Review Susah Sinyal: Tantangan Baru Ernest Prakasa dan Imbauan untuk Orangtua Zaman Now

Membicarakan Susah Sinyal setidaknya nggak bisa dilepaskan dari dua hal: 1) sepak terjang sang film maker, dan, 2) film Susah Sinyal itu sendiri. Ernest Prakasa menjadi tokoh yang paling menarik untuk dibicarakan dalam ranah sinema dalam 3 tahun belakangan ini. Mengikuti jejak senior Stand Up Comedy, Raditya Dika, yang terlebih dahulu melemparkan dadu dalam meja perjudian bernama sinema, Ernest Prakasa pun ikut nyemplung dan hanyut dengan tiga filmnya: Ngenest (2015), Cek Toko Sebelah (2016), dan Susah Sinyal (2017). Dan nampaknya sang senior harus bisa menerima bahwa sang junior jauh lebih berbakat di bidang yang baru ini.

Advertisement

Keputusan rangkap jabatan sebagai penulis skenario, sutradara, dan pemain yang terkesan ambisius untuk seorang pendatang baru, namun Ernest mampu membayarnya dengan hasil yang sepadan. Kerja keras terbalas dengan atusiasme penonton dan berbagai penghargaan yang diterimanya. Puncaknya adalah di filmnya yang kedua, Cek Toko Sebelah yang meraih dua penghargaan di dua ajang bergengsi yaitu Piala Citra dan Piala Maya untuk kategori kepenulisan skenario terbaik 2017. Dan yang paling teranyar, ia menyabet penghargaan sebagai sutradara terbaik Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF). Sungguh pencapaian yang jarang terjadi untuk seorang pendatang baru.

Membahas Ernest memang nggak cukup satu artikel, dan kebetulan juga kali ini bukan dia fokusnya, melainkan film ketiganya, Susah Sinyal. Yap, tanpa perlu berlama-lama lagi, berikut ulasan buat kamu.

(SPOILER ALERT)

Fim Susah Sinyal ini berkisah tentang keluarga, khususnya hubungan ibu dan anak

kisah hubungan ibu dan anak via rula.co.id

Sama seperti dua film sebelumnya, Susah Sinyal adalah film drama keluarga yang sarat akan komedi. Susah Sinyal berkisah tentang disharmonisasi hubungan antara Ellen (Adinia Wirasti) sebagai ibu dari remaja 17 tahun, Kiara (Aurora Ribero). Ellen sebagai single parent terlampau sibuk mencari nafkah dan meraih kariernya sebagai pengacara menciptakan jarak dengan sang buah hati. Sebelumnya, jarak itu sanggup disulam tambal oleh kasih sayang sang nenek, Agatha (Niena L. Karim) yang selalu setia menjadi pembimbing sekaligus teman main Kiara.

Advertisement

Namun semua berubah ketika sang nenek berpulang. Kesedihan dan kesepian Kiara makin menjadi. Sampai pada akhirnya, Ellen mengajak Kiara berlibur ke Sumba. Berdua saja, sebagai misi merekatkan hubungan ibu dan anak sebagaimana mestinya. Usaha sang ibu sempat berhasil, namun godaan meraih kesuksesan karier membuat hubungan dengan sang anak kembali renggang. Di situ Ellen dipaksa harus memilih karier atau buah hatinya sendiri. Jawabannya sila kamu cari sendiri di bioskop, ya. 😀

Imbauan untuk para orangtua dan sebuah pengingat untuk bijak dalam menggunakan teknologi

Aurora Ribero (Kiara) Adinia Wirasti (Ellen) via www.rappler.com

Dalam film ini, tercatat paling nggak ada dua isu yang pengen dibawa oleh sang sutradara. Pertama, Ernest pengen mengingatkan penonton akan pentingnya kehadiran orang tua—khususnya ibu, dalam kaitannya dengan kisah Ellen dan Kiara. Bahwa yang sebenarnya dibutuhkan dari seorang anak bukanlah kebahagiaan semu yang diciptakan melalui pemberian materi, melainkan kebahagiaan abadi yang hanya tercipta melalui interaksi, yaitu waktu dan kehadiran Ellen sebagai ibu. Kesibukan Ellen kerap kali mengabaikan Kiara yang sejatinya butuh pendampingan di masa pubernya, apalagi tanpa adanya sosok ayah dalam hidupnya. Isu ini secara bersamaan pengen menggugah penonton berefleksi—khususnya orang tua di luar sana agar menyediakan cukup waktu untuk sang anak.

Advertisement

Pesan itu diperkuat juga dengan adanya konflik perebutan hak asuh anak antara Sandra (Gisela Anastasya) dengan Marco (Gading Martin). Sandra yang diceritakan sebagai artis sinetron yang sedang naik daun kalah dalam persidangan, sang anak lebih memilih sang ayah lantaran dalam kesehariannya Sandra terlalu sibuk stripping sinetron dan bersenang-senang dengan kemewahannya.

Kedua, adalah isu teknologi, khususnya gawai. Selama ini teknologi (gawai) kerap dikambinghitamkan sebagai bentuk pergeseran budaya interaksi antarmanusia. Singkatnya, porsi interaksi sosial antarmanusia semakin berkurang dengan bekembangnya teknologi. Ya, hal ini juga diamini oleh Ernest. Terlihat dari penggambaran ketiadaan akses maya saat Ellen dan Kiara berlibur berdua ke pulau Sumba yang susah sinyal, tapi justru membuat komunikasi lebih terjalin antarkeduanya, akhirnya ada saat di mana ‘uneg-uneg’ mereka terbuka hingga berujung pada pengertian satu sama lain.

