Garvi mengangguk pelan kemudian dia menelungkupkan wajah di atas meja. Sementara tubuh Rashi mendadak kaku. Dia memang menginginkan Lavani pergi menjauhi Garvi, tapi tidak pergi sejauh ini. Rashi memang pernah berharap Lavani meninggal, tapi waktu itu dia sedang kesal dan sebenarnya tidak sungguh-sungguh menginginkannya. Rashi tidak menginginkan doanya terjadi, semua semata-mata hanya sebagai pelampiasan emosi.
Rashi tak menyangka harapannya jadi kenyataan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Kabar meninggalnya Lavani tidak hanya membuat Garvi sedih, justru Rashi lebih terpukul. Kaget, lebih tepatnya. Rashi menolak ketika Garvi mengajaknya menghadiri pemakaman Lavani. Perempuan itu mengeluh pusing dan tidak enak badan. Bahkan Rashi izin pulang lebih awal.
Maka, sekarang Garvi menyaksikan sendiri bagaimana proses Lavani dikebumikan. Lavani telah pergi selamanya. Garvi masih tidak percaya sosok yang berada di liang lahat sana adalah Lavani, teman baiknya yang tidak pernah keberatan membantunya dalam segala hal.
“Lo nggak balik?” Laskar menghampiri Garvi.
“Entar, Bang.”
Laskar mengusap wajah seraya menarik napas panjang. Dia menunduk, memberantakkan rambut, terlihat tidak beraturan. Matanya memejam sesaat sebelum menoleh ke arah Garvi.
Laskar berucap pelan, “Semalam Lavani tiba-tiba demam, terus tadi pagi dia udah nggak ada. Ikhlasin ya, Gar. Maafin kalau selama ini Lavani punya salah. Bantu doain Lavani, ya.”
“Padahal kemarin dia udah bisa senyum, tapi …. ah. Kenapa secepat ini, sih?”
“Gue juga nggak nyangka, tapi kalau jalannya udah begini mau gimana lagi? Yang pasti gue tahu Tuhan sayang sama Lavani. melebihi rasa sayang gue buat dia.”
“Iya, Bang.”
Laskar menepuk pundak Garvi sebelum berlalu. Pria itu tidak mengucapkan apa pun. Semua orang sudah pergi, hanya tersisa Garvi yang berdiri di samping pusara Lavani. Garvi menatap tempat peristirahatan terakhir Lavani. Hingga seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
“Eh, lo—”
Belum sempat Garvi menyelesaikan kalimat, Sadendra langsung memukul wajah Garvi. Otomatis Garvi tersungkur. Garvi heran, atas dasar apa Sadendra tiba-tiba memukulnya. Garvi menangkap mata Sadendra berkilat tidak biasa. Rasanya baru kali ini Garvi mendapati Sadendra berekspresi menyeramkan begitu. Saat mengusap pipi kanannya, Garvi merasa lubang hidungnya basah. Ternyata darah.
“Lo bangsat, Gar!”
Sadendra menarik leher kemeja Garvi, memukul wajahnya sekali lagi. Lagi-lagi Garvi kehilangan keseimbangan. Sadendra tampak kesetanan. Tenaganya sungguh luar biasa. Begitu tangannya hendak melayang kembali, Garvi segera menahannya.
“Lo kenapa, Bro? Kenapa lo mukul gue?” teriak Garvi seraya membalas memukul wajah Sadendra.
Sadendra semakin terpicu hingga keduanya terlibat adu jotos selama beberapa saat. Namun, Sadendra sadar dan menghentikan pertengkaran.
“Lo sadar nggak, kalau lo yang bikin Lavani meninggal?! Lo itu teman gue paling bangsat, Gar! Gue bahkan nggak sudi anggap lo teman kalau bukan karena Lavani!” seru Sadendra dengan napas tersengal akibat terlalu emosional.
“Maksud lo apa? Lo nyalahin gue? Ya, mana gue tahu Lavani meninggal secepat ini. Gue juga syok, Den,” balas Garvi. “Tapi kenapa lo bilang gue yang bikin Lavani meninggal? Gue juga nggak mau Lavani ngalamin kecelakaan itu, Den!”
“Harusnya lo yang mati, bukan dia!”
“Bentar, gue nggak ngerti lo ngomong apa. Lo datang ke sini terus langsung ngajak gue berantem, emangnya lo punya masalah apa, sih? Lo kenapa, Den?”
Bayangan Lavani berdoa saat mereka di Samarantu, terlintas kembali. Sadendra melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Lavani meminta supaya alam semesta menyelamatkan Garvi agar bisa keluar dari zona dunia lain.
Sadendra sudah memberitahu risikonya, tapi Lavani bersikeras. Apa pun yang terjadi, Lavani tetap berusaha membebaskan Garvi. Sebab, Lavani telah memilih untuk mendedikasikan diri terhadap Garvi selama masih sanggup. Berulang kali Sadendra menasihati Lavani bahwa mencintai seseorang tidak perlu seloyal itu. Apa lagi orang itu sudah jelas tidak melihat dirinya.
“Lo emang bego, bangsat, tolol! Lavani itu … lo emang nggak peka ya, Gar? Jelas-jelas dia itu cinta banget sama lo sampai rela menukar jiwanya dan siap menggantikan lo, yang penting lo selamat dalam keadaan sehat.!Lo tahu nggak, Lavani itu rela ngelakuin apa pun supaya lo dibebaskan dari tawanan jin Samarantu? Lavani rela bertransaksi sama jin demi lo! Lo malah membalas pengorbanan Lavani dengan jadian sama Rashi. Lo emang brengsek parah, Gar!”
“Maksudnya gimana? Lavani bertransaksi sama jin Samarantu? Lo ngomong yang jelas, dong!” Garvi mencengkeram leher kemeja Sadendra.
Kedengarannya mustahil, tapi kenyataannya demikian. Akhirnya, Sadendra menceritakan semuanya. Mulai dari perasaan Lavani terhadap Garvi hingga ikrar Lavani untuk menggantikan Garvi sebagai tawanan makhluk halus penghuni Samarantu. Mula-mula Garvi tidak percaya, tapi setelah menghubungkan dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat Garvi semakin terpukul.
Bagaimana bisa Lavani memiliki ketulusan sebesar itu padanya? Ternyata kematian Lavani ada hubungannya dengan dirinya. Garvi merasa semakin bersalah. Selama ini Garvi tidak pernah berbuat apa-apa, tapi Lavani rela menukar nyawa untuk dirinya.
“Berarti sekarang Lavani ada di Samarantu, Den?” gumam Garvi sambil mengusap nisan pusara Lavani.
“Gue nggak ngerti, tapi namanya orang udah meninggal itu jiwanya nggak ada di dunia lagi. Gue masih kecewa banget sama lo, tapi gimana lagi,” sahut Sadendra.
“Kayaknya gue harus muncak lagi, Den. Gue mau balik ke Samarantu. Jemput Lavani. Dia udah nolongin gue, sekarang giliran gue nolongin dia,” ucap Garvi lirih.
“Lo gila, Gar!”
“Gue nggak gila. Gue cuma pengin ketemu sama Lavani.”
Sadendra menggelengkan kepala. Kembali ke Samarantu dengan tujuan seperti itu sungguh sangat tidak dibenarkan. Bisa-bisa nyawa yang menjadi taruhannya. Cinta memang membutakan segalanya membuat orang rela melakukan tindakan buta demi cinta.
Rasa bersalah yang menguasai hati Garvi menciptakan tekanan batin luar biasa. Dan, malam itu Lavani mendatangi Garvi dalam mimpi.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Samarantu – Chapter 9