Adu Seram ‘Pengabdi Setan’ dan ‘Pengkhianatan G30S PKI’, Mana yang Lebih Bikin Merinding?

2. Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI, pembelotan terhadap realitas

G 30 S PKI via news.okezone.com

Saya alergi adegan sadis, apalagi yang melibatkan senjata tajam. Tapi supaya tulisan ini juga tidak selesai di sini, saya akan pura-pura berani.

Advertisement

Selain karena menampilkan adegan brutal dan lalim, film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI juga dapat diperbandingkan dengan film horor karena sama-sama menyisakan efek trauma dan menggeligis bagi khalayaknya. Lagipula kurang seram apa disuruh nonton film usang yang isinya cakap-cakap politik berdurasi 3,5 jam? Cukup untuk nonton Liverpool kalah sampai tiga kali. Saya yang gemar mendalami sejarah 1965 saja terkantuk-kantuk. Sial, ternyata tidak harus menguasai sulap Uya Kuya untuk bisa meniduri menidurkan seseorang secara seketika.

Bukan tanpa alasan Menteri Penerangan Yusuf Yosfiah di era Presiden Habibie memutuskan untuk menghentikan tayangan film itu. Jika Pengabdi Setan “berselingkuh” dari film aslinya, maka Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI berkhianat pada apa yang diceritakannya sendiri. Fakta sejarah direkayasa melalu alur cerita, dialog, dan bahasa. Tidak perlu penelitian semiotik atau sekritis Soe Hok Gie untuk tahu film ini berpihak ke mana.

Sejak bagian prolog, film ini mengklaim dirinya sebagai non fiksi lewat pernyataan penggunaan data sejarah plus cuplikan dokumentasi yang masuk silih berganti. Akan tetapi, kini sudah terlampau banyak pihak yang menyangsikan kebenaran film ini, termasuk hal-hal kecil seperti apakah D.N Aidit selaku pemimpin PKI benar-benar seorang perokok seperti yang digambarkan di film? Menurut pengakuan anak bungsunya, ia tidak merokok. Tapi ya bisa saja dia merokok, lha teman saya–tidak saya mention karena takut pacarnya membaca–sampai sekarang juga merokok tanpa sepengetahuan keluarga dan pacarnya. Yah, toh ini tak terlalu penting.

Advertisement

Contoh kesalahan yang penting dikoreksi adalah gambaran penyiksaan keji yang dilakukan pelaku gerakan G30S terhadap para jenderal, terutama oleh Gerwani dengan menggunakan silet. Ini salah satu wujud konstruksi budaya patriarki yang tak main-main, seakan-akan wanita menjadi barbar dan petaka jika dipasrahi ruang kuasa. Padahal hasil autopsi  menyebutkan bahwa hanya ada bekas luka tembak dan nihil tilas penyiksaan di mayat para jenderal.

Sama seperti berlimpahnya teka-teki di Pengabdi Setan, film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI pun tidak mengungkapkan secara jernih bagaimana soeharto dapat menarik kesimpulan bahwa PKI adalah dalang dari G30S. Alasannya hanya bahwa Letkol Untung–yang notabene adalah kalangan militer sendiri–sebagai pemimpin penculikan pernah punya hubungan dengan Alimin, salah satu tokoh PKI. Hubungannya apa juga tidak dijelaskan secara jernih, entah sahabat akrab, teman Tinder, atau teman main monopoli.

Advertisement

Dan film ini berakhir begitu saja. Penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal ditampilkan selama 1,5 jam, tapi tidak ada adegan bagaimana suharto mendorong warga untuk membantai ratusan ribu hingga jutaan tersangka simpatisan PKI (Iya, tersangka. Artinya sebagian memang PKI, sebagian lagi hanya rumput bergoyang yang tahu, lha wong tidak lewat proses hukum).

Sejatinya tidak aneh lagi menggunakan film untuk kepentingan melenggangkan kekerasan. Amerika Serikat juga pernah bikin film Rambo untuk membenarkan tindakan zalim mereka terhadap Vietnam. Tapi seburuk-buruknya, paling tidak filmnya menghibur.

Mulai dari fase produksi, nyaris tidak ada ruang yang bebas bagi perfilman Indonesia dari intervensi militer di era Orde Baru. Menurut buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 , sudah sejak dini rezim Orde Baru menyadari pentingnya film sebagai alat propaganda. Komandan KOPKAMTIB (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) membentuk Projek Film KOPKAMTIB yang bertanggung jawab memproduksi film dokumenter. Dua film di antaranya yang disponsori oleh negara dan merayakan kepahlawanan abal-abal suharto adalah Janur Kuning dan Serangan Fajar–bisa dipahami di buku keren bertajuk Film, Ideologi, dan Militer  milik dosen sekaligus peneliti film favorit saya.

Tapi memang tak pernah ada propaganda yang sebesar dan semustajab film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan , TVRI dan seluruh stasiun televisi swasta diwajibkan menayangkan film itu di zaman Orde Baru. Wajarlah jika orangtua dan kakek-nenek kita punya pandangan sejarah yang sama lantaran itulah satu-satunya sumber informasi bagi orang Indonesia tentang apa yang terjadi di 1965. Pada tahun 2000, Tempo bahkan menyelenggarakan pemungutan suara pada 1101 pelajar sekolah menengah di Indonesia untuk mengetahui dari mana mereka belajar mengenai sejarah 1965, dan 90 persen menjawab “film”. Tentu saja film yang dimaksud bukan Petualangan Sherina.

Apakah kemudian PKI itu baik dan layak dibela? Baik sih entah. Bagi saya PKI tidak ada bedanya dengan partai-partai politik lain yang misinya mengincar kekuasaan dengan paket kampanye hitam dan janji palsu, lalu berakhir menjelma kumpulan pejabat yang korupsi. Seburuk-buruknya suharto, belum tentu PKI akan lebih baik. Saya tidak suka dengan militer, tapi partai komunis di negara lain secara historis juga mengarah ke pengelolaan negara yang militeristik. Sama-sama ngeri.

Yang saya bela hanyalah sejarah, tepatnya memperjuangkan kesadaran atas apa yang benar-benar terjadi di hari 30 September, sehingga kita punya pijakan yang jelas untuk menghindari pengulangan-pengulangan kesalahan di masa lalu. Kita terkelabui selama puluhan tahun, menyeramkan sekali. Silakan habisi penulis kami, Galih Fajar jika saya terbukti keliru.

Jadi mana yang lebih seram?

Mengejar Setya Novanto via nasional.tempo.co

Yang satu seram karena mendekatkan kita pada kenyataan yang mengerikan, dan yang satu lagi seram karena kuasanya menjauhkan kita dari kenyataan. Bebas menurut kamu saja. Artikel ini juga memilih berkhianat pada judulnya, lantaran saya sendiri memilih calon ketiga, yakni Pengabdi Setyan(ovanto). Cuma beliau sosok antagonis yang sampai enam kasus film selalu menang dan tak juga mati-mati.

Apalagi pagi hari ini saya membaca sebuah judul berita yang super-angker, “Pulang dari Rumah Sakit, Setya Novanto Langsung AKTIF DI PARTAI”.

#HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu 

Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ecrasez I'infame

CLOSE