“Oh, bukan, bukan.” Muara mengibas tangannya dan menggeleng berulang kali. “Ini saya dapat tiket dari teman. Soalnya dia nggak jadi nonton sama pacarnya gara-gara keburu putus duluan. Jadi, dia kasih tiketnya buat saya. Nanti ada teman saya yang lain nonton di sana, Pak. Nggak berdua aja, kok.”
“Saya bercanda, kok.” Joval terkekeh. Kalaupun memang kencan, dia tidak masalah. “Konsernya siapa? Hari apa?”
Muara menunjukkan tiket konser yang sedari tadi dia pegang. Dia melihat tanggalnya dan menyodorkan kepada Joval.
“Hari Sabtu ini, Pak. Konsernya Ed Sheeran. Bapak bisa nggak? Kalau nggak bisa nggak apa-apa, sih. Soalnya saya juga–”
“Saya bisa, kok. Sabtu ini saya pasti datang,” sela Joval.
“Oke, kalau begitu.” Muara menarik tiketnya lagi, lalu memasukkan ke dalam saku celana bahan yang dia kenakan. “Tiketnya saya pegang dulu, ya, Pak. Nanti saya kasih pas hari Jumat. Takutnya malah hilang.”
“Iya, tenang aja. Nanti saya jemput kamu di rumah jam berapa?”
“Nggak usah jemput di rumah, Pak. Kita langsung ketemu di Stadion Utama Gelora Bung Karno aja. Nanti saya kabarin kita ketemu di mananya. Soalnya saya pergi sama teman yang lain. Nggak apa-apa, kan, Pak?” alasan Muara.
“Oh, gitu. Ya, udah, nggak apa-apa.”
“Makasih banyak udah bersedia, Pak.”
Joval mengulas senyum sampai kedua lesung pipinya terlihat jelas. Muara yang menatapnya langsung menurunkan pandangan, tidak sanggup membohongi Joval.
“Kalau gitu saya duluan, ya, Pak,” pamit Muara.
Setelah Joval mempersilakan, Muara turun dengan cepat. Muara tidak menoleh lagi ke belakang. Perasaan tidak enak semakin menguasainya. Semoga saja Joval tidak marah kalau ketahuan bukan dia yang datang nanti.
***
Di dalam mobil sedan hitam milik Yayan, ada Amal, Tyas, dan Karmen yang tengah memperhatikan sekitar. Mereka semua memantau demi mencari keberadaan Joval dan Amini yang-katanya-sudah-tiba. Muara tidak bisa datang karena omnya masuk rumah sakit.
“Lo yakin Bu Ami bersedia datang? Dia udah hubungin lo belum, Mal?” tanya Yayan.
“Yakin seratus persen,” jawab Amal.
“Coba lo cek ponsel lo. Barangkali Bu Ami kasih kabar nggak jadi datang,” suruh Karmen dengan tak sabar.
Amal mengambil ponselnya, melihat pesan dari Amini yang belum dibalas lagi. Terakhir kali perempuan itu membalas pesannya untuk memberi kabar. “Terakhir dia bilang bentar lagi sampai sini. Kalian nggak sabar banget, deh,” ucapnya agak kesal.
“Lo bilang, kan, ketemunya di parkiran?” tanya Yayan.
Amal mengangguk. “Iya. Muara juga udah bilang ketemunya di parkiran.”
“Berarti tinggal—eh, eh, itu Bu Ami.” Yayan mencolek lengan Tyas. “Ayo, Yas. Kita keluar samperin Bu Ami. Pura-pura ketemu gitu. Siapa tahu sambil jalan ketemu Pak Joval.”
“Itu di belakangnya bukan Pak Joval yang baru turun dari mobil?” Tyas menunjuk sosok laki-laki yang dimaksud dengan jari telunjuknya.
Karmen dan Amal yang duduk di bangku tengah langsung merapat agar bisa melihat dari kaca depan. Mereka mengiakan ucapan Tyas.
“Nah, kebetulan banget. Ayo, turun, Yas. Biar mereka ikut masuk ke dalam Stadion,” ajak Yayan seraya membuka central lock mobil. “Gue titip mobil di rumah lo dulu, ya, Mal. Nanti gue ambil sepulang nonton konser.”
“Santai. Gue sama Karmen pastiin kalian masuk bareng mereka baru habis itu balik.”
Yayan dan Tyas turun dari mobil. Karmen dan Amal ikut turun untuk menggantikan posisi Yayan dan Tyas. Sementara Yayan dan Tyas melangkah maju menghampiri dua bos di depan sana, Amal dan Karmen menunggu di dalam mobil sambil melihat kondisi.
Ketika berjalan mendekati keberadaan Joval dan Amini, langkah Tyas mendadak terhenti begitu melihat Amini menoleh ke belakang menyadari keberadaan Joval. Sebelum ketahuan, Tyas bersembunyi di balik mobil orang lain bersama Yayan. Hanya berjarak satu mobil saja dan mereka berharap tidak ketahuan.
“Kok, ada kamu di sini?” Amini menyapa Joval dengan jutek seperti biasa.
Joval yang kala itu hendak membalas pesan Muara yang mendadak tidak bisa datang langsung melihat ke sumber suara. “Kamu lagi,” balasnya malas.
“Kamu ngapain di sini? Kamu nggak nguntit aku, kan?”
Joval menghela napas kasar. “Buat apa, sih, nguntit kamu? Aku mau nonton konser.”
“Kamu nonton konser? Kamu?” Amini meninggikan suaranya. “Tumbenan. Ada angin apa kamu mau nonton konser? Nonton sama siapa? Jangan bilang kamu kayak anak hilang nonton sendirian?”