Namun, di sisi lain Ernest nggak lantas memberi penegasan bahwa semua salah teknologi. Dengan adanya usaha Ellen menunjukan video lagu bikinan anaknya kepada Andien selaku juri ajang pencarian bakat, membawa rezeki lain untuk anaknya. Meski ia gagal lolos di ajang pencarian bakat itu, namun ia mendapat kesempatan ikut dalam tur yang dirancang oleh saang idola, Andien. Ya, di sini Ernest seperti menegaskan bahwa kesalahan bukan pada perkembangan teknologi itu sendiri, melainkan kebijaksanaan manusia dalam menggunakannya—selalu ada pilihan.

Ernest menjawab tantangan barunya sebagai sutradara. Perbandingan Susah Sinyal dengan Ngenest dan Cek Toko Sebelah

Ernest dan sang istri via id.bookmyshow.com

Film Ngenest bercerita tentang perjalanan hidupnya sebagai anak keturunan tionghoa yang selalu mendapat diskriminasi pergaulan dan bagaimana kesulitannya mencari pendamping hidup yang lagi-lagi terbentur pakem rasial: harus sipit dan memiliki latar belakang yang sama. Kemudian dalam film Cek Toko Sebelah yang berkisah tentang dilema seorang keturunan Tionghoa yang telah bersusah payah bersekolah tinggi namun dibebani kewajiban untuk meneruskan usaha kecil keluarga.

Dalam dua film tersebut fokus ceritanya sama, yaitu ada di pundak Ernest sendiri sebagai tokoh utama. Namun, kali ini nggak. Fokus cerita ada di peran Ellen. Pola baru yang dicoba oleh Ernest ini boleh dikatakan menguji kapasitasnya sendiri sebagai sutradara. Sebelumnya, ia sendiri yang menjalankan peran sentral itu, otomatis nggak terlalu sulit untuknya memahami apa yang dibutuhkan peran itu dalam cerita karena cerita dan karakter tokoh ia sendiri yang membuatnya. Kali ini berbeda, peran itu ada pada orang lain, yaitu Adinia Wirasti. Maka sebagai sutradara PR dia bertambah, otomatis ia mesti mengarahkan dengan benar sang tokoh Ellen sebagaimana yang diperlukan dalam cerita. Dan sekali lagi hasilnya nggak mengecewakan. Tahu sendiri kan gimana jagonya Adinia Wirasti yang dua kali meraih Piala Citra sebagai aktris terbaik?

Tantangan untuk keluar dari zona nyaman karena membahas persoalan yang nggak dialaminya secara personal, yakni konflik ibu dan anak, telah dibayar tuntas dengan garapannya yang cukup apik. Kesadarannya dalam mengajak sang istri untuk berkolaborasi dengannya terbukti mampu menutupi hal-hal yang seputar “perempuan” yang nggak ia ketahui dan rasakan. Hasilnya, meskipun tema yang diangkat cukup jauh dari keseharian Ernest, namun kehangatan kasih sayang ibu dan anak tetap tergambar dengan jelas dalam film ini.

Komedi receh nan absurd dan tantangan Susah Sinyal menembus pasar di bulan Desember

dipenuhi para komika via www.instagram.com

Dalam Susah Sinyal, isu rasial dan bumbu komedi yang selalu dikedepankan Ernest di dua film sebelumnya sedikit berkurang. Khusus untuk komedi, ada perbedaan style komedi dengan dua film sebelumnya. Dalam Susah Sinyal, komedi yang ditawarkan seringkali absurd dan terkesan receh jauh dari candaan satir berbau kritik sosial seperti biasanya. Belum lagi banyolan seperti ‘santai Parangtritis’, ‘kuda-kuda karate’, dan sebagainya nggak dibangun dengan set up yang matang, ujug-ujug ada banyolan. Di sini banyak momen ketawa yang gagal. Boleh jadi di sisi ini kekurangannya. Karena nggak semua orang paham dengan jokes receh—lagi-lagi faktor selera. Meskipun begitu, jangan terpengaruh penulis. Nama-nama komika, seperti Dodit Mulyanto, Ge Pamungkas, Arie Kriting, Abdur Rasyid, Acho, Rispo, dan yang lainnya mungkin bisa kamu jadikan garansi bagi kamu yang ingin menghibur diri dengan terpingkal-pingkal dikursi penonton.

Sama seperti 5 Cowok Jagoan, di bulan Desember ini Susah Sinyal bersanding dengan film-film top lainnya. Dari Hollywood, ada Star Wars: The Last JediJumanji: Welcome to the JunglePitch Perfect 3, atau dari film Indonesia ada Chrisye dan Ayat-ayat Cinta 2 yang tentunya nggak kalah ditunggu oleh khalayak luas. Yang jadi pertanyaan adalah “Mampukah Susah Sinyal, mengulangi atau bahkan melebihi pencapaian 2,6 juta penonton Cek Toko Sebelah?” Kita tunggu sama-sama, ya. Jangan lupa saksikan film Susah Sinyal di bioskop kesayanganmu!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Fiksionis senin-kamis. Pembaca di kamar mandi.

CLOSE