan pers dalam menyampaikan berita dan aspirasi rakyat dibelenggu negara lewat Departemen Penerangan. (Apa itu Departemen Penerangan? Kalau kamu belum pernah dengar, anggap saja kamu beruntung.)
Media yang tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, seperti Tempo dan Detik, akan dibredel. Artinya, izin terbitnya dicabut.
Individu yang masih nekat kritis akan dicap “musuh negara” dan patut “diproses”. Kamu mungkin masih ingat Udin, wartawan harian Bernas Yogyakarta yang tewas pada tahun 1996 setelah dianiaya orang tak dikenal. Sebelum kejadian itu, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orba dan militer. Sampai sekarang, kasus ini belum menemukan titik terang dan pelakunya belum terungkap.
Dewan Pers pada masa Orba sendiri hanyalah formalitas belaka, tak lebih dari boneka pemerintah untuk mengontrol media. Independensi dewan pers seolah dikebiri dan harus taat perintah. Kalo zaman itu udah ada internet, bisa-bisa media online, Facebook, dan Twitter juga disensor.
5. Atribut Islam dibatasi
Pada rezim Orba, kebebasan mengenakan atribut bernuansa Islam sangat minim. Saat itu, kita gak pernah melihat jilbab dikenakan oleh pegawai pemerintahan, pelajar, atau aparat hukum, karena atribut Islam dianggap sebagai representasi politik Islam yang akan “mengganggu stabilitas negara”.
Pada tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan SK 052 yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah negeri. SK ini memicu pelarangan pengenaan jilbab di kalangan pelajar sekolah negeri. Pelajar yang mengenakan jilbab bahkan sampai terancam dikeluarkan dari sekolah.
6. Diskriminasi terhadap budaya Tionghoa
Orde Baru menjalankan kebijakan anti-budaya Tionghoa. Komunitas Tionghoa di Indonesia dianggap berpotensi menjadi kaki tangan Republik Rakyat Tiongkok, yang sistem pemerintahannya komunis.
Selain mengganti “Tiongkok” dan “Tionghoa” menjadi “China” atau “Cina” lewat Surat Edaran SE-06/Pres.Kab/6/1967, pemerintah juga melarang penggunaan bahasa Mandarin dan tidak mengakui agama Kong Hu Cu. Nama Tionghoa harus diubah ke nama “asli” Indonesia, dan agama mereka juga harus dipindah ke lima agama yang diakui negara.
7. Dicekokin Film propaganda G30S PKI
“Darah itu merah, Jendral!” Kalau waktu kecil film ini adalah tontonan wajibmu, mungkin baris dialog ini masih terbayang-bayang di otakmu.
Film berjudul lengkap “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” ini selalu diputar setiap tanggal 30 September oleh TVRI. Secara visual memang bagus — maklum ada budget-nya — tapi film tersebut adalah produk propaganda Orba. Pascapenggulingan rezim Orba pada 1998, Menteri Penerangan Yusuf Yosfiah mengatakan bahwa film ini adalah usaha untuk memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus dengan Soeharto di tengahnya.
Yah, terlepas dari itu, jutaan anggota PKI atau terduga PKI sendiri juga menjadi korban kekejaman Orba. Mereka dibantai, dibuang ke Pulau Buru, dan diberi KTP khusus yang menyebabkan mereka susah cari kerja. Menyedihkan.
8. Petrus
Penembak misterius, atau disingkat ‘petrus’, adalah operasi pembasmian gali (gabungan anak liar) atau preman sepanjan tahun 1980-an. Disebut ‘petrus’ karena pelakunya tidak ada yang ditangkap. Di masa Reformasi, baru diketahui kalau petrus adalah operasi militer dengan kode Operasi Clurit (Jakarta) dan Operasi Penumpasan Kejahatan (OPK – Yogyakarta). Operasi ini menyasar para preman yang saat itu dengan cara menembak mati dan membiarkan mayatnya sampai ditemukan warga, agar menimbulkan efek jera.
Tapi gak cuma yang terbukti preman aja yang dihabisi; mereka yang bertato juga terancam nyawanya. Orang-orang ini hidup dalam teror, sampai harus mengungsi atau bersembunyi di gunung. Bahkan ada juga yang sampai menyetrika kulitnya untuk menghapus tato.
Ribuan orang tewas selama petrus bergentayangan. Sebagian besar ditemukan dengan luka tembak dalam keadaan tangan dan leher terikat atau dibungkus karung. Mayatnya ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun.
9. Harga minyak murah? Pikir lagi.
Memang, di zaman Orba Indonesia bisa mengimpor minyak dan menjadi anggota OPEC, sementara di era Reformasi kita malah keluar dari asosiasi negara pengekspor minyak tersebut dan mulai mengimpor. Tapi, itu bukan tanda bahwa Orde Baru lebih hebat dari Reformasi.
Indonesia bisa masuk OPEC karena cadangan minyak kita waktu itu masih melimpah. Sekarang, cadangan minyak kita lebih tipis — dan bakal tetap tipis siapapun presidennya. Lagipula, di zaman Reformasi permintaan BBM dalam negeri kita semakin tinggi. Permintaan BBM yang tinggi ini sebenarnya adalah salah satu tanda semakin berkembangnya ekonomi Indonesia.
Memang, nggak kayak zaman Reformasi, di zaman Orba nggak pernah ada ide untuk menghapus subsidi BBM. Tapi kebijakan subsidi BBM ini sebenarnya adalah alat Orba mempertahankan kekuasaan. Dan asal tau aja, subsidi ini dibayarkan dari utang luar negeri.
Kalo ingin analisa lebih jauh perbandingan harga BBM pada tahun 1993 yang Rp. 700 dan tahun 2013 yang Rp 6.500, kamu bisa lihat di infografis di atas. Harga Rp 6.500 sekarang itu sebenarnya udah murah banget lho.
10. Perekonomian Indonesia zaman Orba ternyata rapuh
Awalnya, Orba memang dipuja-puja karena berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 6-7 % per tahun. Tapi, pertumbuhan ekonomi itu ternyata ditopang oleh eksploitasi sumber daya alam, utang luar negeri pemerintah, utang elit swasta (konglomerat), serta sentralisasi keuangan. Artinya, pertumbuhan ekonomi itu tidak dibarengi dengan pemerataan kekayaan masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap aja miskin.
Struktur ekonomi yang elitis itu pun jadi penyebab kenapa Indonesia adalah negara yang paling hancur akibat badai krisis ekonomi Asia di tahun 1997. Inflasi menggila dan nilai rupiah juga anjlok ke Rp17.000 per dolar AS.
Setelah tau fakta di atas, pikir lagi kalo mau kangen sama jaman Pak Soeharto, apalagi ngetwit kayak gini:
Nikmati aja deh apa yang ada saat ini, dan majukan apa yang harus dimajukan. Gak usah terpaku sama kejayaan semu masa lalu.