“Kalau pun aku nonton sendirian, apa urusannya sama kamu? Aku nonton sama seseorang.” Joval memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Amini menyugar rambut panjangnya dengan memasang wajah jutek andalannya dan tersenyum miring. “Memang bukan urusan aku, tapi aneh aja kamu mau nonton konser. Kamu nggak pernah mau nonton konser.”
Joval tidak mau menanggapi lagi. Namun, dia penasaran mantan istrinya datang dengan siapa. Di antara banyaknya orang yang menonton, kenapa ada Amini? Dia tahu Amini lebih suka Maroon 5 dan tidak begitu mengikuti lagu-lagu Ed Sheeran. Seperti hal dirinya yang membenci keramaian dan paling anti datang ke konser saja. Kalau bukan Muara yang mengajaknya, dia takkan mau menonton meskipun diiming-imingi dikasih uang hanya untuk menemani.
“Kamu nonton sama siapa?” Joval akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Bukan urusan kamu untuk tahu.” Amini menurunkan pandangan pada ponsel yang baru diambil dari dalam tas. Dia mendapati pesan dari Amal yang tiba-tiba mengatakan tidak bisa datang. “Ini manusia … kok, seenaknya bilang nggak datang, sih?” omelnya kesal.
“Kenapa? Gebetan kamu nggak datang?” tanya Joval.
“Diam aja, deh.” Amini membalas pesan Amal dengan penuh emosi.
Joval merasa aneh. Beberapa kali dia bertemu Amini di tempat yang sama. Waktu itu di restoran, hari ini di tempat konser. Sudah begitu Muara selalu mangkir setiap kali mengajaknya ke dua tempat yang dia datangi. Mungkin perasaannya saja atau memang ada hubungannya dengan Muara?
“Kamu datang ke sini sama siapa?” tanya Joval sekali lagi.
“Aku udah bilang tadi, bukan urusan kamu untuk tahu. Berisik banget.” Amini berbalik badan, masih dengan wajah kesal. Tanpa pamit Amini berlalu begitu saja, memasuki mobil sedan kesayangannya yang terparkir tak jauh dari mobil Joval.
Joval pun masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi meninggalkan pelataran parkiran, diikuti dengan mobil Amini di belakangnya.
Yayan dan Tyas yang mendengarkan percakapan keduanya langsung menghela napas. Jangankan mau pura-pura bertemu, mereka berdua sudah tidak bersahabat dan memilih pergi dengan cepat.
“Ah, ampun … gagal lagi, deh,” ucap Tyas dengan menghela napas putus asa.
“Kenapa nggak ngobrol bentar terus ngajak masuk bareng, sih? Heran, gagal mulu.” Yayan mengacak-acak rambutnya tak kalah putus asa. “Ayo, kita kasih tahu Amal sama Karmen. Gatot banget.”
Tyas mengangguk setuju. Mereka meninggalkan tempat bersembunyi untuk menghampiri Amal dan Karmen yang untungnya belum pergi. Rencana lagi dan lagi gagal.
***
Muara tidak bersemangat datang ke kantor hari ini. Dia kepikiran omnya yang berada di ruang ICU. Omnya mengalami penyempitan otak. Dia berusaha baik-baik saja terutama saat Joval memanggilnya ke ruangan. Dia meletakkan beberapa pekerjaan yang perlu dilaporkan kepada Joval di atas meja.
“Pak, ini beberapa pekerjaan yang Bapak minta hari ini.”
“Oke, makasih.” Joval mengambil beberapa berkas tersebut, lalu mengamati sebentar sebelum akhirnya diletakkan kembali di atas meja. “Gimana keadaan om kamu?”
“Belum ada kabar lagi, Pak. Kondisinya masih kritis,” jawabnya sedih.
“Semoga keadaan om kamu segera membaik.”
“Makasih, Pak.”
“Omong-omong, saya merasa aneh.”
“Apanya yang aneh, Pak?”
Joval mengamati Muara yang tampak biasa saja. Tidak ada gelagat mencurigakan. Di luar gelagat yang dia harapkan, dia malah melihat Muara tampak sedih.
“Kenapa setiap kamu minta kita bertemu, saya selalu ketemu sama Bu Ami? Waktu di restoran untuk meeting dengan klien, dan kamu bilang ternyata salah jadwal, di sana saya bertemu sama Bu Ami. Dia juga bertemu kliennya di sana,tapi kliennya juga nggak datang. Kemarin waktu kamu ngajak saya bertemu di Stadion, saya bertemu Bu Ami. Kamu berhalangan hadir. Anehnya lagi yang ngajak Bu Ami pergi juga berhalangan hadir.Ini perasaan saya aja ada sangkut pautnya sama kamu, atau memang kebetulan berulang itu ada?”
Muara mati kutu. Joval sudah curiga. Bagaimana dia bisa berkilah sekarang? Dia menyatukan kedua tangannya, mengusap dengan gugup bercampur takut. Dia takut Joval marah karena dia ikut campur urusan personalnya. Skenario paling buruk pun muncul, seandainya dia dipecat cuma gara-gara hal ini. Muara tidak berani mengaku sekarang.
“Jawab, Muara. Ini kerjaan kamu, bukan?” desak Joval.
“Saya nggak….” Muara berhenti bicara saat merasakan ponselnya bergetar. Dia tidak menjawab panggilan dan ingin menjelaskan kepada Joval. Sayangnya getaran itu terus terasa berulang kali hingga dia terpaksa meraihnya dari dalam saku. “Pak, sebentar. Tante saya kirim pesan,” izinnya pelan.
Joval mengizinkan Muara membalas pesan terlebih dahulu. Dia mengamati Muara yang mendadak pucat dan kaget.
“Muara?”
Bersambung
