Review ‘Kartini’: Tidak Perlu Ngambek, Dian Sastro Bukan Segalanya di Film Ini Kok

7/10

Setidaknya, film ini bisa membuatmu memperingati Hari Kartini dengan lebih baik

.

Advertisement

Tanpa hendak menghakimi benar atau salah secara moral dari manusia sebagai mahkluk sosial (tapi kok juga butuh me time), aksi Dian Sastro menepis tangan fans dan menunjukan mimik muka jijik itu jelas kesalahan besar jika ditilik dari sudut pandang kariernya. Kala posisinya tengah dipertanyakan terkait pantas tidaknya memerankan sosok dengan citra semulia Raden Ajeng Kartini, Dian justru mengumbar tabiat paling menyebalkan dari perempuan millenial: kemayu. Kurang dari 24 jam menjelang film Kartini masuk layar perak, sang pemeran utamanya malah sah jadi public enemy. Celaka dua belas.

Hanung Bramantyo selaku sutradara pun segera melakukan antisipasi, menyampaikan permintaan maaf di media sosial. Aih, nasi sudah menjadi bubur karena nila setitik rusak susu sebelanga, banyak warganet (netizen) yang mengaku mengurungkan niat menonton film Kartini gara-gara sakit hati dengan tingkah Dian Sastro tersebut (atau sebenarnya cuma alasan karena nggak punya duit atau pasangan nonton). Kendati tidak bisa dibilang tidak laku, tapi capaian sekian ratus ribu penonton tidak memuaskan untuk film mewah yang juga diisi deretan bintang papan atas lain seperti Reza Rahadian, Acha Septriasa, Adinia Wirasti, Dwi Sasono, Rianti Cartwright dan gembar-gembor lainnya. 

Meski panah asmara dari saya juga selalu ditepis oleh Dian Sastro, tapi saya turut bersusah hati dengan musibah dadakan yang dihadapi film Kartini ini. Atau jikalau bukan karena Dian, apakah ini memang ciri negara dunia ketiga ketika sebuah film sejarah yang digarap sedemikian serius dan mahal tetap saja kalah laku dari film takhayul penuh gimmick dan pembodohan? (Ups, saya resmi menambah musuh 2,7 juta orang, plus beberapa [yang ngakunya] indigo).

Advertisement

Yah, dengan ini saya mengimbau agar handai tolan sekalian melupakan kekhilafan Dian Sastro dan menonton film Kartini. Pun andai pintu maafmu telah tertutup rapat untuknya, film Kartini tetap layak ditonton karena toh Dian Sastro bukan segalanya di film ini. Saya akan membuktikannya dengan menceritakan film ini tanpa harus menyinggung nama Dian Sastro lagi…. sejak dari sekarang:

Sebuah pilihan efektif untuk menggali relasi antara sepak terjang Kartini dengan konflik keluarga

R.A Kartini bukan tokoh pejuang wanita yang terjun di medan perang seperti Cut Nyak Dhien atau Cut Tari Cut Nyak Meuthia. Ia adalah tokoh yang bergerak di bidang intelektualitas dan tradisi. Tak ada bambu runcing atau dentum meriam, sehingga setiap film yang mengangkat sosok Kartini rasanya membutuhkan sisi lain untuk mendramatisasi kisahnya.

Advertisement

Sisi yang dipilih di versi film ini kemudian adalah problematika keluarga. Formula yang tepat untuk memperluas jangkauan empati penonton. Sebagai salah satu simbol pergerakan perempuan, unsur emosional di film Kartini tak hanya menyentuh subjektivitas penonton perempuan. Banyak bisa ditemukan penonton laki-laki yang kena pergok tak kuasa menahan air mata karena hubungan anak-ibu yang dieksplorasi sedemikian rupa.

Simak saja bagaimana kita sudah diminta untuk mencurahkan perasaan haru sedari adegan pembuka. Kartini kecil terisak-isak lantaran dipaksa untuk membiarkan ibunya ‘diusir halus’ dari Keraton, bahkan sapaan ‘Ibu’ dan ‘Nduk’ antara keduanya harus diganti menjadi ‘Mbak Yu’ dan ‘Ndoro Putri’. Ia harus dipisahkan secara struktural dari ibu kandungnya karena tradisi mewajibkan sang ayah untuk menikah lagi dengan wanita berstatus Raden Ajeng agar memenuhi syarat menjadi bupati. Sungguh, wanita di masa itu bagaikan surat bebas narkoba, syarat mendukung karier yang kadang-kadang bisa dibeli.

Konflik keluarga selanjutnya mengiringi Kartini yang lalu tumbuh dewasa dengan watak yang menyimpan kegundahan. Buku-buku peninggalan kakak kandungnya, Sosrokartono membuat bakat berontaknya menjadi-jadi, setidaknya sejak dalam pikiran. Ia mulai mempertanyakan banyak hal, dan seperti yang terjadi sampai saat ini, watak seperti itu selalu berhadapan dengan penolakan. Orang-orang di sekitarnya merasa terusik dengan tulisan-tulisannya yang penuh gagasan progresif atau cita-citanya untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, sesuatu yang sangat asing dimiliki oleh perempuan di zamannya. “Lama-lama nanti anak tukang kayu bisa jadi penguasa,” ujar Slamet Sosroningrat, saudara Kartini lainnya yang ketakutan dengan perubahan yang sebenarnya pasti akan terjadi, termasuk anak tukang kayu jadi penguasa.

