Sebuah Cerita dariku, Gadis yang Lebih Memilih untuk Tidak Menjadi Ibu

Akhir-akhir ini, teman-teman di media sosial semakin sering mengunggah foto-foto bayi mereka yang menggemaskan. Ada juga yang membuat status manis tentang perjuangan mengandung dan melahirkan, atau setidaknya menyebarkan undangan pernikahan. Wajar, karena banyak dari mereka yang usianya sudah matang. Setelah lulus kuliah, menikah dan membangun keluarga memang jadi impian banyak orang.

Tapi ternyata tidak dengan saya. Sampai sekarang, saya masih bisa ditemukan santai-santai di kamar kost, sendirian, menonton film di laptop sambil makan mie instan. Masih tenang-tenang saja, tak merasa “kurang” suatu apa.

Tidak seperti gadis kebanyakan, sampai sekarang saya memang tak punya keinginan untuk berkeluarga. Melahirkan kemudian merawat anak tidak menjadi cita-cita. Jika sampai nanti menutup mata saya tak sempat menjadi orangtua, bagi saya itu tidak apa-apa.

Jika ini terdengar tak biasa, izinkanlah saya menjelaskan alasannya.

Kebanyakan orang meyakini bahwa tiap perempuan pasti ingin menjadi ibu. Padahal, tidak selamanya seperti itu

Tidak semua cewek mau jadi ibu

Tidak semua cewek mau jadi ibu via www.stayathomemum.com.au

“Gimana nih Mbak, sekarang masih gak bisa masak? Nanti kalau udah punya anak, mereka mau dikasih makan apa?”

Bagi banyak anak perempuan, pertanyaan di atas sudah sering sekali terdengar di telinga. Sejak kecil anak perempuan memang sudah dipersiapkan untuk menjadi “ibu yang baik” begitu dewasa. Harus bisa memasak, bersih-bersih, bahkan memilih cita-cita yang tidak akan sampai membuat mereka “melupakan kewajiban” di rumah. Anggapan yang populer adalah semua anak perempuan nantinya otomatis menjadi istri serta ibu, padahal kenyataannya tidak begitu.

Meski sedikit jumlahnya, ada saja anak perempuan yang sejak kecil tidak pernah ingin menjadi ibu. Ada juga yang masih ragu-ragu dan tidak ingin terburu-buru. Bukan berarti ada yang salah dalam diri mereka. Bukan berarti mereka lupa kodratnya.

Tapi buat apa punya rahim kalau nggak punya anak?

Yah, ibaratnya, nggak semua orang yang punya rahim harus punya anak — sebagaimana nggak semua orang yang punya kaki harus jadi pelari maraton.

Tidak memiliki keturunan, entah karena keputusan pribadi atau kondisi kesehatan, toh tak membuat seseorang jadi lebih hina dibandingkan perempuan yang menjadi ibu. Melahirkan lalu membesarkan anak adalah pilihan — bukan sebuah kewajiban.

Saya tahu beratnya tanggung jawab seorang ibu. Dan saya tak yakin saya mampu melakukan semua itu

Saat kamu sudah memiliki anak, kamu hidup untuk dia dan bernapas untuknya

Saat kamu sudah memiliki anak, kamu hidup untuk dia dan bernapas untuknya via shof.m5zn.com

Sejak dulu, saya sadar bahwa memiliki seorang anak bukan hanya tentang mengambil gambar mereka saat sedang lucu-lucunya lalu mengunggahnya ke media sosial. Di balik foto-foto bayi lucu di Facebook dan Instagram, ada ibu mereka yang teler kelelahan. Ada malam-malam yang dilewati tanpa tidur sama sekali karena si kecil yang menangis dan tantrum sepanjang malam. Kadang anak akan menuntutmu memberi fokus 100%, tenaga 120%, cinta 5000%, serta kesabaran yang tak terbatas. Sayangnya, saya tidak merasa memiliki keempat hal ini.

Saya juga sadar, memilih menjadi orangtua berarti harus mengkompromikan banyak hal. Punya anak itu mahal. Banyak pasangan yang akhirnya harus berganti pekerjaan atau pindah kantor supaya bisa lebih mapan. Padahal sebenarnya bisa jadi mereka lebih menyukai pekerjaan mereka yang dulu. Sebaliknya, banyak juga yang akhirnya berhenti bekerja dan mengorbankan karier mereka, karena tak percaya pada nanny dan ingin memberi perhatian sepenuhnya pada si buah hati.

