Ironi Bela HAM: Jokowi Sambut Muchdi PR Selaku Pendiri Gerindra dan Terduga Dalang Kasus Munir

Tentang Muchdi PR

Jika mengikuti kasus kematian Munir, kamu pasti familiar dengan nama Muchdi Purwoprandjono atau Muchdi PR. Purnawirawan TNI ini pada tahun 2008 telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan salah satu aktivis HAM yang belum menemui titik terang itu. Namun, pada sidang pengadilan, Muchdi PR dinyatakan tidak bersalah lantaran hakim menilai bukti-bukti yang mengarah padanya terlalu lemah.

Kini, dua bulan menjelang Pemilu 2019, Muchdi PR dikabarkan memberikan dukungannya ke kubu Jokowi-Ma’ruf. Dan cukup mengecewakan bahwa pasangan petahana pun menyambutnya dengan tangan terbuka

Pict by Adek Berry – Getty Images via www.bbc.com

Advertisement

Dilansir dari BBC, Muchdi PR menyatakan dukungannya pada kubu Jokowi-Ma’ruf di deklarasi purnawirawan TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara pada Minggu (10/2) lalu. Ketika ditanya alasan pilihan dukungannya, Muchdi PR mengatakan kalau ia merasa tak yakin dengan paslon satunya.

“Saya melihat Jokowi ini sudah berbuat banyak selama lima tahun. Jelas pembangunan yang kita rasakan mulai dari jalan tol, pelabuhan, bandara, industri. Dan itu selama reformasi 15 tahun tidak dilakukan oleh presiden siapa pun.”

Mengecewakan melihat PDIP menyambut baik masuknya Muchdi PR ke kubu mereka, apalagi tampak lebih antusias dibanding ketika menyambut Basuki Tjahaja Purnama di waktu yang berdekatan. “Muchdi PR memiliki objektivitas untuk melihat kinerja pemerintahan pak Jokowi. Sekalipun orang dekat Prabowo, pak Muchdi sangat obyektif melihat prestasi pemerintahan Jokowi,” ujar juru bicara TKN Ace Hasan Syadzily kepada Tirto.

Advertisement

Selain karena dulunya adalah wakil ketua umum Gerindra–yang berarti adalah ‘sohib’ Pak Prabowo–sebelum digantikan Fadli Zon, Muchdi juga pernah menjadi terdakwa kuat sebagai dalang di balik pembunuhan Munir. Bahkan, sampai sekarang pun belum benar-benar lepas dari dugaan.

Hal ini sontak membuat kecewa sebagian pendukung Jokowi yang sebelumnya menanam harapan terkait dedikasi dan keseriusan pemerintah untuk menindak kasus-kasus pelanggaran HAM. Apalagi kematian Munir adalah salah satu isu terbesar yang paling dinantikan penyelesaiannya. Mereka beranggapan bahwa dukungan Muchdi PR sebenarnya nggak terlalu dibutuhkan dibanding konsekuensinya terhadap komitmen penghormatan terhadap HAM di Indonesia.

Tapi sebenarnya seperti apa sih sepak terjang Muchdi PR? Simak!

Advertisement

1. Muchdi PR mengawali karier militernya dengan bergabung di Akademik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri)

Tahun 1970 menjadi tahun kelulusan Muchdi PR di Akabri Magelang. Akademik Angkatan Bersenjata ini juga merupakan tempat Prabowo Subianto mengawali kariernya di kemiliteran. Hanya saja Muchdi PR lulus empat tahun lebih awal. Dua tahun setelah kelulusannya, Muchdi PR masuk dalam perwira remaja pada tahun 1972 yang dikirim ke Kalimantan Barat untuk penumpasan PGRS (Pasukan Gerakan Rakyat Serawak).

Tak lama, Muchdi diangkat menjadi Komandan Baret Merah di Kopassanda. Bagi yang belum familiar, Kopassanda merupakan istilah lama dari Kopassus. Nah beberapa bulan setelah ditugaskan ke Kalimantan Barat, Muchdi PR yang berpangkat Letnan Dua kemudian naik pangkat menjadi Komandan Baret Merah di Kopassanda. Di sana pula ia dan Prabowo Subianto menjadi rekan kerja. Namun karier Prabowo lebih bersinar dan akhirnya diangkat menjadi Komandan Jenderal.

2. Saat Prabowo diangkat menjadi Danjen di Kopassanda, Muchdi PR justru “dilempar” ke Kalimantan Barat sebagai Kodam Tanjungpura

Saat diangkat menjadi Dansus Kopassus via indonesiasatu.co

Sebelum bertugas menjadi KODAM di Tanjungpura, Muchdi PR sempat menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Brawijaya di Jawa Timur. Jabatan sebagai Kodam Tanjungpura ini dijalani Muchdi cukup lama, yaitu sampai tahun 1998.

Ada selentingan yang menyebutkan bahwa karier Muchdi PR berhubungan dengan Prabowo. Apalagi saat menduduki jabatan sebagai Danjen Kopassus. Dilansir dari Tirto, saat Prabowo naik ke Panglima Kostrad, posisi sebagai Danjen Kopassus pun kosong. Sebelum Muchdi PR mengisi jabatan yang kosong itu, sebenarnya ada sebuah nama yang dihasilkan dari rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi. Namun, entah karena saat itu Prabowo masih menjadi menantu Soeharto atau karena alasan lainnya, Muchdilah yang akhirnya mengisi jabatan sebagai Danjen Kopassus.

3. Tahun 1998, ia terpaksa harus hengkang dari kursi Danjen Kopassus. Hm…karena apa ya?

Mundur dari jabatan lama, langsung punya jabatan baru via nasional.kompas.com

Pada tahun 1988, tak hanya Prabowo yang kehilangan pangkat kemiliterannya. Namun juga Muchdi PR dicopot dari jabatan kontroversial tersebut. Dilansir dari Detik , ia diduga mengetahui sesuatu di balik kasus penculikan 13 aktivis 1988. Dan meski dicopot dari pangkat Danjen, pada hari yang sama ia mendapatkan posisi baru, yaitu Wakil Inspektur Jenderal TNI.

Muchdi PR sempat mendapatkan mandat untuk menjadi Deputi V di Badan Intelejen Negara (BIN). Namun, tak lama menjabat, ia ditetapkan sebagai terdakwa kasus pembunuhan Munir, tepatnya sebagai otak di balik aksi pembunuhan yang dilakukan oleh pilot Garuda Indonesia bernama Pollycarpus Budihari Priyanto. Diduga ini terkait dengan kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998 yang melibatkan Muchdi, mengingat Munir sangat vokal menyuarakan itu hingga ke mata internasional. Apalagi posisi Muchdi di BIN memberikan banyak peluang untuk mengancam nyawa Munir.

Pada tahun 2008, Muchdi memang dinyatakan tidak bersalah oleh Hakim Suharto lewat putusan Nomor 1488/Pid B/2008/PN Jaksel pada sidang putusan tanggal 31 Desember 2008 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi masih ada segudang fakta-fakta persidangan yang janggal dan menyisakan tanda tanya.

Pantas saja jika akhirnya kita makin dibuat bingung dengan pilihan capres-cawapres yang ada, apalagi jika melihat jejak rekam dan komitmen yang ada terhadap kasus-kasus HAM. Bicara kasus Munir saja para aktor-aktornya tersebar ke masing-masing kubu 🙁

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Not that millennial in digital era.

CLOSE