Siapa musuh Kartini? Coba tebak deh. Yang pasti bukan ibu tiri

Patut diapresiasi bagaimana Hanung Bramantyo kali ini cukup berani menghadirkan kompleksitas cerita yang abu-abu. Sebenarnya akan jauh lebih apik jika beberapa karakter, terutama Raden Ajeng Moeriam selaku ibu tiri Kartini yang diperankan oleh Djenar Maesa Ayu tidak digambarkan serta merta jahat di awal. Bukankah sebenarnya tidak ada antagonis dalam konflik Kartini? Musuh Kartini yang sesungguhnya adalah sistem. Semua hanya korban, termasuk ibu tirinya. Sayangnya, mungkin penonton Indonesia memang sulit menikmati konflik jika sebelumnya tidak digambarkan secara gamblang mana tokoh ‘pahlawan’ dan mana tokoh ‘penjahat’-nya. Akibatnya, ekspresi-ekspresi bengis Djenar menjadi hal terburuk di film ini.

Setidaknya film ini juga bisa menjelaskan bahwa Belanda tidak selalu menjadi musuh dalam setiap permasalahan sosial Tanah Air di era kolonialisme. Seperti yang tertuang dalam buku penting Max Havelaar yang melahirkan sistem politik etis di Indonesia, seringkali biang keladi muncul dari watak bangsa kita sendiri, misalnya sistem patriarki dalam budaya Jawa. ‘Bekti’ sebagai jawaban di film ini juga layak menjadi diskursus tersendiri, karena ‘bekti’ terasosiasi dengan ‘patuh’. Dan ini justru salah satu faktor yang membuat kita setia pada keterjajahan selama berabad-abad. Dalam sudut pandang tertentu, Kartini tetap saja kalah.

Kembali ke filmnya, dibanding Dian Sas.. ‘Plak!!’ (ditepis sambil pasang muka jijik), sebenarnya justru sentuhan Hanung Bramantyo yang lebih bisa dibicarakan

Meski lebih kompleks dibanding garapan Hanung bertemakan tokoh sejarah lain seperti Sang Pencerah, Soekarno: Indonesia Merdeka, atau Rudy Habibie, film Kartini tetap menunjukan ciri Hanung yang doyan menggunakan pendekatan pop. Masalah visual? Jelas megah dan memuaskan. Upaya untuk mengolah kompleksitas kisah Kartini menjadi gurih untuk dilahap penonton juga terbilang berhasil.

Namun, selain kompromi terkait dikotomi protagonis-antagonis antara beberapa karakter yang disebutkan di poin sebelumnya, ada juga sejumlah penghalusan yang patut disayangkan. Misalnya deradikalisasi pemikiran Kartini terkait agama islam. Dalam surat-suratnya, Kartini faktanya melayangkan kritik keras terhadap para penggawa islam di Indonesia pada zamannya yang melarang penerjemahan Alquran ke bahasa Jawa, padahal tak banyak orang yang memahami bahasa Arab di kala itu. Untuk apa membaca sesuatu yang isinya tidak dapat dimengerti? Sejatinya ini penting untuk masyarakat kita sekarang di mana agama islam mulai banyak dilihat sebagai dogma, alih-alih sumber pengetahuan. Bagaimana seorang gadis muda di masa lampau yang sehari-harinya terkurung lingkungan yang kolot mampu menyimpan hulu ledak seperti itu dalam kepalanya. Namun, yang kita dapat di film Kartini hanyalah sebuah adegan selipan janggal yang seakan pesanan ormas. Kegelisahan Kartini ketika bertanya pada seorang kyai Soleh Darat di adegan itu juga digambarkan sekadar sebagai kesedihan ala kadarnya, padahal Kartini sebenarnya memendam amarah terkaitnya.

Apapun, film Kartini punya urgensi tinggi. Tersebutlah tokoh sejarah Indonesia yang sampai dibuatkan lagu, festival, atau berbagai peringatan yang sudah merakyat. Tapi apa yang diketahui orang tentangnya selain judul Habis Gelap Terbitlah Terang?  

Kartini adalah salah satu tokoh sejarah yang paling banyak diselubungi mitos dan kesalahpahaman mendasar seperti halnya (1) kenapa Kartini diasosiasikan dengan citra ibu-ibu padahal ia meninggal di usia 25, (2) kenapa Kartini begitu identik dengan kebaya padahal kebaya hanya pakaian ‘normal’ bagi wanita Jawa di zamannya, dan (3) kenapa Hari Kartini selalu diperingati dengan acara seni-budaya padahal sepak terjang Kartini lebih dekat pada bidang pendidikan, intelektualitas, atau bahkan politik gerakan. Film ini mencoba mengenyahkan mitos-mitos itu. Kartini adalah perempuan muda yang bisa mengenakan celana jins, kemeja flanel, kaos My Trip My Adventure, legging macan, atau apapun, asal punya kemauan mendobrak tradisi dan tidak takut berpikir.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

J'ai toujours fait une prière à Dieu, qui est fort courte. La voici: Mon Dieu, rendez nos ennemis bien ridicules! Dieu m'a exaucé.

CLOSE