Sampai sekarang saya belum rela melakukan kompromi semacam itu. Bekerja membuat saya bahagia – terutama jika saya bisa membawa manfaat untuk banyak orang. Jika disodori pilihan, saya akan memilih memiliki karier yang seperti itu daripada menjadi seorang ibu. Memang ada perempuan yang bisa menjalani dua-duanya sekaligus, tapi saya pribadi tidak yakin bahwa saya mampu.

Jika sampai harus mengorbankan karier demi anak, saya takut menyalahkan anak hanya karena saya gagal meraih hidup yang saya mau. Saya pun takut menjadi orangtua yang akhirnya “menitipkan” mimpi mereka pada anak-anaknya — karena gagal meraihnya sendiri ketika mereka muda. Kalau toh nanti memiliki anak, saya ingin mereka bebas menjadi siapa saja. Tidak tertekan oleh titipan cita-cita orangtuanya.

Saya rasa, alasan paling kuat untuk memiliki anak adalah karena ingin saja. Bukan supaya ada yang menjaga di hari tua (toh biasanya anak akan pergi dari rumah ketika dewasa), meneruskan keturunan (karena sebagaimana kita tidak kenal nenek moyang kita, cicit kita pun mungkin tidak akan tahu nama dan biografi hidup kita), atau menurunkan pandangan hidup (karena anak dan orangtua bisa punya pandangan hidup yang jauh berbeda).

Dan hingga sekarang, saya belum memiliki keinginan untuk itu. Setelah ditimbang-timbang, rasanya saya akan bahagia-bahagia saja meskipun tidak menjadi ibu.

Harus diakui, pertanyaan soal jodoh jadi jauh lebih sulit dijawab karena hal ini

Pertanyaan jodoh menjadi sulit

Pertanyaan jodoh menjadi sulit via www.tumblr.com

Sudah beberapa tahun terakhir ini saya sadar bahwa saya memang tidak punya keinginan khusus untuk memiliki anak. Sebelumnya, saya pikir ini hanya sekadar fase. “Mungkin kalau ketemu orang yang tepat, saya toh bakal mau juga jadi ibu dari anak-anaknya,” pikir saya.  Tapi ternyata tidak sesederhana itu juga. Yang terjadi justru sebaliknya: saya sadar bahwa saya tidak bisa membatalkan prinsip pribadi saya hanya karena orang yang berarti bagi saya punya pandangan hidup yang berbeda. Bertemu seseorang yang spesial tak pernah membuat saya tiba-tiba jadi ingin punya keturunan.

Harus diakui, posisi satu ini membuat hubungan dengan lawan jenis jadi lebih rumit. Sudah lebih dari sekali hubungan jadi terpaksa diakhiri karena dia mutlak menginginkan putra atau putri, dan saya sejak awal tidak mau berjanji. Sedihkah? Tentu saja. Tapi kalau memang berbeda, bijakkah untuk memaksa? Punya anak atau tidak adalah keputusan yang mengubah hidup, dan saya tak bisa sembarangan mengiyakannya.

Mungkin suatu hari, saya akan menyesal tak pernah mengandung dan membesarkan buah hati. Tapi daripada gagal mencintai anak sendiri, lebih baik menyesali sesuatu yang tak pernah terjadi

siapkan hal ini saat akan resign

saya tahu mungkin saya akan menyesal via areaofentrepreneurs.com

Beberapa kali teman-teman heran pada pandangan saya yang masih ambigu terhadap prospek menjadi ibu. Mungkin karena kebanyakan dari mereka memang selalu ingin menjadi orangtua, dan karena keinginan untuk punya anak adalah hal yang begitu umum sehingga mudah berasumsi bahwa setiap orang pasti seperti itu.

Mereka sering bertanya, “Kamu nggak takut nyesel nanti kalau udah tua dan gak sempat punya anak?”

Takut, takut sekali. Saya takut suatu hari akhirnya punya keinginan untuk mengandung dan membesarkan buah hati, tapi sudah terlalu tua untuk itu. Setiap ketakutan seperti ini muncul dalam pikiran, yang biasanya saya lakukan adalah mengingat-ingat. Lebih baik mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin lagi kemudian menyesal — daripada memiliki anak kemudian gagal. Sudah terlalu banyak orangtua di dunia ini yang menelantarkan anak mereka. Saya hanya tidak ingin jadi salah satunya.

Baca sepuasnya konten-konten eksklusif dari Hipwee dan para konten kreator favoritmu, baca lebih nyaman bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ophelia of the postmodern age.